Albert
Adakah yang salah dengan perempuan menyampaikan perasaannya kepada lelaki yang ia cintai? Pertanyaan ini pernah kamu lontarkan padaku, Avium. Entah berapa belas tahun lalu, masih ingatkah kamu? Wajahmu merona, lalu kamu tertawa lepas seolah tidak seharusnya aku merasa begitu terbebani oleh pertanyaan itu.
"Jangan khawatir, Al. Aku tidak akan mengejar jawabanmu."
Suaramu tersaru bisikan dedaunan yang dideru angin sore. Angin yang sama yang memainkan helaian rambutmu sambil ditingkahi sinar mentari. Selamanya gambaran dirimu sore itu tersimpan rapi dalam benakku beserta pertanyaan yang membuatku gagu seharian.
Kamu benar, Avium. Salahkan sejarah yang menyimpan kenangan buruk tentang emansipasi. Salahkan budaya yang kerap memberikan stigma pada sesuatu yang manusiawi. Bahkan, lirik lagu pun mendiktekan nilai yang harus kita teladani. Padahal perempuan juga punya hati yang isinya tak bisa ia ingkari. And to express oneself is to be human after all. Bukankah cinta adalah bagian dari perasaan?
Avium, kamu mungkin tidak menyadarinya, tapi ini adalah satu dari ribuan alasan aku mencintaimu. Ketidakpedulianmu terhadap penjara tak kasatmata ini sesungguhnya menyegarkan. Bagiku, kamu adalah simbol kebebasan. Dari dulu, sejak hati ini diam-diam menyimpan rindu.
Ketika Vira berbesar hati untuk mengakuinya pada Jojo, kita berdua sama-sama mengerti logika yang bekerja di balik keputusannya. Sewajarnya kamu menaruh empati pada Vira, mengingat apa yang diajarkan pengalaman. Namun, ketika kepada Jojo kamu berikan juga pengertian serupa, aku terpana.
"Al," panggilmu lembut seolah khawatir aku membenci Jojo, "penolakan cinta menghancurkan dunia, kita sama-sama tahu itu. Tapi, kamu harus ingat tugas menolak cinta dari seseorang yang kamu sayangi juga punya kekuatan untuk menghancurkan pengembannya."
Aku tertawa, merasa ironis ketika hal ini datang darimu, Avium. Seharusnya aku lebih tahu itu. Seharusnya. Tapi lagi-lagi kamu menggarisbawahi sesuatu yang terlewat dari perhatianku.
"Untung semuanya sudah selesai sekarang."
Lalu, ganti kamu tertawa.
"Kurasa belum," katamu dengan mata berbinar. Saat itu, Avium, aku langsung tahu gerigi otakmu telah melahirkan teori baru, teori yang pada akhirnya membawaku ke sini, duduk berhadapan dengan Jojo.
My dear Avium, malam ini kita akan melihat seberapa jitu tebakanmu.
Jojo
Gue dan Albert tiba hampir bersamaan di Coffee Bean and Tea Leaf, Grand Indonesia. Tumben banget kembarannya nggak ikutan.
"Nggak sama Daniel?"
"Nyusul. Ada urusan bentar katanya. Soal cewek lagi palingan." Dia terkekeh, gue mengangguk-angguk sambil mencoba menyeruput latte yang masih panas banget di lidah. "Omong-omong, lo sama Vira gimana?" lanjutnya.
Alis gue terangkat.
"Baik. Lo sendiri sama Vira gimana?" jawab gue berlagak bego.
"Katanya lo ngomongin mata Vira?"
Sesaat gue bengong.
"Kata sia... heiiiish! Lilian!" Pasti! "Itu anak benar-benar nggak bisa jaga rahasia, ya." Gue menggeleng-geleng, setengah geram. Masa informasi skala kecil dia beberkan ke orang-orang!
"Heh, gue serius tanya! Lo dan Vira... Lo puas sama hasilnya?" seru Albert, menepuk keras bahu gue.
"Ya iyalah, Bert," jawab gue sambil menyalakan rokok.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERKARA BULU MATA - Nina Addison
RomanceJojo sedang seru menceritakan perjuangannya menjadi branch manager sementara Vira tekun mendengarkan, memandangi wajah cowok yang telah jadi sahabatnya selama belasan tahun itu. Lalu... entah di detik keberapa, sesuatu bergeser. Klik. Dunia sekelili...