ppyg

75 6 9
                                    

Sebuah penghianatan kerap kali terjadi baik dalam hubungan keluarga, status sosial, maupun pertemanan.

Jinyoung mengalami hal itu sekarang. Terjadi sebulan yang lalu tetapi dia tidak mempunyai alasan gamblang bahwa sebenarnya dia mengetahui sesuatu itu sejak lama. Kekasih dan sahabat menusuknya dari belakang, melakukan hal paling idiot dibelakang punggungnya. Alih-alih memaki dua manusia tak punya hati itu, Jinyoung memilih untuk menenangkan pikirannya dengan cara berkelas.

Suatu tempat yang nyaman untuk sekedar minum. Tempat ini biasa untuk orang-orang yang sedang menghindari hingar bingar kota. Menjauhi  kesibukan manusiawi dengan disugihi light night dan musik klasik. Heh, Jinyoung sekali.

Jika ditanya apakah Jinyoung marah, ya. Itu sudah jelas. Hatinya terluka. Yugyeom adalah orang pertama yang memberinya ciuman, pergi dengan orang lain. Bocah berperawakan tinggi itu menghianatinya setelah berjanji akan mencintainya seumur hidup.

Lalu apakah Yugyeom memang mencintainya selama ini? Selama lebih dari setangah hidup Jinyoung dihabiskan hanya dengan Yugyeom. Apa arti sebuah rumah bagi anak itu, Jinyoung bertanya pada dirinya sendiri. Perlengkapan rumah tangga yang mereka kumpulkan bersama tak ber-arti apapun sekarang. Jinyoung menjadi bodoh karena Yugyeom, dan hanya dalam satu bulan bocah itu menghancurkan separuh hatinya.

Gelas berisi es serta air ber-alkohol itu terangkat setengah didepan mulutnya. Sepasang manik itu kosong, mengumpulkan gumpalan air bening yang siap tumpah. Jinyoung sudah tidak tahan lagi untuk bersandiwara didepan semua orang. Dia menangis setelah meletakan gelas berisi alkohol itu agak kasar. Tangisannya terdengar sangat menyayat, luka itu tak terlihat tapi rasanya seperti dia akan mati.

Lalu bagaimana dengan sahabatnya, ah bahkan gelar itu tak pantas lagi untuk orang yang berani tidur dengan milik orang lain. Jinyoung tidak habis pikir dengan takdir yang diberikan Tuhan padanya, dia hampir mati karena orang itu. Jatuh bangun Jinyoung mempertahankan perusahaan sahabatnya. Menguatkan teman kadungnya demi terbang bersama-sama. Tapi apa yang dia dapat sekarang sangat mengejutkan. Kenapa harus temanya?

Merasa sedikit tenang dengan dirinya, Jinyoung bangkit. Menangis sendirian seperti sekarang tak adil, kan? Dia ingin Yugyeom merasakan apa yang ia rasakan. Anak itu mencarinya. Menunggu Park kembali dari kekecewaan. 

Benar saja, jaksa muda itu menunggu Jinyoung dengan wajah khawatir. Jinyoung melihatnya jijik, bahkan sapaan Kim berhasil dia abaikan. Meski demikian, Yugyeom tak menyerah dia berjalan mengikuti Jinyoung ke lantai atas dimana terletak ruangan pribadi mereka. Sebuah ruangan yang di desain oleh Jinyoung, dan ditentang oleh Yugyeom karena terlalu mewah.

"Jinyoung" Yugyeom memanggil nama itu rendah, mencoba meraih sikut tangan suaminya. "aku tahu aku salah, tapi jangan diamkan aku seperti ini."

Jinyoung berhenti. Tangannya mengepal keras.
"Apa aku harus tertawa, setelah melihat istriku mencium orang lain?" Jinyoung mengahadap Yugyeom, anak itu tertunduk.

Jinyoung melempar pandangannya ke udara, melebur sesak yang kembali menjalar dalam dadanya. "Aku salah, maafkan aku!" Gumam Yugyeom.

"Maaf katamu? Aku hampir mati Yugyeom! dan kau menyuruhkan untuk tidak mendiamkan mu?" 

Jinyoung menepis pegangan tangan Yugyeom, kembali berjalan menuju kamarnya meninggalkan sekejur tubuh Yugyeom yang terpaku karena rasa bersalahnya.

Tak lama terdengar suara benturan benda kaca dari kamarnya. Itu perbuatan Jinyoung, ia melemparkan semua foto mereka diatas nakas kamarnya. Dia muak dengan semua masa lalunya, gambaran dirinya terlihat bodoh. Jinyoung berteriak frustasi.

Yugyeom menangis, dia berlari menuju kamarnya. Sayang, Jinyoung enggan berbagi kesedihannya dengan Yugyeom. Park dirinya sendiri.

"Aku mohon jangan begini, Jinyoung. Kau berhak membenciku, aku pantas menerimanya"

Yugyeom menggedor-gedor pintu dengan keputus asaan. Dia tidak berharap hal semacam ini terjadi dalam rumah tangganya.

"Kau milikku Yugyeom. Berapa kali, hah? Sejak kapan? Apa kau tidak merasa puas denganku?"

Yugyeom menggelengkan kepalanya, kakinya yang sudah melemas sedari tadi perlahan merosot ke lantai. Air matanya berurai deras.

"Kenapa melakukan hal ini padaku?" Jinyoung masih dengan kesedihannya, menyalahkan diri.

"sakit sekali."

Tak tahan Yugyeom menutup kedua telinganya. Tangisannya pecah. Bagaimana bisa dia menyakiti Jinyoung? Bagaimana bisa dia pergi dengan sahabat suaminya sendiri. Dia bertanya pada batinnya.

"Maaf..aku minta maaf!"

Dalam sekejap saja isi dalam rumah ini berubah, semua yang ada disana seperti merasakan duka yang dialami pemiliknya. Bangunan minimalis ini dibeli oleh Jinyoung, dan Yugyeom bagian mengisi furnitur. Sangat lucu saat Park dan Kim berbelanja furnitur, berdebat demi kepuasan masing masing. Tetapi tidak ada satupun barang yang diperdebatkan berasa dirumah ini. Jinyoung tidak mau egois, begitupun Yugyeom yang memang harus tenang mengambil setiap langkah. Tenang adalah tanggung jawabnya. Bocah jangkung ini harus berhati-hati. Bila diceritakan bagaimana mereka bertemu, sederhana. Jinyoung menemukan remaja ceroboh itu menumpahkan sup tulang dibajunya. Dan saat itu Jinyoung berani bersumpah, jika senyuman kekanakan Yugyeom hanya miliknya.

Lantas apa yang akan terjadi nanti? Keduanya dalam masalah mental sekarang.

Yugyeom merenung disisi pintu kamanya, duduk memeluk dua kakinya diatas lantai dingin setelah akhirnya Jinyoung membuka pintu. Abak itu terperanjat melihat suaminya keluar membawa beberapa benda miliknya.

"Kemana? Kemana kau membawa barang-barangku?" Tanya Yugyeom mengikuti langkah kaki Jinyoung.

"kau pikir kemana?"

"Sayang-,"

"Hentikan! Kau kehilangan hak memanggil ku seperti itu!" Jinyoung memperingati.

Wajah Yugyeom pucat, ini kali pertamanya melihat Jinyoung seperti ini. Yugyeom tak hehilangan keberaniannya, dia menatap mata gelap Jinyoung. Menentang sang suami.

"Oke. Kau mau aku pergi?"

Jinyoung tak menjawab, dia berjalan menuju pintu utama. Bahkan dia tidak yakin dengan keputusannya sekarang. Dia tidak mau hubungan mereka berakhir begini, namun otaknya menyuruhnya untuk mengusir Yugyeom.

"Ingat saat kita menikah Jie, bahkan seluruh dunia tak mendukung kita. Dan sekarang kau ingin mengakhirnya tanpa penjelasan apapun?"

"KAU MENGHIANTIKU, YUGYEOM!" bentak Jinyoung. "Aku tidak mau hal ini terjadi, tapi disini, aku tidak mau lagi." Jinyoung memukul mukul dada kirinya. Air matanya kembali meleleh.

Dengan keberaniannya Yugyeom mendekat, mengusap air mata di wajah Jinyoung. "Aku akan memperbaikinya"

"Kau milikku, jangan hancurkan impianku tentang membesarkan seorang anak kecil bersamamu." Jinyoung memohon dia mencium tangan itu.

Apakah ini rasanya? Hati Yugyeom mencelos mendengar kalimat itu, beberapa minggu yang lalu mereka berencana mengadopsi seorang anak dari panti asuhan. Ke-duanya sudah mempersiapkan hal itu dengan matang. Satu kamar untuk buah hati mereka dirumah ini, impian yang sangat diinginkan Jinyoung.

Pemuda pirang itu memeluk penuh tubuh Jinyoung. "Aku milikmu, tentang itu aku minta maaf. Aku tidak bermaksud menyakitmu,"

Jinyoung mendorong tubuh Yugyeom memisahkan diri untuk mencium bibir bocah dihadapannya. Pergerakan Jinyoung kasar, terkesan menuntut membuat Yugyeom kewalahan menerima ciuman mendadak Jinyoung. Meski demikian, Yugyeom tetap diam. Jinyoung membutuhkannya saat ini. Ia membiarkan Jinyoung memiliki jiwa raganya, mungkin hal ini mampu melupakan semua yang terjadi.

"Aku tidak mau melupakannya, Yugyeom. Kau sudah menyiksaku,"

"Aku tau, lakukan sesukamu." Ujar Yugyeom rendah lalu dia harus tersentak saat Jinyoung membanting tubuhnya di sofa.

Fin.






Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 25, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang