Sore ini mendung. Ini adalah sore ketiga yang kuhabiskan untuk duduk di kafe ini. Tempat yang dulu selalu menjadi tempat paling menyenangkan. Di kursi paling pojok ini, aku selalu menunggu ia kembali. Namun, sampai sore ketiga aku menunggu disini, ia masih belum kembali.
"Kak Laras!" seorang pelayan berteriak lantang memanggil namaku, yang menandakan bahwa kopi panas yang kupesan sudah siap diambil.
Matahari sudah mulai terbenam. Sore ini, senja terlalu cepat memanggil malam. Aku memasang headsetku. Lagu berjudul "Sampai Jadi Debu" oleh Banda Neira terdengar ditelingaku. Membuat dada ini semakin sesak.
Dulu, ketika matahari mulai terbenam, aku tidak akan takut jika akan gelap setelahnya, karena ada dia yang selalu menjadi penerang. Tapi sekarang, semua sudah berbeda. Ia memintaku menunggu, kemudian ia menghilang."Permisi, Laras" seseorang membuyarkan lamunanku. Kulihat, matanya sendu. Wajahnya tidak asing, tetapi aku tidak mengenalinya.
"Iya?" Balasku.
"Boleh saya duduk disini? ada yang harus saya sampaikan ke kamu" Balasnya dengan suara lirih. Hanya ku balas dengan anggukan pelan. "Aku hanya ingin memberikan ini padamu" perempuan itu memberikan sebuah amplop berwarna biru muda. Ah, aku suka sekali warna biru. Biru adalah warna kesukaannya.
"Apa ini?" Tanyaku. "Baca saja, tapi berjanjilah padaku, setelah kau membacanya, kau akan berhenti menunggu" kalimatnya membuatku semakin penasaran apa isi amplop itu.
Ternyata isinya adalah sebuah kertas. Kertas itu terlipat menjadi dua. Di bagian depan, terdapat namaku disana. Begini isi suratnya:
"Selamat malam, matahariku. Aku yakin, ketika kau membaca surat ini, kau sedang duduk di tempat biasa. Di kafe tempat kita pertamakali bertemu, dan memilih duduk dikursi paling pojok.
Bagaimana senja hari ini? apakah masih seindah saat terakhir kali kita melihat senja bersama? Atau mungkin lebih indah? tetapi aku yakin bahwa itu tak akan mungkin lebih indah dari senyummu.
Maaf aku membuatmu lama menunggu. Aku tau tiga hari tidaklah mudah bagimu. Aku ingin memohon sesuatu padamu. Tolong jangan menangis setelah kau membaca surat ini.
Ras, maaf aku terlambat untuk jujur padamu, tentang penyakit yang sudah lama menggerogoti tubuhku. Aku tak mau kau terluka, aku benci melihatmu khawatir. Bahkan sampai detik dimana penyakit ini hampir menghabiskan nyawaku pun, aku belum berani jujur padamu. Aku hanya bisa menyampaikan lewat surat ini. Melihatmu bersedih akan lebih menyakitian dibanding ratusan kemoterapi yang sudah aku jalani untuk melawan penyakit ini.
Tahun lalu, dokter menyatakan bahwa aku mengidap penyakit kanker lambung. Hatiku hancur ketika mengetahuinya, tetapi aku yakin bahwa aku akan kuat menjalani ini selama kau selalu berada disampingku, Ras.
Terimakasih telah menjadi alasan untuk aku bertahan hidup hingga detik ini. Tapi maaf, ternyata penyakit ini tak mau dikalahkan. Aku kalah. Aku tidak cukup kuat untuk melawannya.
Tiga hari yang lalu, aku memintamu menunggu, aku memintamu untuk mencoba tidak terlalu bergantung padaku. Aku ingin kamu belajar untuk terbiasa tanpa kehadiranku. Dan mulai hari ini, aku memintamu untuk melakukan hal itu sampai seterusnya.Salam sayang,
Bara."Lututku lemas. Sekujur tubuhku terasa mati rasa. Dadaku terasa seperti ditusuk. Saat ini, hatiku hancur berantakan. Entah kemana perginya seriphan-serpihan hati itu. Yang aku tau, rasanya sangat sakit hingga aku mati rasa. Seketika, semuanya gelap.
***Terdengar samar suara percakapan. Aku mengenali suara itu. Perlahan kubuka mataku, disampingku sudah terdapat Bunda dan Kak Ilham, kakakku.
Mereka menatapku dengan tatapan khawatir."Sayang kamu sudah sadar, nak?" Ucap Bunda sambil mengelus kepalaku perlahan. "Iya, Bun. Laras sudah sadar" Jawabku lirih.
"Laras, istirahat dulu ya nak.." Raut wajah Bunda terlihat sangat khawatir."Iya Ras, jangan mikirin yang lain dulu, prioritasin kesehatanmu. Sisanya, biar kakak yang urus" Sambung kak Ilham.
Seketika aku teringat sesuatu. Bara. Aku tak bisa membayangkan bagaimana aku bisa melanjutkan hidupku tanpanya.
"Bun, Laras mau ke makam Bara sekarang, boleh?" pintaku. "Tapi Laras kan baru sadar nak?" tolak Bunda dengan lembut. "Tapi Laras pengen doain Bara, Bun. Pasti Bara sedih kalo sampe saat ini Laras belum datang ke makamnya" Aku yakin pasti Bunda tidak bisa menolak permohonanku. "Yasudah, tapi Bunda sama Kakakmu ikut ya" Balas Bunda. Aku mengangguk pelan.
Langkahku terasa berat. Perasaanku gugup. Aku akan bertemu Baraku. Iya dia masih menjadi Baraku. Dan selamanya akan tetap menjadi milikku. Kedengarannya egois memang, tetapi entahlah. Hati yang mudah rapuh ini masih sangat sulit untuk menerima kenyataan.
Aku mulai menyirami tempat Bara tinggal sekarang. Tak lupa kupercantik dengan taburan kelopak mawar merah cantik diatasnya. Kemudian kulanjutkan dengan mengirimkan beberapa doa untuknya. Aku selalu berharap Bara diberikan tempat terbaik disana. Sama seperti saat dia masih disini, ia memberiku tempat terbaik di hatinya. Bunda dan Kak Ilham juga pasti memberikan doa-doa terbaik mereka untuk Bara.
Mulai hari ini aku akan berusaha untuk mengubur luka ini dalam-dalam. Belajar untuk tidak mengungkit kembali yang telah sirna. Karena kadang memang lebih indah dalam kebingungan ketimbang mengetahui kebenaran.
***Hari ini, perpaduan antara warna jingga dan merah muda berhasil mencuri perhatianku. nyanyian burung sore ini sangat merdu seakan-akan mereka ikut kagum dengan perpaduan warna senja hari ini.
Senja hari ini indah, sama seperti hari-hari sebelumnya. Menurutku senja memang selalu indah. Tak pernah sekalipun mengecewakan.
Tepat pada 3 tahun yang lalu, aku duduk di tempat yang sama. Saat itu, hatiku benar-benar terluka hebat. Rasanya seperti dijatuhkan dari luar angkasa. Luar biasa terasa sakitnya. Tetapi tidak ada hal lain yang bisa kau lakukan selain menerima.
Di kursi paling pojok ini, aku banyak belajar tentang cara melepaskan kepergianmu. Aku akan terus berusaha terbiasa dengan pedihnya luka yang selalu datang tanpa menyapa.
Aku mendengar suara langkah kaki mendekat. "Selamat sore, tuan putriku" Senyuman itu selalu membuatku tak bisa berpaling. Kubalas dengan senyuman hangat. "Sayang, udah lama nunggu, ya?" Tanya nya dengan lembut. "Engga kok, gapapa. Kamu abis dari mana emang?" Balasku. "Tadi mama minta di anter dulu ke rumah temennya, ada arisan katanya. Terus hp aku lowbatt jadi gabisa ngabarin kamu, maaf ya" Dengan tambahan senyuman manisnya itu, aku selalu bisa luluh untuk memaafkannya.
Ya, dia adalah kebahagiaanku sekarang. Namanya Raffa. Ia datang dikala aku butuh tempat untuk bersandar. Ia hadir pada saat yang tepat. Rasanya berat memang, membuka hati kembali. Tetapi bagaimana akan bahagia dengan dicintai kalau tidak berusaha mencintai lebih dulu?
Saat ini, rasa sakit itu jelas masih ada. Hanya saja, aku sudah bisa memperlakukannya sebagai kenangan yang harus tersimpan rapat-rapat. Aku sudah akrab pada perihnya menahan rindu sendiri. Aku sudah makin bersahabat dengan sepi dan luka yang datang-pergi sesuka hati. Dan pada akhirnya, aku tetap akan harus mencoba berdamai dengan hati. Mau tidak mau, kuat tidak kuat. Karena itu semua akan terjadi secara tiba tiba. Kita tidak akan pernah siap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepergianmu
RomanceDan pada akhirnya, aku tetap akan harus mencoba berdamai dengan hati. Mau tidak mau, kuat tidak kuat. Karena itu semua akan terjadi secara tiba tiba. Kita tidak akan pernah siap.