Sepeda dan Undangan

7 1 11
                                    

Mentari pagi merayap masuk lewat jendela kamar gue. Nyanyian burung yang berebut sarapan riuh di pohon mangga Mama. Angin sepoi-sepoi menerobos masuk. Gue nikmati semua itu sambil mengeringkan rambut.
Sepeda cokelat muda itu masih saja di sana, terparkir manis, berteduh di bawah pohon mangga. Berpuluh kalipun memandangi suasana ini, tapi tak sedikitpun meninggalkan rasa bosan di sana.
Baru tahun ini, ada meja rias di kamar gue. Yah walau isinya cuma ada bedak, lip balm, sisir, dan beberapa jenis karet rambut, setidaknya meja itu memiliki kaca, persis layaknya meja rias. Tapi ini merupakan pencapaian terbesar sepanjang perjalanan sejarah hidup gue sebagai wanita menuju dewasa. Di meja rias itu, beberapa buah undangan tertumpuk di sana. Kemudian desahan jadi penutup lamunan gue pagi itu.
"Sekar?" suara mama memanggil di balik pintu. "Lama sekali kamu? Ngapain? Katanya mau nganterin undangan?"
"Iya, Ma. Bentar lagi keluar, kok."
Akhirnya, gue langsung pergi dengan sepeda mini kesayangan. Layaknya seorang petugas pos, gue keliling komplek dan menyerahkanya ke sang pemilik nama.
Undangan terakhir, bernama Sudarmo dan Keluarga. Gue ingat banget ini nama bapaknya temen main gue dulu.
"Assalamu'alaikum," pekikku sambil memencet tombol bel di pinggiran pintu.
Samar-samar terdengar jawaban atas salamku dari dalam.
Pintu terbuka, dan entah kebetulan dia yang membukakan pintu. Si Kontet, teman lama, sudah berubah jadi gadis muda belia, cantik jelita, langsing dan semampai.
"Sekar?" mukanya menunjukkan bahwa ia terkejut bukan main, "lama banget gak ketemu. Lo gak berubah sama sekali, ya."
"H-hai, Nindi." jawab gue, kelewat canggung.
"Ngapain? Cari mama gue ya?"
"Ah, nggak. Nih, gue mau nganterin undangan."
"What?!" matanya mendelik, tangannya di pipi, "Lo mau nikah?!"
Hah?!
"Jadi bener rumor yang gue denger sayup-sayup. Lo udah punya tunangan, ya, Kar?" cerocosnya, histeris pula.
"Sshhttt! Bisa diem bentar gak nih mulut!" gue tutup mulutnya pake tangan rapat-rapat. "Ini undangan sepupu gue sunatan. Nih, titip kasihin mama lo, ya. Makasih, Nin."
Gue cepet-cepet kabur dari pekarangan rumah itu setelah menyerahkan surat undangan tersebut.
Tiba-tiba,
"Sekar~~"
Dari jauh gue dengar suara panggilan ini. Suara berat itu sedikit mendayu-dayu dengan sengaja.
"Sekar."
Suara dan pemiliknya itu sudah sampai di hadapanku.
"Aku sudah membagikan semua undangan, nih. Kamu mau aku bantuin?"
"Gak usah. Sudah selesai, kok."
Gue berbalik, mulai mengayuh sepeda menuju rumah.
"Eh, Kar, kamu tahu, gak, tadi banyak yang nanya, kenapa calon mantennya yang nganterin undangan," ujarnya, diakhiri dengan tawa kelewat bahagia.
"Terus kamu jawab apaan?" tanya gue.
Ia terkejut, sepertinya, "Ya kujawab aku udah sunatlah. Mantennya Si Aldo, bukan aku."
Hah?!
"Emang siapa yang nanya kamu sunat apa belom? Penting amat, sih, jawabnya gitu."
"Emang salah, ya? Kan aku udah bilang kalo manten sunatnya bukan aku."
Gue diem, gak niat jawab. Gue udah capek terkejut sama kelakuan absurd orang ini. Tapi, yah, lelaki mendayu-dayu inilah yang jadi pilihan mama.
***

Hai hai. Sekar dan Karno kembali. Semoga suka, ya 😅

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 26, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sepeda dan Cerita Kita (2nd Part)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang