♧ Hour 7 ♧

7.3K 969 14
                                    

Untuk waktu yang lama kami duduk di sana dalam keheningan, tak ada yang dipikirkan, menatap langit-langit seolah itu adalah hal paling menarik sampai Taehyung memecah keheningan.

"Chae-ah," gumamnya.

"Hm?"

"Bicara padaku." Terdengar seperti permohonan dan aku terkekeh sembari melayangkan pandanganku padanya. Rambut kusutnya, kepalanya yang bersandar di sofa, kerah bajunya yang cukup untuk memamerkan collarbone miliknya, semua tentangnya begitu indah.

"Kau sangat cocok dengan rambut merah," kataku, memandangnya dan ia menegakkan posisi duduknya.

"Oh my god, serius?" Ia melongo memandangku dan alisku mengenyit, "iya."

"Apa kau barusan memujiku? Ini adalah hal terbaik yang pernah kau katakan padaku." Ia tertawa dan aku tidak tahan untuk tidak tersenyum.

"Aku suka. Kau harus lebih sering memujiku."

"Taehyung, aku cuma bilang warna merah cocok untukmu. Tenanglah." Aku geleng-geleng kepala.

"Tetap saja. Kenapa sebelumnya kau tidak mengatakan hal seperti itu padaku?"

"Yah..." Aku mendongak menatapnya kemudian menunduk menatap kakiku, "sebelumnya kau tidak pernah bicara padaku jadi-"

"Aku akan bicara padamu kalau kau menyingkirkan semua buku yang mengelilingimu di kelas." Ia menggerakkan tangannya seolah tangannya menyingkirkan sesuatu di meja khayalan di depannya untuk menekankan ucapanya kemudian ia kembali berkata, "dan kau juga tidak banyak bicara pada orang-orang."

Entah dia agak kasar atau aku yang terlalu sensitif? Aku mengendik, "Maaf, cuma aku bukan tipikal orang yang begitu bisa bersosialisasi."

"Beritahu aku sesuatu yang tidak kuketahui." Ia tertawa, "Kau akan punya pacar kalau kau sedikit saja lebih bersosialisasi. Aku cuma mengatakan apa yang kupikirkan."

Aku terkejut mendengar kata-kata itu darinya, tapi ini bukan pertama kalinya seseorang memerlakukanku seperti ini. Biasanya aku akan membiarkannya berlalu tapi sekarang, "Dengar, Tae ... alasan kenapa aku tidak punya pacar adalah karena itu buang-buang waktu dan aku tidak mau buang-buang waktu. Aku punya lebih banyak hal yang jauh lebih baik untuk dilakukan ketimbang menjilat milik seseorang dan-" aku diam sejenak, "dan tidak sepertimu, aku lebih memilih satu teman sejati ketimbang punya sepuluh yang cuma mau tidur denganku."

"Maksudku bukan begitu." Tangannya terulur dan aku menepisnya.

"Sudahlah." Kualihkan pandanganku.

"Aku tidak bermaksud menyinggungmu-" Ia mulai bicara dan aku menyelanya.

"You suck, Tae."

"and you swallow," timpalnya.

"Memangnya kau ini apa? Anak umur dua belas tahun?"

"Iya, di atas sepuluh."

Aku lelah dengan kelakuan anak ini dan jika membunuh itu legal, hari ini aku sudah membunuhnya tujuh kali. Aku berdiri, berniat pergi namun cengkeramannya di pergelangan tanganku menghentikanku. Aku berbalik menoleh padanya, "Kau mau apa?" tanyaku, berusaha melepaskan tanganku cengkeraman eratnya.

Aku berusaha melepaskan tanganku sampai ia bicara lagi, "tunggu," ia berdiri, menunjuk liontin yang tergantung pada kalung kecil di leherku, "ini milikmu?"

"Jangan sentuh." Kutepis tangannya dan ia memandangku, sedikit menarik saat ia menjilat bibirnya untuk melembabkannya.

"Punyamu?" Ia bertanya lagi dan kuputar bola mataku, "Kalau ada padaku, yah berarti punyaku," jawabku." Ia melongo menatapku seolah ia terkejut namun ia kembali mengajukan pertanyaan, "Siapa yang memberikannya padamu?"

"Tae..."

"Siapa yang memberikannya, Chae?" Ia terdengar sangat ingin tahu jadi aku menjawabnya.

"Someone special." Aku tersenyum, memasukan bandul kalung itu ke bajuku dan memori itu kembali.

Satu-satunya orang yang pernah kucintai, tangan kecilnya meletakkan liontin kecil di telapak tanganku lalu berkata, "Ini akan membantumu mengingatku," dan ya aku mengingatnya, setiap momen yang kami bagi bersama, segalanya kecuali namanya. Entah berapa kali aku mencoba mengingatnya tetap saja tidak bisa-

"Shit." Ia bergumam yang membuatku kembali tersadar. Sebelum aku bisa merespon, ia menarikku dan tangannya merengkuhku.

"Apa ... apa yang kau lakukan?" Terasa sesak karena pelukan eratnya.

Tanganku terkulai di kedua sisi tubuhku sampai kugerakkan menakan dadanya, berusaha membuat jarak dengan anak ini tapi ia justru semakin mendekapku.

"Kumohon..." pintanya, pelukannya semakin erat di piggangku. Satunya mendekapku lebih erat sementara tangan satunya memegang ujung bajuku, "biarkan aku memelukmu sebentar saja." Ia terdengar rapuh.

Aku bingung atas aa yang ia lakukan. Sedetik yang lalu kami bertengkar dan sekarang ia mendekapku erat. Tidak tahu harus berbuat apa, sekali lagi kubiarkan tanganku terkulai dan kubiarkan ia memelukku.

Hidungnya menyentuh kuping telingaku untuk sedetik, dua detik berikutnya ia menari napas, tiga detik yang lambat ia mengubur wajahnya di leherku dan empat ... ia melepaskanku.

Ketika ia menarik diri, bisa kulihat samar-samar mata Taehyung basah dan aku masiih tidak tahu akan apa yang terjadi tapi aku ingin ia merasa lebih baik.

"Sudah lebih baik?" tanyaku, ragu-ragu mengusap lengannya sementara memegang pinggangku.

Ia mengangguk, mungkin tidak percaya pada suaranya tapi aku tidak pernah melihat Taehyung seperti ini sebelumya, dan tidak tahu apa yang membuatnya tiba-tiba rapuh membuat situasi lebih buruk.

"Aku akan ambil air." Ia melangkah dan kali ini aku yang menghentikannya dengan sebuah tangan di pinggangnya.

"Akan kuambilkan." Aku tersenyum.

"Chae-ah, kau tidak perlu-"

"Sshh! Diam dan duduk sana di sofa, aku akan segera kembali." Aku mengerling dan ia memberiku kekehan yang terdengar parau.

* * *

24 Agustus 2018

24 Hours ➳ KTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang