Bagian 2

15 1 0
                                    

Aku terbangun dalam tumpukan sampah, berantakan, hampir hancur dan parahnya nyaris tidak punya daya. Dunia berubah. Tumpukan sampah yang kusaksikan seperti lautan tak bertepi. Sepertinya aku telah mati untuk waktu yang lama. Rupanya seorang anak telah memasukkan batrai bekas dalam pengisi dayaku, kemudian lari terbirit-birit karena aku hidup kembali.
Aku tidak memiliki basis data baru, dan dunia yang kukenal telah berubah, mungkin aku terdampar di sebuah pulau sampah yang hendak dijadikan seperti Sapporo atau hanya tumpukan sampah biasa karena ketidakmampuan mengolah limbah. Ah, aku benar-benar melantur seperti manusia, kenapa aku memikirkan hal selain keperluanku menemukan batrai atau aki, atau daya yang baru.
“Halo, aku Tian Wei, aku manusia. Kau robot manusia? Aku selalu ingin berdekatan dengan salah satu dari kalian tapi orang tuaku bilang kalau itu berbahaya,” seorang anak muncul dari balik tumpukan sampah sambil mengoceh. Tian Wei, anak yang memasukkan batrai padaku karena ia kagum padaku. “Hai Tian Wei, terima kasih. Aku Ilham. Tahun berapa sekarang?” Tanyaku. “2025,” jawabnya dengan lugu. Sempurna, aku adalah robot usang yang tertinggal, The Terminator sepertinya menjadi kenyataan dengan melihat pemandangan didepanku. Lima tahun berlalu dan perkembangan robotik terjadi sangat cepat, kira-kira begitulah perkiraanku. “Oh aku sedang tersesat, tolong beritahu dimana aku sekarang?” Tanyaku pada Tian. Anak itu tertawa, ia manis tapi lusuh. Berdasarkan nama Tian Wei kutebak sekarang aku ada di China. “Biasanya robot tidak bertanya dimana ia berada, ia bisa mencari tahu lokasinya sendiri, kalau ia menemukan permukiman manusia ia akan menghubungi teman-temannya lalu menghancurkan kami,” anak itu berceloteh. “Kurasa aku robot yang berbeda, aku baik. Kau yakin kau bukan robot?” Tanyaku. Aku takut ia adalah generasi terbaruku setelah lima tahun. Barangkali umurnya pas menjadi anakku. Tian Wei tergelak, menampakkan gigi-giginya yang tidak terawat. “Aku manusia, aku punya darah,” katanya. 
“Tian Wei, tunjukkan padaku dimana permukiman manusia dan dimana pabrik para robot,” kataku. “Kau terlihat bodoh. Aku tidak akan memberitahumu dimana manusia tinggal. Aku juga tidak akan memberitahu pabrik robot, kau juga terlihat lemah, tak bersenjata, lebih baik kita disini, sebentar lagi dayamu akan habis,” aku benci anak yang manis dan cerdas.
“Kau bilang ingin dekat dengan robot manusia...”
“Tapi aku hanya akan mendekatinya kalau tahu ia tidak berbahaya dan akan mati sebentar lagi.”
“Kau pintar. Aku hanya akan mati disini,” lalu aku benar-benar mati sebelum Tian Wei menghidupkanku lagi.
“Aku tuanmu,” katanya dengan semena-mena. “Berapa usiamu? Kenapa kau tidak pergi jika kau takut padaku?” Aku beranjak dari tempatku, mencoba keluar dari tumpukan sampah yang pasti tidak akan disukai Hana. Tian Wei mengekor padaku.
“Aku hanya takut pada Tuhan.” Syukurlah masih ada yang percaya pada Tuhan. Aku harus bergegas pergi dari tempat ini kalau aku benar-benar peduli pada cita-citaku sebagai petani. Ah, aku hanya mempedulikan cita-citaku, tiba-tiba aku merasa ingin sekali tertawa.
“Ilham, kenapa kau bisa rusak parah?” Tanya Tian Wei.
“Aku disetrum,” jawabku.
“Robot manusia tak akan mati hanya karena disetrum. Kau tadi juga bertanya ini tahun berapa. Astaga, mungkinkah kau sudah usang?” anak ini mungkin terlihat 7 tahun, tapi dia pintar.
“Aku bukan buatan pabrik,” jawabku singkat.
“Kakakku memberitahku bahwa saat aku masih kecil terjadi gelombang penciptaan robot, semacam revolusi industri yang baru. Tapi kali ini semua tidak baik-baik saja, revolusi merusak segala tatanan yang telah mapan,” aku terhenti penasaran dengan ceritanya.
“Lalu?”
“Lalu, kecerdasan buatan mengambil alih segalanya seperti yang ditakutkan para manusia. Kelaparan, penderitaan dan kelahiran bentuk kapitalisme yang baru,” hebat, baru 2025 dan mekanisme dunia berubah secepat itu.
Tian Wei membawaku ke kota terdekat. Keadaannya mengerikan. “Kota kami memang jelek, tapi ada kota-kota yang bagus diluar sana.” Tian Wei mengajakku menjauhi kota lagi. “Sebelum para manusia menangkapmu,” ia baik hati dan mengkhawatirkanku. “Aku perlu beberapa hal.” Kataku pada Tian. “Batrai? Aku sudah membawanya,” bisuknya dengan cemas. “Internet,” “Internet? Kau akan menghubungi teman-temanmu?” Ia terlihat cemas, setengah menyesal karena menyelamatkanku. Aku menggeleng. “Untuk menggali informasi,” jawabku. ia mengizinkanku mengakses internet terdekat.
Penyerapanku melambat. Polisi lokal mencurigai gerak-gerik kami hingga aku dan Tian harus melarikan diri. “Syukurlah,” kata anak itu saat kami berhasil berada diluar kota, tepatnya di gurun Gobi saat mulai petang. “kau bawa selimut?” Tanyaku pada Tian Wei, anak itu mengangguk dengan bersemangat. Gurun Gobi dikenal dengan suhunya yang menurun drastis saat malam.
Berkat bantuan Tian, aku tahu kondisi yang sedang terjadi. Perburuan AI terhadap penentang mereka bisa dibalut secara sempurna nyaris tak kasat mata sehingga banyak orang yang tutup mata tutup telinga, selebihnya tidak banyak yang berubah pada dunia. Kapitalisme baru mulai merajai, tetap pada yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Belum ada planet yang bisa dihuni senyaman Bumi, namun Bumi mulai mengkhianati kehidupan. Kondisi negaraku, tidak banyak yang berubah selain menurunnya angka kelahiran secara drastis, kerusakan lingkungan semakin tinggi, dan sebagian tanah suburnya menjadi tandus.
“Tian, maukah kau membantuku?” Tanyaku pada Tian.
“Apa? Aku sudah banyak membantumu,” katanya. Dia menyebalkan.
“Kita bangun rumah pertanian,”
Tian tertawa. “Sesederhana itukah idemu?”
“Aku tidak bisa menghancurkan, aku hanya bisa memelihara?”
“Janji macam apa itu, kita sedang berperang, artinya menghancurkan. Kau malah ingin melakukan hal semacam membuka lahan pertanian, ada yang salah dengan CPU-mu, mungkin kau terlalu usang. Kau harus melakukan perbaikan.”
“Kau mau atau tidak?” Tanyaku. Ia diam saja.

“Kau memang robot yang baik,” kata Tian keesokan harinya saat aku bangun.
"Tapi kau juga malas,” ia menunjukkan sekantong penuh bibit tanaman padaku. Aku hanya tersenyum padanya, dia setuju untuk membantuku.
“Apa yang akan kau lakukan selanjutnya?” Tanya Tian. “Karena kita hanya berdua, kita perlu pembantu. Aku perlu mesin,” kataku.

“Mesin?” Tian tampak ngeri.
“Tanpa AI,” aku berusaha menenangkannya.
“Baiklah, mesin seperti?” Tanyanya. “Nanti kau akan tahu.”

Tumpukan sampah adalah sumberdaya luar biasa bagi yang bisa memanfaatkannya. Tumpukan sampah dimana aku terlahir kembali adalah kelahiran kembali kehidupan. Pertama akan kubuat beberapa robot pekerja dan pencari dari beberapa bahan di tumpukan sampah, setelah jadi kumasukkan entri data barang supaya mereka bisa mendeteksinya dari tumpukan sampah dengan begitu aku bisa melipatgandakan jumlah robot dan mengumpulkan alat pembangun rumah pertanian kami, Tian bisa mengatasi hal sederhana misalnya pengisian daya panas matahari.
Kami membuat rumah pertanian jauh dari manapun, aku dan Tian memasang selang air dari sumber yang dekat dengan permukiman manusia. Sejauh ini semuanya sukses, yang tidak kuketahui hanya seberapa tangguh para robot yang tercipta setelah kepergianku, data mereka sulit diretas dan sangat rahasia.

Cinta lebih sulit dipelihara daripada menumbuhkan kebencian.

Unperfect IlhamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang