Memang menyakitkan mencintai seseorang yang tidak mencintai kita, tetapi lebih menyakitkan adalah mencintai seseorang dan kita tidak pernah memiliki keberanian untuk menyatakan cinta itu kepadanya,
Dan Lidya tak ingin menjadi seorang pecundang yang hanya bisa mencintai tanpa dicintai, di hari yang semakin malam, dingin yang kian menusuk tulang, tatapan keduanya saling mengunci, mata Lidya menatap seakan menunggu jawaban, menunggu apa yang ingin Melody katakan, sedangkan Melody hanya diam, dia terbata, bingung,
Msih tak bisa menangkap apa yang Lidya maksud. Bibirnya sesekali terbuka sedikit tapi kemudian merapat kembali, Melody tak tahu harus berbicara apa.
Selang itu dia tertawa, melepaskan tangannya dari pipi Lidya, dia sedikit menjauh, tatapannya menatap jalanan yang sepi dengan cahaya yang redup. Itu semua dia lakukan untuk menutupi rasa gugupnya.
"Gak lucu ah." Celetuk nya masih tertawa, pandangannya yang lurus seakan sedang mengatur nafasnya, mengatur ritme jantungnya yang memompa darah lebih cepat.
Ketika tangan Lidya menyentuh bahunya, membawa Melody agar menatapnya lagi, tatapan yang menjurus itu seakan menghilangkan rasa optimisnya, Lidya tentu tak seoptimis itu, bermimpi mendapat balasan cinta dari Melody saja acap kali dia tolak. Dia hanya tak ingin terlalu berharap, karna berharap akan menimbulkan rasa sakit jika pada kenyataanya tak seperti apa yang dia harapkan.
Sekarang di mana hakikat rasa cinta nya terikat lekat pada hati Melody, dia tak memikirkan bagaimana Melody akan menjawab, dia hanya sedang mengungkapkan apa yang dia rasakan.
Tatapan Lidya semakin membuat Melody diam mematung, kali ini suara tawanya hilang, nyalinya kembali redup akan tatapan Lidya yang serius.
Lidya semakin mendekat mengikis jarak, saat tatapanya semakin sayu, pandangan mata itu kabur berpindah menatap bibir Melody yang tipis, dia semakin mendekat kan kepalanya, Melody yang mengerti, hanya meringiskan wajahnya, dia tak menolak, tak menerima juga, dia seolah pasrah dengan apa yang ingin Lidya lakukan.
Saat mata Melody sudah terpejam,suara Lidya yang berbisik pada telinganya, menyadarkannya.
"Aku serius."
Mata Melody kembali terbuka, suara detak jantungnya semakin tak terkontrol, Lidya mampu membuat hatinya seakan tak tenang, sekarang pipinya bersemu merah, dia malu, karna sudah berpikir kalau Lidya akan menciumnya.
Lidya langsung tersenyum tipis melihat Melody yang gugup.
"Mau?" Kata Lidya malah menggoda Melody.
Dan Lidya kembali mendekatkan lagi wajahnya tanpa menunggu jawaban ya atau tidak dari Melody.
"Eu..Lid, Maksud kamu apa?"
Suara Melody yang mencoba menahannya tak dia dengar, dia terus mendekatkan wajahnya, hingga bibirnya menyentuh bibir Melody dan Melody akan mengerti sendiri kalau apa yang dia katakan itu benar bukan sebuah lelucon yang harus dia tertawakan.
.
..
.Andai dia bisa memberi sedikit rona pada malam yang kian gelap. Pasti akan dia goreskan dengan tinta cinta yang sekarang sedang dia rasakan.
Biar malam pun bisa merasakan, kalau dia disini, yang sedang berjalan menggenggam tangan kekasihnya di pojok bumi ini, bahwa, hatinya sedang berbahagia.
Lorong aparteman yang sepi, membuat mereka berdua leluasa saling mendekat tanpa jarak, perasaan yang menggebu, hati yang baru saja bisa lolos akan kegundahan nya itu jadi merasakan kebahagian yang sebelumnya tak pernah dia rasakan.
"Lid..."
"Ya? Kenapa?"
"Gapapa." Kata Melody tersipu malu,
Sebenarnya, bukan hanya Lidya yang menyimpan rasa, Melody juga sudah lama menyimpan nama Lidya dihatinya. Hingga ntah bagaimana kedekatannya dengan Lidya,membawa hatinya kian dekat dengan Lidya.
Kaki mereka sudah berhenti didepan pintu aparteman, tanpa melepaskan tautan tangan, keduanya masih saling melempar senyum malu-malu. Keduanya seakan kehabisan kata-kata. Karna ini terlalu membahagiakn dan mereka tak membutuhkan hal lain lagi.
"Mau mampir dulu?" Kata Melody dengan suara yang sangat pelan.
Lidya menimang pertanyaan Melody, dia seakan berfikir dan Melody menunggu jawabannya dengan rasa yang tak sabar.
"Emm sebenernya sih mau, tapi kayanya udah malem, kamu juga harus istirahat kan."
Tentu, Melody kecewa, karna yang dia harapkan Lidya menginap di apartemannya.
"Apa kamu gak mau istirhat disini juga?"Dengan senyumnya yang khas, Lidya menggelengkan kepalanya. "Nanti kalau ada aku, kamu jadi gak bisa istirahat."
"Kok gitu?"
"Iya, nanti kamu mandangi aku trus lagi."
Lagi-lagi untuk kesekian kalinya, Melody dibuat tersenyum malu akan semua hal yang Lidya lakukan malam ini.
"Yaudah sekarang masuk gih." Kata Lidya lagi.
"Lid..."
"Hm?"
Melody malah diam, hanya memperhatikan Lidya dengan senyum yang tak pernah pudar.
"Apa? Gapapa lagi?" Ucap Lidya menebak karna Melody yang terus diam, hal itu membuat Melody mengeluarkan tawanya.
Dan tanpa Lidya duga, kakinya yang berjinjit itu, Melody lakukan agar bisa mencium pipinya.
"Makasih udah anter aku pulang."
Lidya yang masih kaget, hanya membulatkan matanya, dia menyentuh pipinya sendiri. Dan Melody sudah tak ada didepannya lagi. Ya, Melody sudah masuk kedalam aparteman nya.
Lidya hanya bisa tersenyum dengan lebar, dia tahu Melody masih berada didekatnya, dengan sengaja dia berteriak, menyuarkan, bahwa dia bahagia malam ini.
"Yeah!! Melody jadi pacar Lidya!!"
Bersambung
#TeamVeNalID
Hal yang paling kejam itu, membiarkannya jatuh cinta, sementara kita tidak berniat membalasnya.
-Masha
KAMU SEDANG MEMBACA
Melody Lidya [Stop]
FanfictionSebuah regresi kisah Melody dan Lidya dari cerita Dibalik Layar. Cover by Widya Syarif.