Keputusan Mendadak Orang Tua

58 2 0
                                    

Akhirnya pengumuman kelulusanku ke luar. Masa-masa membuat stress akhirnya berlalu juga. Sebetulnya, menurut beberapa orang, masa stress belum berakhir kalau pengumuman diterimanya di SMA belum ke luar. Tapi bagiku masa penuh tekanan dan stress sudah berakhir saat semua ujian sekolah sudah dilalui. Aku harus bersyukur dilahirkan di keluarga yang tidak terlalu memikirkan nilai di sekolah. Ke dua orang tuaku bukan termasuk orang tua yang menuntut anaknya harus memiliki nilai yang bagus atau sekolah di tempat bergengsi. Aku harus bersyukur karenanya, jadi aku bisa menikmati masa sekolah dengan tenang. Walau sebetulnya aku agak tertekan dengan kelakuan ajaib kakakku dan wajahku, tapi setidaknya tidak ditambah dengan tuntutan harus mendapat nilai bagus atau sekolah di tempat bergengsi. Banyak teman atau anak seusiaku yang stress karena orang tuanya menginginkan dirinya harus mendapat nilai bagus atau diterima di sekolah bergengsi. Padahal kalu dipikir, yang hidup siapa, yang menjalani kehidupan siapa, yang merasakan kehidupan besok siapa. Apalah dayaku yang hanya murid SMP biasa, yang hanya bisa bersimpati dengan penderitaan orang seusiaku.

Kumasukkan kunci pintu rumah yang kubawa, ke dalam lubang kunci pintu rumah dan mulai memutarnya. Kaget, ternyata pintu rumah sudah dalam kondisi tidak terkunci. Pasti salah satu orang tuaku sudah di rumah, itu yang kupikirkan.

Kubuka pintu rumah, lalu masuk ke dalam rumah. Ternyata tebakanku salah, saat aku melihat sepasang sepatu laki-laki dan perempuan yang sangat kukenal sudah tersusun rapi di rak sepatu.

"Mereka berdua sudah pulang ternyata," gumamku sambil melepas sepatuku, kemudian meletakkannya di rak sepatu.

"Loh, kok kamu sudah pulang?" tanya ibuku yang muncul sambil memegang serbet.

"Karena sudah ujian, anak kelas tiga bebas pelajaran dan aku lagi bosan di sekolah," jawabku. Walau sebetulnya, aku sudah lulus ujian sekolah, tapi aku berniat menyembunyikan berita tersebut untuk sementara waktu.

"Begitu kah. Mau teh?" tawar ibuku yang kujawab dengan anggukan kepala.

Aku langsung menuju ke ruang keluarga dan duduk di samping ayahku yang sedang membaca koran. Tentu saja kuletakkan dulu tas yang kubawa, di dalam kamarku.

"Bagaimana di sekolah hari ini?" tanya ayah sambil memandangku dengan ke dua tangan melipat koran yang tadi dibacanya.

"Membosankan. Makanya aku pulang duluan," jawabku.

"Itu tidak dimasukkan ke bolos kan?" tanya ayahku dengan wajah cemas.

"Tidak," jawabku pendek.

"Syukurlah, kalau begitu," jawab ayah dengan ekspresi lega yang tampak jelas sekali.

"Tadaaa~" seru ibuku yang ke luar sambil membawa nampan berisi seteko teh panas, tiga cangkir dan sepiring kue kering.

"Pas sekali, ada yang ingin kami bicarakan denganmu," kata ibuku sambil menuangkan isi teh ke dalam tiga cangkir tersebut setelah meletakkan nampan yang dibawanya ke atas meja kayu yang terletak di ruang keluarga.

Apa tentang ujianku? batinku bertanya-tanya.

"Ayah dan ibu memutuskan supaya kamu sekolah di kota P," kata ayah dengan suara serius.

"Kota P? Apa kita akan pindah ke sana?" tanyaku, bingung. Entah kenapa, aku merasa kalau berita pindah itu ada sangkut-pautnya dengan kakakku.

"Tidak. Yang pindah itu ya, kamu dan kakakmu. Hanya kalian berdua," jawab ibu.

"Ayah dan ibu punya sebuah kos-kosan di sana. Kebetulan sekali, tempat kosnya dekat dengan tempat kerja kakakmu," kata Ayah mencoba menjelaskan.

"Dan kebetulan sekali, penjaga kos tersebut kemarin mengundurkan diri," sambung ibu.

Aku memandang mereka berdua dengan pandangan tidak tertarik. Aku sudah paham apa yang selanjutnya akan terjadi. Mau menolak pun juga percuma, kalau ayah dan ibuku sudah membuat keputusan.

"Jadi, akan lebih baik jika kamu sekolah di sana," kata ayah lagi.

"Lagipula, ayah dan ibu jarang di rumah. Jadi akan lebih baik jika kamu tinggal bersama kakakmu di kosan itu," sambung ibu lagi.

"Kosnya campur ya?" tanyaku, kemudian menyesap teh yang berada dalam cangkirku.

"Tentu saja, kosnya itu kos khusus perempuan," jawab Ibu yang membuatku hampir tersedak.

Ayah langsung pergi ke arah dapur, sementara ibu menepuk-nepuk punggungku sambil berkata, "Duh, kalau minum pelan-pelan. Tidak ada yang mau minta the milikmu."

Aku tersedak karena jawaban dari ibu, batinku.

"Minum ini," kata ayah sambil menyerahkan segelas air putih kepadaku. Aku langsung menegak habis air putih tersebut. Batukku berhasil berkurang, karenanya.

"Terima kasih, Yah," kataku yang langsung dibalas dengan anggukan kepala ayah.

"Sudah enakan?" tanya ibu dengan nada cemas.

"Sudah," jawabku datar.

"Jadi, aku akan tinggal di kos khusus perempuan?" tanyaku mengubah topik pembicaraan.

"Bukan cuma tinggal. Kamu akan menjadi penjaga kos di sana," jawab Ibu yang membuatku kaget bukan main.

"Bukan cuma kamu saja, Ade juga statusnya penjaga kos di sana. Kalian berdua akan menjaga dan merawat kos tersebut," sambung ayah dengan versi lebih lengkap.

Aku menggaruk rambutku yang tidak gatal.

"Bagaimana?" tanya ibu dengan wajah penuh harap.

Ditanya bagaimana pun, aku juga tidak punya hak untuk menolak, batinku.

"Terserah ayah dan ibu saja," jawabku, bingung harus menjawab apa lagi.

"Loh kok terserah ayah dan ibu? Kan kamu nanti yang melakukannya?" protes ibuku.

"Iya, iya," jawabku dengan nada terpaksa.

"Nah gitu dong," kata ibu dengan nada lega, sementara ayah hanya menikmati teh miliknya tanpa mengatakan satu sepatah kata pun.

*****

Kubaringkan tubuhku di atas kasurku. Menatap langit-langit kamarku dengan pikiran menerawang kemana-mana.

"Pindah ya..." gumamku.

Sebetulnya, aku tidak punya teman dekat di sini. Danang, Bintang dan Radit menjadi temanku karena kami sekelas dan mereka tidak sengaja melihat Kak Ade. Selain itu, kota ini juga bukan kota kelahiranku. Aku tinggal di sini saat aku duduk di kelas 5 SD. Aku juga tidak punya kenangan manis di kota ini. Hanya saja, aku tidak pernah mengira aku akan meninggalkan kota kecil ini.

Aku menghela napasku. Kemudian berdiri dan mulai mengemas pakaianku ke dalam tas travel biru yang akan kubawa untuk pindahan. Lebih baik berkemas sekarang, mumpung masih punya banyak waktu luang.

Kehidupan Sehari-hari Adik Laki-lakiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang