Lilian
Lokasi : Rumah.
Kondisi : Ngantuk, bete.
Nothing good can happen after 11 pm.
Sekarang sudah jam 23.15, mataku sudah berat, and here I am trying to fight it karena masih menunggu orang itu. Huh! Biasanya yang nekat bertamu selarut ini akan berakhir tragis, tak peduli betapa gantengnya dia. Ini Si Bule Gelap yang jelas-jelas non-ganteng.
Oy.
Tapi aku yakin dia membawa laporan fresh dari obrolannya dengan Vira barusan. So, the heck with beauty sleep, aku lebih perlu jawaban atas pertanyaan ini: Are they okay?
"Gimana? Beres semua?" tanyaku langsung begitu dia muncul.
"Vira belum cerita?"
"Belum. Mungkin dia pikir gue sudah tidur."
"Gue pikir lo juga sudah tidur, Li." Dia terkekeh. "Beres kayaknya, sih. We are good." Jojo mengacungkan jempol.
What a relief!
These two made me proud! You know what, kupikir kisah ala serial TV Friends tidak akan pernah ada coz it's just too fucking complicated between them! Jojo dan Vira mematahkan teori itu. I am truly proud of them!
"Tahu nggak, sih, Jo?"
"Hmmm?"
"Waktu gue tahu Vira naksir lo, sebenarnya gue worried banget lho. Naksir-naksiran antara sahabat itu tricky banget, kayak salto di jembatan rapuh. If things don't work out between you two, well... kita semua terancam pecah, kan? That's why I am really glad you two are friends again."
"Hmmm."
Aku meliriknya. Ada apa dengan reaksinya yang pendek-pendek begitu, sih?
"Gue juga dulu pernah punya kasus teman naksir teman, waktu kuliah. Masih ingat Dini, kan? Nah dia itu..."
Aku berhenti, menyipitkan mata. Jojo melamun lagi.
"Jo!" panggilku sebal.
Jojo
Lilian memergoki gue melamun di tengah-tengah pidato panjangnya.
"Eh, sorry, Li. Apa tadi lo bilang? Lo punya teman waktu kuliah... terus?" Lilian menatap gue aneh sebelum melanjutkan.
"Listen! Teman gue itu namanya Dini. Bedanya dengan kalian, Dini dan taksirannya nggak saling..."
Lilian kembali berhenti, gue kembali tersadar barusan meleng lagi.
"Heh, Jo!" serunya galak, "Lo ngantuk, ya? What the hell is wrong with you, dude?"
Gue tertawa. Setengahnya karena malu dua kali ketahuan melamun, sisanya karena mata Lilian yang tadi jelas banget sudah ngantuk, sekarang malah melotot besar banget.
"Sorry, sorry! Sebenarnya gue masih mikirin ketemuan sama Vira tadi."
"Kepikiran apaan?" Dia menyipitkan mata. "Masih ada yang ganjal?"
"Nggak, bukan ganjalan. Ini... cuma pikiran nggak penting sih."
"Apaan?" desak Lilian.
"Si Vira itu... hmmm... matanya belok banget, ya? Bulu matanya lentik banget gitu lho. Dari dulu kayak gitu nggak sih, Li? Gue kok nggak pernah sadar, ya?" Di benak gue masih terbayang jelas sepasang mata indah itu. "Lo sadar, nggak?" tanya gue, mengalihkan pandangan ke dia.
Lilian kelihatan kaget, tapi bukan jenis kaget karena kecipratan air got, soalnya sekarang dia menyengir lebar banget sambil menaikkan satu alis.
"What?" tanya gue heran.
"Welcome to the club, my friend! Gue janji deh, kali ini nggak akan bilang dulu ke Albert." Sekarang cengirannya berubah menjadi tawa terbahak-bahak.
"Maksud lo?"
Pertanyaan gue nggak dihiraukan karena tawa dia semakin menjadi. Lilian lewat tengah malam ternyata kelakuannya makin nggak jelas. Somebody should put a warning sign outside her door, man.
"Gila, ya. Ternyata lo benar-benar bego urusan cewek."
Itu adalah kata-kata terakhir Lilian sebelum dia mendorong gue keluar dari rumahnya. Tanpa alasan. Tanpa penjelasan. Masih dengan tawa menggema yang bisa gue dengar setelah pintu ditutup.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERKARA BULU MATA - Nina Addison
RomanceJojo sedang seru menceritakan perjuangannya menjadi branch manager sementara Vira tekun mendengarkan, memandangi wajah cowok yang telah jadi sahabatnya selama belasan tahun itu. Lalu... entah di detik keberapa, sesuatu bergeser. Klik. Dunia sekelili...