Φ Arkan Bukan Playboy (2)

2.1K 200 1
                                    

Aku menggigit sendokku dengan kencang saat merasakan atmosfir yang aneh di sekitarku. Ah, baiklah. Entah apa yang sedang semesta beserta alamnya lakukan padaku. Hanya saja, hari ini sungguh amat sangat berat. Aku terlalu aneh dengan keadaan ini. Keadaan dimana mantanku, si Arkan sedang duduk bersama kami, yaitu aku dan Michael. Dia makan dengan amat sangat santai, sedangkan jantungku berdebar dengan kencang akibat keberadannya.

Bukan. Aku bukan jatuh cinta.

Aku hanya terbayang dengan kejadian tadi pagi, dan juga karena El saat ini sedang menatap tajam pada Arkan. Sedangkan Arkan pura-pura tidak melihat, di sini aku benar-benar sedang dalam kesulitan bernapas. Bagaimana bisa Arkan duduk di sini dengan santainya?

Aku menelan ludah dengan susah payah saat merasakan pergerakan di sampingku. Mataku melirik pada El dengan ketakutan. Tak sadar, aku kini mengamit jari kelingking El, seolah meminta perlindungan.

Bukan tanpa alasan mengapa aku melakukan hal tersebut. Hanya saja, aku memang ketakutan. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana sifat Arkan yang sebenarnya. Selain playboy dan childish, tentunya. Ya, siapa tau jika Arkan tidak seperti yang kulihat? Seperti kenyataan bahwa, walaupun Arkan playboy, tapi itu ternyata untuk menutupi kelainan seksualnya. Dan aku sangat tahu pasti, jika orang gay pasti sangat tidak suka dengan kenyataan bahwa salah satu mantannya melihatnya sedang melakukan kegiatan sex dengan lelaki lain. Apalagi, saat ini Arkan terlibat hubungan dengan salah satu sahabat Selen.

"Arkan," suara El membuat aku menelan ludah, dan menggigit bibir bawahku dengan kuat. Aku menunduk, merasa takut saat Arkan mengangkat wajahnya yang terlihat datar. "Ngapain lo disini?" tanya El kemudian.

Aku makin menundukkan kepala, enggan melihat interaksi keduanya.

"Kenapa? Nggak boleh?" Arkan malah bertanya balik, seolah menyindir. "Gue selalu duduk di sini, bahkan sebelum lu dateng."

Faktanya, apa yang dikatakan oleh Arkan memang benar. Meja yang aku dan El tempati memang meja di mana anak-anak populer berkumpul. Meja di mana selalu menjadi tempat orang-orang memuja idolanya masing-masing. Yah, walaupun aku dulu tidak peduli-peduli amat dengan kenyataan bahwa meja ini mempunyai hak milik, tapi, meja ini juga tempat di mana aku bertemu Arkan dan bahkan diputuskan oleh Arkan. Saat itu, aku kira aku tidak akan duduk di sini lagi ketika saat kali pertama orang-orang seolah kaget ada yang berani duduk di meja itu. Namun nyatanya, saat aku didekati Arkan, dia malah membawaku duduk di meja ini lagi. Dan El juga sama saja. Setiap membawaku, pasti duduk di sini.

"Gue udah peringatin semua anggota meja ini, kalo selama gue pake tempat ini sama Reana, jangan ada yang ganggu gue." El kembali bersuara. Entah ini hanya halusinasiku saja, atau memang El mengeluarkan suara yang mengancam?

Dari ujung mataku, aku melihat Arkan meletakan sendok di samping piringnya, lalu bersidekap di meja. "Gue masih ingin alasan yang masuk akal tentang lo yang tiba-tiba ngajak Reana pacaran."

Aku sontak mengangkat kepala, dan menatap heran pada Arkan akibat ucapannya barusan. Kenapa Arkan ikut campur? Eh tapi, jika mereka berteman, dan Arkan ternyata satu grup dengan El, dia bisa aku korek informasi mengenai El, kan? Dan lagi, aku juga sama keponya tentang alasan mengapa El memaksaku berpacaran.

"Gue udah bilang kalau itu bukan urusan lo." balas El dingin.

"Tentu, itu urusan gue."

"Kenapa jadi urusan lo?"

"Karna Reana mantan gue."

"Kenapa bisa gitu?" itu bukan balasan dari El, namun dariku. Kedua orang itu sontak menatapku, membuatku menundukkan kepala lagi karena takut pada Arkan. Aku mengeratkan genggaman tanganku di kelingking El, lalu merapatkan dudukku dengannya. Duh, Na. Kenapa kamu sangat ceroboh? Dan lagi, kenapa mulutku sangat tidak ingin diam?

Dari dulu hingga sekarang, aku memang selalu penasaran dengan banyaknya mantan yang tidak terima saat mantannya berpacaran dengan orang lain. Mereka merasa tidak rela, bahkan disaat dirinya sendiri sudah memiliki kekasih. Aneh, kan? Mungkin, presepsiku berbeda. Namun, jika benar dia masih menyukai mantannya, kenapa harus memutuskan hubungan? Dan lagi, dia yang mutusin, dia yang tidak terima saat mantannya jadian sama orang lain. Aneh, kan?

"Ini bukan urusan lo. Reana bukan urusan lo," aku kembali mendengar suara El yang terasa dingin dan mengancam. "Dia udah jadi milik gue. Dan lo sebaiknya menjauh daripada kena akibatnya."

O-ow. Aku tidak tahu jika El memiliki sisi seperti ini juga. Kepemilikan. Dia memiliki sisi yang bahkan tidak pernah ditunjukkan padaku.

Aku masih mencerna perkataan El saat merasakan tarikan di tanganku. El menyeretku dengan langkah terburu seolah menghindari setan, monster, atau parasit yang menganggu kami. Aku mengikuti saja. Memikirkan ucapan El dengan otakku yang terasa penuh.

Ini tidak benar. Maskudku, aku sudah dijodohkan oleh Nenekku, dan aku menerimanya. Sedangkan El. Disini, dialah yang menjadi pacarku. Melindungiku, dan bahkan menemaniku saat aku sakit. Ini tidak benar. Amat sangat tidak benar. Aku jahat, dan El menjadi korban di sini.

Kepalaku menggeleng pelan, dan mulutku berbisik. "Gue jahat."

Aku menghentikan langkah, dan menarik tangan El yang masih menarikku. Aku menelan ludah, mengangkat wajah saat El berbalik dengan heran. Aku mengambil napas panjang sebelum berucap. "Gue dijodohin."

Dan aku dapat melihat wajah El yang tegang saat menatapku.

Kronos [COLD DEVIL #3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang