10. Paradis Rilis

37 14 38
                                    

Tuga hari berlalu, dan kini aku sedang membersihkan ibu yang masih terbaring koma dengan kain basah hangat. Aku sendirian, Asti baru saja pulang, sedangkan ayah sudah pergi bekerja sejak pagi tadi.

Ketukan pintu terdengar tiga kali, sebelum pintu kamar ibu terbuka. Rezky terburu-buru melewati pintu itu, titik-titik keringat membasahi dahinya. Sepertinya dia habis berlari?

"Isti, ayo ikut sebentar!" Rezky mengambil kain hangat itu dari tanganku, meletakkannya di baskom, lalu menarikku keluar kamar ibu. Membawaku ke tempat tunggu, tangannya menunjuk ke televisi layar datar yang tertanam di tembok bagian atas ruang tunggu.

"... Dunia Paradis yang telah dirilis GMI corp, kemarin. Instrumen game ini telah terjual lebih dari seribu coppy dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam. Game yang diciptakan Mister Santoso dari Indonesia ini menuai banyak pujian dari berbagai kalangan di dunia, karena game ini bisa membawa pemainnya ke dunia yang berbeda. Meski masih banyak kekurangan pada game ini, tapi game ini sangat diminati oleh banyak...."

Berita itu menampilkan cuplikan-cuplikan Paradis dan beberapa tester memakai neurocheat dan rekaman mereka memasuki Paradis. Lalu ayah Dini diwawancara seputar cara kerja Paradis dan efek samping yang masih menjadi kekurangan game itu.

"Ya... Aku akui, game ini masih sangat jauh dari kata sempurna, karena efek dophamin yang dihasilkan dari neurocheat masih bisa membahayakan nyawa kita. Tapi, kami sudah membatasi waktu aman gammers, mereka akan secara otomatis keluar dari game setelah satu jam. Jadi game ini aman dimainkan." Ayah Dini menjawab pertanyaan beberapa reporter sambil tersenyum menghadap kamera sebelum memasuki mobil silver. Lalu berita kembali menampilkan pembawa acara yang memberikan pendapat mereka mengenai game itu.

"Ayah Dini?" tanyaku linglung. Bagaimana mungkin ayah Dini meriliskan Paradis tanpa izinku? Dan Paradis hanya ada di laptopku, aku tak pernah membagi Paradis dengan siapapun, bagaimana dia bisa meriliskannya? Laptopku ada di rumah sakit ini, di kamar ibuku!

"Ya. Ayah Dini," jawabnya.

"Kak, mama sudah sel_"
"Ky! Kamu tega bener ninggalin aku di parkir_"

Asti dan Rizal datang bersamaan dan dari arah yang sama, mereka juga berbicara bersamaan hingga akhirnya menghentikan kalimat masing-masing, lalu saling tatap satu sama lain.

"Adik Isti?" tanya Rizal ke Asti.

"Iya. Temen kak Isti?" tanya Asti ke Rizal, Rizal mengangguk semangat. "Hah? Namamu siapa?" tanya Asti lagi. Dia semangat mengulurkan tangannya ke Rizal yang juga semangat menjabat uluran tangan Asti.

"Aku Rizal! Kamu punya pacar belum?" tanya Rizal sambil tersenyum cerah.

"Punya!" Asti mengangguk-angguk semangat. "Kamu?" tanyanya dengan senyum tak kalah cerah.

"Belum," jawab Rizal lesu. Dia menundukkan kepala. Tak lagi seantusias sebelumnya.

"Bentar." Asti mengeluarkan hp-nya, mengetikkan sesuatu, lalu menempelkannya ke telinganya. "Halo? Ilham? Yang, kita putus aja ya. Bye!" Lalu dia mengetikkan lagi sesuatu ke hp-nya dan kembali menempelkannya ke telinga, menunggu, lalu, "Ah! Shauqi! Kita putus ya! Ntar aku kasih alasannya. Makasih... dadah!" Dia mematikan hp-nya lalu tersenyum cerah menatap Rizal yang kini terbengong di hadapannya. "Aku juga nggak punya pacar sekarang!" Serunya semangat.

Rizal kembali sadar, lalu ikut tersenyum cerah. Dia mengangguk-angguk semangat.

"Rizal mau nembak aku?" tanya Asti.

Rizal mengangguk semangat, "Ya! Kamu mau jadi pacar aku?"

"Ya!" jawab Asti.

Aku dan Rezky hanya tertegun menatap mereka. Apakah ini yang dilakukan remaja normal? Kurasa remaja normal itu sangat mengerikan. Aku pasti akan menertawakan tingkah mereka jika aku tidak sedang terpukul dengan kabar perilisan Paradis.

"Gimana?" tanya Rezky.

"Aku harus ketemu sama ayah Dini," jawabku. Aku ingin meminta penjelasan padanya. Dan payahnya, aku tidak punya nomor kontak ayah Dini. Dan aku tak enak meminta penjelasan pada Dini. Jadi aku putuskan untuk kembali ke desa sesegera mungkin. "Asti, aku harus kembali ke desa, ada masalah besar dan mendesak," ucapku. Semoga Asti mengerti dan membiarkanku pergi.

"Semendesak itu kah? Tapi aku dan Rizal baru jadian, masa kita harus berpisah lagi?" jawabnya dengan mata berkaca-kaca melihat Rizal.

Jadi??? Dia hanya memikirkan Rizal??? Dasar egois.

"Mam... aku titip mama sebentar. Kalau beres, besok aku pasti udah kembali ke sini lagi," jelasku. Aku bingung mau mengatakan apa lagi.

Dengan raut sedih, akhirnya Asti mengangguk. Dia melambaikan tangannya pada Rizal, bukan padaku. Sepertinya jika tak ada Rizal, dia tak akan sesedih itu.

Ternyata Rezky dan Rizal ke Bandung mengendarai morot Rizal. Dan kini, Rezky memilih naik bus bersamaku, hingga Rizal kesal karena harus menaiki motornya sendirian.

"Tadi aja, mohon-mohon minta dianter ke sini, sampe dorongin motor ke luar. Pas udah nyampe sini, aku malah ditinggal, tapi untung aku dapet pacar. Jadi aku nggak jadi kesel ke kalian," gerutunya saat kami hendak meninggalkannya.

"Maaf," hanya kata itu yang mampu kupikirkan. Aku benar-benar buntu. Tak bisa memikirkan apapun selain Paradis dan penjelasan ayah Dini saat ini.

Bayangkan saja, game yang sudah kau buat selama tiga tahun dengan mengorbankan waktu malam, tenaga dan uang, tiba-tiba rilis tanpa sepengetahuanmu, apa yang akan kau pikirkan?

Tak ada! Kecuali secepatnya ingin penjelasan!

Aku yakin ayah Dini pasti memiliki penjelasan yang masuk akal. Aku yakin.

Hai teman-teman...

Maaf ya, untuk plot Asti dan Rizal yang merusak suasana tegang.

Aku tipe orang yang tak suka terlalu berlarut-larut dalam sebuah masalah. Jadi... begitulah.

Salam
MOZA

Dunia ParadisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang