Vira
"Vir!"
Kevin setengah berlari menghampiriku. Kalung identitas plus segambreng perinthilan yang melingkari lehernya bergemerencing tiap kakinya menjejak lantai.
"Kantin?" tanyanya, menjajari langkahku.
"Nggak. Pulang."
"Jam segini?" Dia melototi arloji. Memang baru jam empat lewat.
"Bukan pulang, sih, tapi ke rumah sakit. Sepupu gue operasi penting hari ini."
Yupe, hari besar Zedayanna akhirnya tiba. Sepuluh jam operasi pengangkatan kanker, dilanjutkan rekonstruksi payudara. Fiuh! Semestinya sebentar lagi dia selesai. Aku ingin berada di sana di pengujung perjuangannya, ketika dia membuka mata.
"Sepupu dekat memangnya?"
"Seperti adik sendiri," jawabku, tersenyum.
Keluarga kami bukan keluarga besar. Ayahku anak tunggal, ibuku anak tengah dari tiga bersaudara. Ketika ayah dan ibuku meninggal, aku dan Mas Remmy diasuh kakak Ibu, yang menikah tanpa anak. Tante Ruwi---adik Ibu yang juga mama Zedayanna---adalah single parent setelah kehilangan suami bertahun-tahun lalu karena kanker. Jadi, silakan hitung sendiri berapa anggota keluarga kami yang tersisa. See? I am not kidding when I said I don't have a big family.
"Sakit apa, Vir?" tanya Kevin. Entah dia memang peduli atau sekadar menjaga supaya pembicaraan kami tak terputus di tengah jalan.
"Kanker."
"'Kantong kering' maksud lo?" Dia menyengir lebar, sepertinya menyangka aku bercanda.
"Cih, candaan lo perlu di-update, Vin! Paling nggak sampai ke versi milenial lah," sambarku tergelak. Dia ikut tertawa dan melupakan pertanyaan awalnya.
Mission accomplished. Menjelaskan pada Kevin tentang Zedayanna, tentang penyakitnya, terasa tidak tepat dilakukan sore ini, di lobi ini.
Mobil Uber-ku datang, dan entah kerasukan apa hari ini, Kevin membukakan pintu untukku.
"Moga-moga nggak jadi hujan hari ini supaya lo nggak kena macet," katanya sambil menunjuk ke langit yang dirundung awan abu-abu. Aku melambai, mobil melaju.
Kanker Zedayanna datang mendadak bagai cemooh hidup. Soalnya, aku tidak pernah mengenal orang yang sangat menjaga kesehatannya selain Zedayanna. Coba kamu nilai sendiri faktanya:
1. Ketika anak-anak lain menggilai cokelat dan permen, Zed lebih memilih buncis, wortel, dan brokoli sebagai camilan sore. Umurnya baru lima tahun.
2. Tidak saja tahu cara menggosok gigi yang benar, dia juga setia melanjutkan dengan flossing gigi. Who does that? Oh, umurnya baru sembilan tahun.
3. Bagiku, pengetahuannya tentang kesehatan ada di level membahayakan---bahkan sejak kami kecil---terutama jika dikombinasikan dengan keusilannya. Waktu kelas enam SD, selama setahun penuh aku selalu menangis meraung-raung setiap kali pilek lebih dari tiga hari. Baru belakangan aku sadar omongan Zed hanya bualan. Pilek lebih dari tiga hari TIDAK AKAN membuat otakmu lumer, lalu meleleh keluar beserta ingus dan upil.
4. Saat anak SMA lain sembunyi-sembunyi menonton midnight bersama teman-temannya, Zed lebih tertarik selimutan di rumah demi mengejar porsi tidur delapan jam sehari.
5. Dia pernah mendaftar maraton, lalu latihan joging setiap pagi selama berbulan-bulan. Setelah maratonnya selesai? Zed masih terus bangun pagi untuk lari beberapa kilometer, Saudara-saudara. Se-ti-ap ha-ri. What kind of madness is that?
KAMU SEDANG MEMBACA
PERKARA BULU MATA - Nina Addison
Любовные романыJojo sedang seru menceritakan perjuangannya menjadi branch manager sementara Vira tekun mendengarkan, memandangi wajah cowok yang telah jadi sahabatnya selama belasan tahun itu. Lalu... entah di detik keberapa, sesuatu bergeser. Klik. Dunia sekelili...