Lagi-lagi, [Name] berjalan gontai dari halte menuju rumah, kali ini ia takkan seperti waktu itu yang duduk di halaman orang lain. Keringat yang menetes di kening segera [Name] urus dengan sapu tangan kesayangan. Rasa lelahnya bisa hilang saat berhenti sejenak untuk minum—kemarin baru beli tupperware baru. Sudah minum, perhatian [Name] teralihkan oleh banyaknya gerombolan anak kecil di halaman rumah Lukas.
"A-ada apa di sana?" [Name] menghampiri halaman luas yang hijau itu.
"Datang lagi kalau aku jualan, ya. " Lukas melambaikan tangannya saat anak-anak kecil berhamburan sambil memegang eskrim di tangan.
[Name] tahu-tahu sudah di halaman rumah tetangganya. Dilihat dari dekat, Lukas yang biasa [Name] lihat berpenampilan rapi ataupun casual, tiba-tiba kini penampilannya benar-benar seperti pedagang; kaus putih dengan gambar pantai, kaus lengan pendek digulung sampai pundak, memakai topi putih, banjir keringat, handuk kecil melingkar di leher dan celana pendek. Memang sekarang musim tengah panas-panasnya, tapi bukan berarti harus berubah jadi tukang eskrim di halaman rumah, kan?
"Oh, [Name], sayang sekali, es krimnya sudah habis." Setelah sadar akan kehadiran [Name]—tadi lagi ngitung duit—Lukas akhirnya menyapa.
"Eh?" [Name] kaget karena Lukas sadar akan kehadirannya. "Ti-tidak apa-apa, hehe, aku hanya penasaran, tiba-tiba rumahmu ramai."
"Benarkah? Ini semua demi tugas liburan musim panas-nya Emil." Setelah mengelap keringat, Lukas menjawab.
"Emil?"
"Itu adikku, kau belum pernah melihatnya?"
"Be-belum." Meski [Name] menjawab begitu, ia ingat beberapa kali pernah lihat seorang anak SMA dengan warna mata serta warna rambut yang tidak jauh berbeda dari Lukas.
"Tidak apa-apa kalau belum, lagipula dia benci keramaian. Ayo, ikut ke rumah." Lukas membenarkan gulungan lengan.
"E-eh? Aku pulang saja, ya." Sudah lama rasanya Lukas tidak ajak-ajak ke rumah. Pikiran [Name] mengacu pada kepribadian Lukas yang sering mengajaknya tanpa pikir panjang.
Lukas diam sejenak. Ah, ia ingat beberapa minggu yang lalu, pelecehan pakaian, tata cara ia meminta maaf ... tentu saja [Name] semakin was-was. "Aku tak jahat. Emil menyisakan tumpukan es krim untukmu."
"Ehh? Adikmu menyisakan untukmu?" Untuk beberapa alasan, nada suara [Name] sangat gembira.
Untuk beberapa alasan juga ... Lukas menyesal telah berkata begitu. Kalau Lukas bilang, sebenarnya yang menyisakan es krim itu dirinya? Apa [Name] akan gembira juga?
"Salah, [Name], sebenarnya Emil mati-matian untuk menjual semuanya. Karena aku ingat padamu, jadi aku sisakan semangkuk besar di kulkas." Lukas tak jadi menelan sendiri penyesalan, ia segera mencurahkan isi hati.
[Name] terkejut atas ucapan Lukas selanjutnya, wajahnya yang kesal sangat lucu. [Name] menertawakan semua itu.
"[Name] ...." Lukas kebingungan.
"Entah itu darimu, dari adikmu, dari siapapun, terima kasih banyak karena telah menyisakannya untukku!"
Lukas menarik senyum tipis, setiap melihat reaksi [Name] yang penuh tawa, hatinya terisi oleh perasaan lain.
"Ayo."
"Nanti bakal aku bayar, kok, Lukas."
"Eh? Tapi ...."
"Aku akan bayar pokoknya!" [Name] tersenyum lebar.
".... Baiklah."
•∆•
"Kalau adikku sudah besar, akan jadi seperti adiknya Lukas tidak, ya? Ahh, aku tak sabar melihat dia tumbuh besar!" -[Name]
"Aku punya ide, [Name] tak perlu bayar pakai uang, pakai jasa saja." -Lukas
...
Bersambung...
A/n:
Bayar pake jasa... Jasa ngasuh Emil? Heuh (*´ω`*)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tetangga Baru (Lukas Bondevik)
Fiksi Penggemar[Name] terlalu fokus pada kuliahnya, sampai-sampai rumah kosong sebelah sudah dihuni. Hm, seperti apa tetangga barunya itu? •Lukas Bondevik x Reader• [Norway x Reader] ... HETALIA © Himaruya Hidekaz Story © Shiina Himawari Project: Neighbour