a dream

24 3 0
                                    

Sunyi menghiasi latar keadaan tempatnya berada. Membuka kemudian menutup lembaran buku bersejarah dihadapan obsidiannya dengan tanpa terusik. Ia dibuat heran. Mengapa kaki kurus nan lunglai itu terus hadir di setiap mimpinya dan berdiri di sudut kamarnya? Apakah ia tak lelah dengan terus memandanginya berkutat dengan buku tak penting itu? Kemudian ia beranjak, melangkah mendekati gadis lugu itu. Ia mengerjab perlahan. Apakah ia memang harus bertanya siapa namanya? Baiklah. Lupakan saja. Nyatanya kini tangan kanannya mulai mengudara, siap menerima jabatan tangan gadis dihadapannya.
    "Kau.. Siapa? Kenapa kau ada disini?" 

                                       
                                     ***

    Bajunya sedikit tersingkap, membuat sebagian daerah tubuhnya menjadi lebih dingin. Merasakan itu, kedua kelopak mata tajam itu terbuka dengan sayu nya. Mengingat semalam tadi, ia tak dapat menghentikan candunya pada buku buku gambar tersayangnya untuk sekedar mencoretnya dengan pola abstrak.

Ia menggeliat kecil. Mengucek matanya perlahan, membiasakan cahaya matahari yang menyilaukan mata masuk kedalam kamar luasnya. Lalu dengan gerakan lamban, ia menyandarkan punggungnya pada headboard ranjang besarnya. Menyatukan kembali nyawanya, dan lalu memperbaiki beberapa memorinya yang
terbuang beberapa menit yang lalu dibawah alam sadarnya. Lalu dengan kilat ia mendapatkan kembali ingatannya. Menyipitkan sedikit kedua manik mata tersebut ketika sebuah pemikiran sekelebat muncul di dalam kepala kecilnya.

    "Semalam.. Mimpi itu, ia hadir lagi? "

.

.

  "Kenapa kau tidak bunuh saja orang itu? Lalu, aku akan menjadi ahli waris di dalam perusahaanmu tanpa harus membagi sedikit kekayaanku padanya. Tidak berguna,"

Wanita setengah baya yang duduk tak jauh dari tempat peraduan pemuda yang baru saja menyelesaikan kalimatnya itu menggeleng lemah, berjalan menghampirinya dan membuat gerakan seolah akan memukulnya.

Namun ia tak benar benar melakukannya, hanya sebuah kiasan saja agar ia berhenti mengatakan sesuatu yang akan memberikan sebuah luka bagi orang yang mendengarnya.

"Sebaiknya perbaiki bicaramu. Aku tak pernah mengajarimu untuk bersikap seolah ia adalah temanmu. Dimana sebenarnya letak kesopananmu?! Apakah perlu kuberitahu lagi perihal ini?panggil dia ayah!"

kata wanita itu seraya menunjuk pria lain disamping tempatnya berdiri dengan sedikit nada penekanan.

Sementara tak jauh dari tempat ketiga manusia itu berkumpul, terdapat seorang gadis yang tak bergeming sedikitpun oleh cercaan pemuda jangkung tadi meskipun ia dapat mendengarnya dengan jelas.

Ia hanya terus fokus berkutat pada sebilah pensil dan selembar kertas putih yang kemudian dijadikannya sebuah bentuk pelampiasan kekecewaannya pada hinaan beberapa menit yang lalu.

Ia mencoretnya, membentuk sebuah garis lalu membuat sebuah pola berbentuk benda tajam.

"Kau... Berhentilah menyakiti adikmu dengan perkataan bodohmu, " ucap lelaki yang dipanggil ayah itu.

Pria yang lebih muda mendengus, mencoba memilih jawaban yang tepat dari dalam kepalanya untuk kemudian dikatakannya pada ayahnya.

"Lihat! Dia bahkan tak lebih seperti manusia bodoh tak berpendidikan yang hanya terus duduk termangu menunggu seseorang mengajaknya bicara meski sebenarnya ia adalah gadis yang pelit bicara, "

kata itu cukup membuat gadis diujung ruang tamu itu mengangkat wajahnya.
 
  Menatap tajam pada seseorang yang beberapa menit yang lalu melontarkan kalimat menohok nya. Saat ini bahkan orang gila pun tau jika ia yang kini lebih tampak seperti orang yang tak berpendidikan dengan segala perkataannya.

  Ia meletakkan pensil panjangnya, beranjak, lalu kemudian berjalan pelan menuju pemuda itu dengan membawa kertasnya. Ayahnya mengharap harap sesuatu yang buruk yang akan dibuatnya tidak akan pernah terjadi.
Namun.. Segalanya kini tampak hening. Membuat semua orang yang mendengar jawaban gadis itu akan terpaku, tak percaya dengan kalimatnya.

"Akan kubuktikan bagaimana gedung besar yang kau sebut sekolah itu tidak akan menjamin seseorang yang mendatanginya akan lebih pandai daripada seseorang yang sekalipun tak pernah menginjakkan kakinya pada tempat sialan itu. Kau... Tak lebih pandai dariku, aku yakin itu "

Dengan sedikit hentakan, gadis itu melenggang pergi setelah sebelumnya meremat kertas di genggamannya lalu di buangnya begitu saja dihadapan pemuda itu. Ia tak bergeming, dahinya berkerut rumit.

Bertanya tanya apakah dia adiknya? Si pendiam tingkat dewa?

Tak biasanya. Ia sedikit lebih banyak bicara. Ucap dave dalam hati.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 24, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

halucinationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang