Tentang Salman (1)

805 19 0
                                    

Ulya beranjak membuka lemari. Dikeluarkannya selembar pakaian yang terlipat rapi berbungkus plastik bening putih. Ia buka bungkusan dan mengeluarkan isinya. Tangannya mengusap pelan kain itu. Air matanya jatuh. Ia ciumi baju terakhir yang dipakai Faisal sebelum beliau menghadapNya. Selama lima tahun kain itu tak pernah ia cuci dan disimpan hati-hati agar baunya tidak hilang. Bau suaminya.

***

Ulya menatap selembar kertas yang ada dihadapannya.

"Bagaimana, Ul?"

"Bagaimana apanya, Ni?"

"Salman serius ingin taaruf denganmu."

Ulya tersenyum. Bingung, kaget, tidak tahu harus berkata apa.

"Ini nggak mungkin, Uni ...."

"Tidak ada yang tidak mungkin jika Allah berkehendak, Ul".

"Kenapa harus aku, janda beranak dua. Tahun ini umurku 36. Sedangkan Salman, kuliah pun ia belum lulus."

Ni Eva mengusap tangan Ulya lembut. "Salman sudah menghadap Uni dan Bang Arif sejak dua bulan yang lalu. Butuh waktu dan diskusi panjang hingga akhirnya Uni memberikan biodata ini. Salman sangat paham kondisimu. Kamu tahu dia menyayangi Faiz dan Fauzan."

Pembicaraan mereka terhenti ketika Faiz dan Fauzan masuk. Terdengar lantunan ayat suci dari masjid, pertanda maghrib akan segera tiba. Bagi Faiz dan Fauzan itu semacam sirine
kalau mereka harus segera pulang, mandi dan bersiap ke masjid.

"Uni pulang dulu ya, Ul. Uni nggak minta jawabannya sekarang. Tapi tolong dipikirkan."

Ni Eva memeluk Ulya dan mengucapkan salam.

***

Suasana makan malam selalu ramai meski hanya Ulya dan si kembar. Mereka heboh bercerita dan minta didengarkan. Maklum baru beberapa hari menjadi murid SMP. Sambil tetap bercerita Faiz membereskan meja makan dan Fauzan mencuci piring. Kehebohan baru berhenti ketika adzan isya terdengar.

Malam merangkak naik. Setelah mengunci pintu-pintu, ia beranjak ke kamar Faiz. Rupanya si bujang  telah tidur dengan sebelah tangan masih memegang sebuah buku. Ulya mengambil buku tersebut -- Laskar Pelangi-- dan meletakkannya di atas meja. Ia mencium kepala Faiz,  melafazkan doa-doa dan mematikan lampu.

Fauzan terlihat serius mengerjakan soal-soal ketika Ulya masuk ke kamarnya.

"Tugasnya masih banyak, Zan? Sudah hampir jam 9."

"Satu nomor lagi, Mi."

"Ummi tidur duluan ya, setelah selesai segera tidur."

Fauzan hanya bergumam. Ulya mencium kepala Fauzan, melafazkan doa-doa persis seperti yang ia ucapkan untuk Faiz.

Ulya memasuki kamarnya, bermaksud mematikan lampu ketika ia melihat selembar kertas di atas kasur. Kertas yang dibawa Ni Eva tadi sore. Dibacanya lagi biodata Salman. 12 tahun. Perbedaan yang sangat mencolok.

Ulya beranjak membuka lemari. Dikeluarkannya selembar pakaian  yang terlipat rapi berbungkus plastik bening putih. Ia buka bungkusan dan mengeluarkan isinya. Tangannya mengusap pelan kain itu. Air matanya jatuh. Ia ciumi  baju terakhir yang dipakai Faisal sebelum beliau menghadapNya. Selama lima tahun kain itu tak pernah  ia cuci dan  disimpan hati-hati agar baunya tidak hilang. Bau suaminya.

***

Sebuah pesan masuk ke ponselnya hari ini. Dari Salman.

"Kenapa Faiz dan Fauzan dipindah ke kelas regular, Bu?"

Iya harus menjawab bagaimana?

"Nggak kenapa-kenapa Ustadz, ganti suasana saja."

Terlihat titik-titik yang bergerak dilayar. Cukup lama hingga ....

"Ibu menghindari saya?"

Ulya menghirup nafas perlahan. Ia tutup layar ponsel. Lebih baik ia mengerjakan hal lain.

***

Tiga hari yang lalu si kembar protes kenapa mereka dipindahkan ke kelas regular.

"Lebih enak privat, Mi, habis setor bisa ngobrol lama-lama sama Ustadz, ya kan, Bang?" Fauzan seolah minta dukungan ke Faiz.

"Tuh, lebih banyak ngobrolnya ketimbang ngafal" sahut Ulya.

"Nggak kok, Mi. Hapalan kita malah nambah banyak sejak privat dengan Ustadz Salman. Ustadz keren, Mi, hobi bola juga kayak kita." Kali ini Faiz yang bicara.

"Kita coba dulu yang ini ya, kalau nggak betah, bisa balik lagi ke privat."

Si kembar manyun. Entahlah. Ia seperti berbohong. Semua alasan itu terkesan mengada-ada. Ia tidak butuh alasan. Ia hanya ingin menghindar.

***

Hari Sabtu toko kuenya hanya buka setengah hari karena sebagian besar pelanggannya adalah kantor-kantor. Fafa, demikian namanya, menyediakan kue-kue lawas yang tetap disukai sepanjang masa seperti cake pandan, cake pisang, marble cake, brownies panggang dan kukus. Mereka membuat kue basah juga namun terbatas pada ketan sarikaya dan lapek bugih. Kue-kue itu sering dipesan untuk acara-acara kantor atau arisan.

Kemarin sore Ni Eva memesan lima loyang kue dan minta diantar jam 10 ini. Hanya butuh 20 menit untuk sampai ke rumah Ni Eva dari toko.

Ulya memarkir mobilnya dan masuk lewat pintu samping yang setengah terbuka. Setelah mengucap salam, ia meletakkan kue-kue di meja dapur. Terdengar suara Ni Eva menjawab salamnya dan memintanya membawa sebagian kue ke ruang makan.

Ulya berjalan menuju ruang makan ketika matanya menangkap dua orang yang sedang bicara, Bang Arif, suami Ni Eva dan ... Salman!

Seketika ia membalikkan badan, namun Ni Eva segera menggandeng tangannya menuju meja makan. Ditariknya sebuah kursi untuk Ulya. Ulya duduk dengan gugup, sementara Ni Eva malah ke dapur untuk membuatkan minum.

Bang Arif menanyakan kabarnya. Sekedar basa basi mungkin. Sekiranya tidak ada Salman, mungkin malah ia yang susah diam.

"Ul, Uni mau beresin baju Bang Arif dulu ya, besok mau dinas ke luar kota. Kalian ngobrol aja dulu." Bang Arif bangkit dari duduknya, menyusul Ni Eva.

Hening. Cuma ia dan Salman. Duduk berhadapan.

Terdengar Salman berdehem.

"Ulya ...."

Ulya mengangkat kepalanya, kaget. Salman memanggilnya tanpa embel-embel 'bu'.

"Maaf, bukan bermaksud tidak sopan. Aku hanya ingin kita bicara sebagai dua orang dewasa, bukan adik kepada kakaknya, bukan orangtua murid kepada guru anak-anaknya."

Ulya mengalihkan pandangannya. Tak tahu harus bicara apa. Tapi telapak tangannya basah. Ia gugup sekali.

"Aku serius ingin berproses denganmu, Ulya." Salman diam, menunggu respon Ulya.

Ulya mengatur nafasnya. " Seharusnya Ustadz menikah dengan gadis, perawan, bukan janda beranak dua seperti saya. Usia --" Salman menyela ucapannya dengan cepat, "aku tahu umurmu lebih tua 12 tahun dariku. Tapi aku tidak pernah mengaggapnya sebagai penghalang."

"Saat ini Ustadz bisa menafikannya. Bagaimana dengan 5 tahun? 10 tahun lagi?"

"Tidak usah berandai-andai Ulya. Aku sudah memikirkan semua konsekuensinya. Aku memilihmu bukan karena harta atau wajahmu. Bukan aku yang mengatur kemana hati ini akan berlabuh."

tbc

Cinta KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang