2

168 48 57
                                    

Mari budayakan vote dan comment 😂
.
.
.

Jika bukan tentang hati, bagaimana kita bisa saling mempercayai?

_________________________________________

Wanita paruh baya itu meneguk teh hangatnya sambil menatap keluar jendela. Bisa di bilang mungkin ini sudah menjadi rutinitasnya di setiap pagi, selain duduk santai di ruang tamu, bunda juga memiliki kebiasaan menunggu ayah pulang dari kerja.
“Sudah bilang ayahmu?” tanya bunda datar, Wilda selalu membenci ini, sikap dingin bunda harus membuatnya selalu bertanya tanya kenapa bunda seperti ini.

“Belum”

Bunda menarik nafas, menanyakan beratus pertanyaan untuk anak satu satunya itu. Jujur saja, dia bangga anaknya mendapatkan beasiswa di sekolahan ternama. Bunda bahagia, tapi dia diam. Ini yang membuat hati Wilda mencelos. Dia tidak butuh pujian dari bunda, dia hanya membutuhkan semangat yang pernah bunda beri dulu. Dulu, sebelum keluarganya yang kaya raya harus jatuh karena perusahaan terjerat hutang.

“Bunda sudah makan?”

pertanyaan itu terdengar menyedihkan, Wilda meremas ujung seragamnya. Bunda menggeleng, “Apa mau Wilda ambilin?”. Sekali lagi bunda menggeleng.

“Kamu sekolah saja, nanti kalau bunda lapar, bunda ambil sendiri”
Wilda mengangguk terpaksa, kemudian meraih tangan bunda untuk ia cium.

“Wilda sayang” ucap gadis itu kemudian pergi, sang bunda menatap punggung anaknya haru. Dia tidak kuat jika harus terus terusan seperti ini, mungkin dia akan mengungkap semuanya, semua tentang anak semata wayangnya itu.

                        **********

Sepanjang perjalanan di koridor, Wilda masih memikirkan perihal tadi pagi. Gadis itu menggeram kesal, kemudian langkahnya terhenti karena melihat kerumunan yang tak jauh dari pandanganya. Ia mendekat, terdengar jelas umpatan dari seseorang.

“Bangsat! Ini bukan tontonan, anjir!, liat gara gara curut ini pagi gue udah surem!” umpat Edgar tanpa putus.  Disana juga berdiri Vraka dan Dinda.

“Gue bingung jadinya, eh Din, lo tau kan gimana Alden? Lo mesti juga udah tau ujungnya kayak gimana?” Vraka mengusap kasar wajahnya.

“Biar gue perjelas, jadi gini nih, lo di angkat pacar ama si Alden kapan? Agustus kan? Nah ini udah Agustus lagi. Genep setaun dong. Yaudah kalo lo agustus jadian, berarti agustus juga lo putus”
Dinda menggeram, “Gak bisa, gue udah cinta ama Alden, dan Alden juga cinta ama gue, gak bisa main putus putusan gini” Wilda masih menyimak, mendengar cara bermain Alden, dia menjadi lebih muak dengan lelaki itu.

“Buset dah curut! Gue harus ngomong ama lo pake bahasa apa lagi? Perlu ya gue ngomong pake bahasa curut?” Vraka berdecih. Dinda mengambil langkah maju, berjalan mendekat kearah Vraka juga Edgar, menatap tajam dua cowok itu.

“Mungkin Alden bisa main main, tapi gue gak pernah main main. Bilang ke Alden kalo dia gak mau hidupnya gue ganggu, dia harus balikan ama gue dan lupakan tentang ‘pacar tahunan’, karna hanya gue yang pantes jadi pacar Alden”. Dinda kamudian pergi, membelah kerumunan yang dari tadi menonton aksi marah marahnya.

“Setan-setan, padahal gue selalu do’ain lo biar cepet ngilang dari ni bumi” ucap Vraka menggeremang.

Semua siswa berjalan bubar setelah aksi tadi selesai, hanya ada Wilda yang masih diam seolah mencermati tentang ‘pacar tahunan’. Vraka dan Edgar menatap kearah Wilda dengan penuh tanya, di saat semua sudah bubar tapi dia masih diam seolah adegan belum berhenti. Vraka menyenggol lengan Edgar, bermaksud menyuruhnya untuk mengucapkan sesuatu.

KaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang