Aku duduk di dalam kelas, sendiri.
Bajuku basah, untung saja tasku tidak kena air. Handphoneku yang tahan air ku ambil dari saku rokku.
"Reno. Aku dapet chat dari ya.... Biasalah teror biar nggak deket sama kamu. Tapi, ada yang aneh. Biasanya kan cuma chat doang, sekarang sampe ngetag di fb. Nyemarin nama baik aku. Aku bingung harus gimana... Aku malu buat ke sekolah. Kamu tau mereka bilang apa di status mereka? Mereka bilang aku ngekang kamulah, aku meletlah, sampe ada yang bilang pelacur. Aku tahu kita udah lama banget temenan, kemana-mana sama-sama. Tapi sekarang beda, kamu, temen-temen, sampe para adik kelas juga. Aku bingung. Aku kayaknya harus jaga jarak. ah, bukan aku. Tapi kita," ucapku dipenuhi isak saat bertelepon dengan Reno.
"Apa nggak bisa baik-baik?" ucap Reno
"Kamu tahu? Seragam olahragaku yang basah itu bukan emang belum kering, tapi pas aku lagi ganti baju ada yang nyiram dari atas. Untung seragam putihnya enggak basah. Terus pas aku bilang nggak bawa buku pelajaran, aku bohong. Tas sama isinya ada yang nyemplungin ke bak air di wc," ucapku sambil menangis.
"Kamu dimana?" ucap Reno.
"Dikelas. Nunggu semua anak bubar. Masih ada anak cewek kelas sembilan f sama c yang ada di teras kelas. Kelas A masih banyak. " ucapku berusaha terdengar tegar.
Aku memutuskan teleponnya dan berlutut di lantai menghadapkan mukaku kebawah. Menangis.
Suara pintu kelasku dibuka. Seseorang mendekat. Apa peduliku, bunuh saja aku sekalian. Biar kalian puas!
"Ayo. Pulang. Udah sore banget. Gue anter sampe rumah," ucap seorang pria yang entah siapa.
Aku mengangkat muka. Izma membuka jaket cokelat mudanya dan memakaikannya pada punggungku.
"Yuk," Izma membawa tas hitam selempangku. Kenapa harus disaat seperti ini dia hangat?
"Kuat jalan nggak?" ucap Izma menepuk bahuku dan mengsejajarkan mukanya dengan mukaku. Dia berlutut dan menyeka poniku yang menghalangi mukaku. Oh ya tuhan.
"Iya. Masih kuat," aku mengusap air mataku.
"Siapa yang giniin lo?" ucap Izma memakaikan jaketnya padaku dan menarik tanganku dan membantuku berdiri.
"Nggak kenal," ucapku.
"Gue bakal minta pindah kelas. Tapi, bukan buat lo. Biar gue bisa liat siapa yang giniin lo. Gue nggak suka bullying," ucap Izma datar, tapi dari tatapannya cukup untuk membuat hatiku meleleh.
Apalagi tangannya yang menggenggam tanganku.
"Caranya?" ucapku seolah meremehkan.
"Nggak ada yang berani ngelawan Izma. Camkan." ucap Izma tersenyum.
Oh, dia ganteng banget! Lalu kami berjalan menuju tangga yang mengarah ke gazebo.
Lalu, ke parkiran mengambil motor Izma. Ada beberapa siswa eskul yang melihat kami dan Izma tak peduli.
Tanpa bicara, aku naik ke atas motor saat Izma sudah mengstater motornya.Izma melajukannya, dan aku melihat seseorang yang sangat dekat denganku dan menjadi alasan aku dihadiahi bullyan ini, Reno. Dia menatapku lurus.
Melihatku dengan rok basah. Serta baju putihku yang basah yang ditutupi jaket Izma. Cukup! Udah cukup aku mertahankan persahabatan ini.
Aku tak menyalahkan Reno. Tapi seharusnya aku tak mengenal dia dari awal.
Dan kini, pria yang aku sukai. Tepat didepanku, sangat dekat. Bahkan aku bisa memeluknya jika aku mau.
Tapi rasanya menyedihkan, dia melihatku saat aku terlihat lemah. Ah! Dasar! Aku cewek nggak guna!!!
"Nggak turun?" ucap Izma membangunkanku dari lamunan.
Tepat didepan rumahku yang dipinggir jalan ini. aku turun dan memandang Izma. Kok dia tahu.
"Masuk dulu," ucapku
"Iya," Izma memarkir motornya dihalaman. Lalu masuk ke dalam rumah. Aku membuka pintu rumah dan menyalakan lampu.
Sepi, tak ada siapapun.
"Lo sendiri?" ucap Izma, aku mengangguk.
Aku membawakan segelas air putih dan meletakkannya diatas meja.
Izma membuka tasnya dan mengeluarkan plester luka. Lalu sedikit membungkuk setelah itu memasang plester di pipi kiriku.
Jantungku!
"Makasih," ucapku.
"Jangan mau dibully. Kalo lo luka gue jadi khawatir tau," ucap Izma memandang ke sisi yang lain, menyembunyikan kepeduliannya.
"Iya," ucapku sambil tersenyum.
"Besok, bangku gue bakal ada di depan lo. Pas berangkat, barengan aja sama gue," ucap Izma
"Makasih, tapi kayaknya aku bisa berangkat sendiri," ucapku.
"Gue maksa. " Izma berdiri dan memakai tasnya.
"Gue balik ya," ucap Izma membuka pintu.
"Iya. Kamu hati hati dijalan," ucapku sambil berjalan menuju pintu.
Izma mengstater motornya dan kembali menatap ke arah pintu lalu melambaikan tangan dan tersenyum tipis.
Aku membalas lambaiannya.
Dia melaju dan tak terlihat lagi.
Aku menutup pintu lalu masuk ke kamar."Jaket Izma ketinggalan!" ucapku saat melihat pantulan diriku yang berjaket milik Izma dari kaca lemari.
"Cuci dulu aja ah. Besok kembaliin," Aku ke toilet dan mencucinya dengan mesin cuci.
Setelah itu aku menggantungnya dengan gantungan baju dan meletakkannya di tangan lemari lalu menyalakan kipas angin agar jaket itu cepat kering.
Aku bercermin, bajuku masih basah dan satu plester terpasang dipipiku yang terluka. Oh, semoga saja Izma juga mau mengobati luka dihatiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Izma [ TAMAT ]
Roman d'amour[ tamat ] [ Sedang revisi ulang ] [ Bisa sedih kapan aja ] #8 on tragis (11-12-18) Inilah kisahku, bersama mimpi, masa depan, dan masa lalu yang penuh masa masa indah bersamamu. Penyesalan selalu datang di akhir. Jangan pernah menganggap sesuatu tak...