Masih Alina

34 5 2
                                    

Seperti biasa, Alina akan berlari-lari kecil melewati jendela kamar rumahku setiap pagi dia berangkat sekolah. Aku suka mengintip, rambutnya yang dikucir kuda melenggak-lenggok jenaka. Dengan ringan dia melambaikan tangan pada setiap orang yang di temuinya, termasuk Mama yang setiap pagi menyiram tanaman di halaman. "Pagi Tante Nena, Alina berangkat duluan yaaa," suaranya riang dengan senyum seranum apel merah. "Bersemangaaat!" Mama mengepalkan tangannya, memberi semangat.

Setelah Alina berlalu, aku pun bergegas mengambil tas sekolah dan setengah berlari menerobos pintu menyusulnya berangkat sekolah. "Mama aku berangkat!" terburu menciumi tangan Mama yang basah karena menyiram tanaman. Mama hanya menepuk punggung dan memandangiku yang setiap pagi terburu-buru berangkat sekolah.

Aku tidak bisa mengatur irama jantungku setiap kali melihat Alina. Tarlalu kencang, mungkin berisik. Ada bulat-bulat tomat dipipi setiap kali matanya menangkap pandanganku. Ugh! Jangan sampai Alina tahu, apalagi kalau teman-teman tahu. Bisa gemetar lah badanku menahan malu. Menyusulnya berangkat sekolah? Tentu bukan untuk berjalan bersama, menikmati ayunan kucir kudanya dari jarak beberapa langkah cukup mengawali pagiku yang cerah.

***
Alhamdulillah. Pagi yang hangat, matahari berhasil menerobos jendela rumah Pak Hardy menebarkan tawa bahagia di wajah Mama dan Papa. Terlebih di hatiku, ada kodok melompat-lompat gembira seperti anak kecil dapat mainan baru. Tak dapat kusembunyikan bulat-bulat tomat dipipi, memanas dan merekah. Pak Hardy menerima pinanganku untuk putrinya.

"Rendi, kamu sudah menjaganya sejak kecil. Sudah lama berharap kamu bisa menjaganya sampai akhir, Bapak percaya padamu" Pak Hardy mengurut kening, menahan haru. Sejak lama Pak Hardy berharap padaku soal putrinya? MasyaAllah.

"InsyaAllah Pak, Allah akan menghalalkannya untukku. Dan, semoga keikhlasan selalu menyertai perjalanan kami sampai akhir" Ini pertama kalinya hatiku optimis, hilang sudah getaran malu-malu dalam hatiku yang tidak keru-keruan. Hatiku menghangat lega. Kepercayaan Bapaknya memantapkan laki-laki yang ada di dalam diri untuk menjadi lebih bertanggung jawab.

Dia menjadi putri Mamaku, sejak Ibunya meninggal. Mereka begitu akrab, masak bersama bahkan shoping berdua. Aku sudah sering mendengar ceritanya, meski setiap kali pulang ke rumah aku tidak menemuinya di rumah. Dia tidak pernah berkunjung kalau aku pulang.

Senyumnya masih seranum apel merah. Lebih merekah, ada bunga-bunga bermekaran di setiap suara riangnya. Ya, dia masih seriang itu. Hanya saja, rambut kucir kudanya sudah tertutup rapi dibalik jilbanya yang anggun. Dia tidak berlari kecil lagi seperti dulu, tapi langkahnya tetap berirama menyenangkan setiap yang melihatnya.

Gadis itu masih Alina. Dan, akan tetap Alina. Alina yang sama seperti 15 tahun yang lalu.

Sebentar, sebentar lagi. Rambut kucir kudanya hanya aku yang bisa menikmati.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 29, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Masih AlinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang