Sudah menjadi rutinitas keseharian Fathan, ia selalu bangun pagi-pagi sekali. Usai melaksanakan sholat Subuh berjamaah, Fathan lanjut mengajar ngaji khusus untuk bapak-bapak berusia lanjut di pelataran masjid.
Berkahnya menjadi santri dan anak dari guru ngaji, bukan guru yang mencari murid tetapi sebaliknya. Bapak-bapak inilah yang meminta Fathan untuk mengajari mereka mengaji. Sambil bercerita tentang keinginan-keinginan mereka yang ingin sekali bisa merasakan moment membaca al-qur'an bersama anak dan cucu, tetapi, jangankan membaca mengenal huruf arab saja tidak.
Beberapa dari mereka ada yang belum pernah mengaji sama sekali. Bila anak-anak mereka bisa mengaji itu berkat dari sekolah mengaji bukan mereka selaku orang tua yang mengajarkan. Bahkan memperkenalkan huruf hijaiyah dasar seperti alif, ba, ta, saja mereka serahkan semuanya pada sekolah mengaji tempat mereka menitipkan anak-anak. Zaman sekarang sekolah semacam ini lebih akrab disebut TPQ.
Dulu yang mereka tau yang penting anak-anak bisa membaca huruf-huruf Al-Qur'an, mereka membayar guru-gurunya setiap bulan, sudah selesai. Tanpa terpikirkan kalau mereka pun wajib mempelajari itu. Mereka lupa, di dalam kubur mereka hanya sendirian, tidak ada yang bisa menolong mereka kecuali amal-amal sholeh yang mereka kerjakan selama di dunia.
Semua ini terjadi karena masa muda yang hampir seluruh waktunya mereka habiskan untuk mencari uang.
"Jadi kalah sama cucu, Mas, cucu saya lebih pintar ngajinya," ujar salah satu dari mereka.
Mendengar keinginan mulia tersebut, tanpa mengharapkan imbalan apapun setiap pagi Fathan selalu bersemangat membagikan ilmu yang ia punya. Berniat semoga ilmunya bermanfaat dan mudah diserap sehingga bisa membantu niat baik mereka sebelum para sesepuh ini tutup usia, dan bermanfaat juga untuknya sebagai pengajar. Semoga Allah ridho, sehingga bisa menjadi bekal celengan pahala kelak di akhirat.
Usai mengajar, salah satu dari mereka menyodorkan seplastik buah jeruk Mandarin.
"Ya Allah, ga usah repot-repot, Pak. Kue yang kemarin Bapak kasih saja masih ada di kulkas belum habis," ujar Fathan.
"Nggak repot kok, Mas. Mas Fathan jangan bosan-bosan menerima bingkisan dari kami ya. Anggap aja ini ucapan terima kasih karena Mas Fathan ga mau dibayar."
Ya, Fathan yang meminta mereka untuk tidak usah menggajinya, kemarin Fathan sempat mendengar bapak-bapak tersebut sedang berdiskusi soal patungan uang untuk menggaji Fathan. Fathan menolak secara halus. Sejak awal menerima tawaran mengajar ini Fathan sudah meniatkan di hatinya ia melakukannya secara tulus dan ikhlas ingin membantu. Sekaligus ingin berbagi ilmu yang ia dapat.
Tetapi, siapa sangka niat baiknya justru menjadikannya sedikit menyesal. Karena setelah mengucap demikian hampir setiap hari bapak-bapak tersebut memberinya bingkisan. Ada saja yang mereka berikan, aneka macam cemilan khas daerah tertentu, kue kue-an yang seringnya dibuat sendiri oleh istri-istri mereka, bolu, buah-buahan, bahkan sampai hadiah untuk dirinya sendiri seperti sarung, peci, baju koko, dll.
"Beneran ga ngerepotin ini, Pak?"
Pak Wijaya--yang memberikan seplastik buah jeruk pagi ini--menggeleng. "Ga usah ngerasa ga enak ya, Mas. Ini rezeki Mas Fathan. Oh iya sekalian titip salam untuk abi ya, Mas."
Fathan tersenyum cerah. "Terima kasih banyak ini Bapak-bapak. Siap, Pak. Salamnya nanti saya sampaikan."
***
Pagi ini umi memasakkan ubi rebus, gorengan tempe yang dipotong tipis-tipis, dan secangkir teh, karena abi tidak mengopi. Semua disajikan hangat-hangat di teras rumah, sebagai teman abi yang sedang membaca koran dengan kaca mata baca yang bertengger di batang hidungnya. Ada umi dan Faizah juga di sana, menemani abi.
"Wih, bawa apa tuh?" ledek Faizah, Adik Fathan, yang melihatnya pulang membawa tentengan.
Fathan ikut nimbrung sambil menyalimi kedua orang tuanya, lalu meletakkan plastik bawaannya di tengah-tengah. "Jeruk nih, dari pak Wijaya. Oh iya Abi ada salam dari pak Wijaya."
Abi melipat koran lalu menurunkan kaca mata bacanya, melirik makanan-makanan di sebelahnya. "Alhamdulillah, bilang terima kasih nanti ya ke pak Wijaya. Orang baik tuh bapak itu. Teman Abi sedari dulu waktu kita sama-sama kerja di pabrik helm. Abi jadi ingat ..." Dan Abi memulai ceritanya, yang hanya didengarkan oleh umi dan Faizah. Karena Fathan harus siap-siap membuka tokonya. Ia terbiasa buka toko pagi-pagi sekitar jam 7, paling telat jam setengah 8, khawatir customer langganannya menunggu kalau ia tidak bergegas.
Dan benar saja, setibanya Fathan di toko sudah banyak anak-anak kecil yang menunggu, di antaranya ada beberapa ibu-ibu. "Token di rumah udah bunyi," katanya begitu melihat Fathan datang.
Sudah setahun Fathan membuka usaha ini, konter pulsa. Yang juga menyediakan jasa service Hp dan laptop, transfer uang ke seluruh bank, pengisian e-wallet, top up diamond game, dan masih banyak lagi. Selama setahun ini Fathan sudah memiliki 1 karyawan untuk membantunya melayani pembeli, dan 1 lagi khusus untuk menangani jasa service.
Sebenarnya Fathan bisa saja membuka toko sendirian, memiliki karyawan cadangan hanya sebagai opsi agar tokonya tetap buka meski di jam jam sholat (kecuali sholat Jumat). Dulu sekali sebelum ia mempunyai karyawan, setiap kali waktu sholat ia selalu menutup tokonya dahulu, padahal cuma sebentar, di depan rolling door pun sudah ia tulis dengan kardus yang digantung dengan tali rapiah "SHOLAT DULU, TUNGGUIN SEBENTAR YA", tetapi anak-anak kecil yang tidak bisa sabar terus menerus memanggilnya sambil menggedor-gedor rolling door, membuatnya tidak bisa sholat dengan khusyu. Untungnya, ada teman semasa mondoknya dulu yang kebetulan sedang tidak bekerja, jadi ia tidak perlu repot-repot membuat info lowongan kerja di sosmed.
Handphone Fathan berdenting. "Han, sudah buat materi?"
Fathan menepuk jidatnya. Astaghfirullah, hampir aja kelupaan! Ia mengetik balasan. "Ya Allah untung ente ingetin. Belum ana sentuh sama sekali malah, Syah."
Selain bekerja di tokonya sendiri Fathan pun aktif mengikuti berbagai macam kegiatan islami, salah satunya berdakwah. Besok, Fathan dan teman-teman dakwahnya berniat membuat seminar dan Fathan yang menjadi pembicara. Tetapi bagaimana bisa ia lupa bahkan belum menyiapkan bahan-bahannya?
"Astaghfirullah, Fathaaan! Pesertanya aja udah pada ga sabar mau buru-buru hari besok, eh kamu malah belum ngapa-ngapain. Buruan cari materi setelah pulang kerja!" lanjut Aisyah membalas chatnya.
Fathan terkekeh. "Iya bawel," jawabnya tanpa membalas pesan lagi, ia hanya mengirim stiker kartun sedang mengacungkan jempol sebagai respon. Sahabat semasa kecilnya itu tidak pernah berubah, tetap bawel!
Seminar kali ini akan membahas tentang Bisnis. Fathan melirik jam di dinding, pukul 3 sore. Hari ini pelanggan yang mampir tidak sebanyak di hari weekend, Fathan berkemas berniat mencari perpustakaan terdekat. Aziz dan Faisal yang akan melanjutkan menjaga toko sampai pukul 8 malam.
***
Motor Fathan terhenti di depan kafe baru yang jaraknya tidak terlalu jauh dari konternya. Ia gagal fokus dengan slogan yang berada di papan, yang berdiri tegak di depan gerbang kafe.
"NGOPI MULAI 8K AN AJA, UDAH BISA BACA BUKU BERJAM-JAM SAMBIL WIFIAN GRATIS!"
Tertarik dengan strategi marketing di kafe ini, Fathan mampir. Sesuai dengan ekspektasinya, di kafe ini menyediakan perpustakaan dan beraneka macam buku. Pas banget kalo gitu.
Kalimatnya banyak yang diulang-ulang yak?😭 Nanti deh direvisi setelah selesai. Tolong koreksiin dah yang mana aja yang kurang enak dibaca, nuhun🤍
KAMU SEDANG MEMBACA
WAY BACK HOME
RomanceBelasan undangan di tangan Hanin terjatuh saat mendengar cerita gadis di depannya. Namanya Syafira, gadis yang baru Hanin kenal 5 menit lalu. Sekarang gadis itu menangis hingga sesenggukan sambil terus mengelus perutnya yang sudah mulai membesar. T...