a cup of coffee

50 10 7
                                    

Kita saling diam. Kamu sibuk dengan secangkir kopi di tanganmu sedangkan aku sibuk meperhatikanmu dari sini.
Aku selalu suka duduk di dekat jendela, menatap halaman rumah yang dipenuhi daun-daun kering sebab tak pernah disapu oleh kita--si pemilik rumah. Padahal kita bisa saja membayar seseorang untuk membersihkannya, tetapi kita tidak melakukannya. Sebab katamu daun yang jatuh tidak akan pernah mau disapu, daun yang jatuh hanya ingin diterbangkan oleh angin.

Aku menurut saja. Kamu memang selalu menang atas apapun kehendakmu. Benar saja, angin musim kemarau berembus kencang menerbangkan daun kering itu. Aku menarik ke dua ujung bibirku membentuk lengkungan, tersenyum kecil. Kamu selalu mampu membuat hal sederhana terasa istimewa, suamiku.

"Aku harus pergi. Malam ini aku tak tidur di rumah." Itu suaramu. Senja belum datang, tetapi kamu sudah menghancurkan keindahannya.

"Lagi?" Tanyaku.

Kamu diam. Memilih beranjak ke kamar, meninggalkan kopi yang telah menggigil termakan dingin.

Aku berdiri dari kursiku, berjalan menuju sofa yang berdebu. Aku kembali duduk di atas sofa yang tadi kau duduki. Ada secangkir kopi yang tersisa setengah di hadapanku.
Aku menatap secangkir kopi di hadapanku. Lalu runguku mendengar decitan pintu serta debuman ringan khas pintu ditutup.

Kamu sudah berganti pakaian. Lebih rapi dari sebelumnya, celana bahan berwarna hitam, kemeja biru muda yang kau singkap hingga siku, sepatu kets berwarna hitam, dan tak ketinggalan rambut hitam yang sedikit basah.

Kamu selalu tampan di matakau, suamiku.

"Seperti biasa. Jangan menungguku pulang."

Aku istrimu. Itu juga hakku menunggumu pulang.

"Kau akan tidur di mana jika bukan di rumah ini?"

"Di rumahku yang lain. Bukankah kau sudah terbiasa tanpaku?"

"Aku ingin sekali saja kita berbagi bantal,"

Kamu menatapku dalam diam cukup lama.

"Ada Nata yang harus kubahagiakan."

Dia lagi.

"Apa aku tidak berhak bahagia?"

Kamu diam.

"Aku kekasihmu, Langit."

Lalu kamu berbalik dan berjalan menuju pintu. Kamu pergi tak perduli seberapa keras aku menahanmu di sini.

Aku kembali duduk. Mengambil secangkir kopi yang menggigil, memutari pinggir cangkir dengan jariku.

Cangkir ini beruntung sebab selalu kau sentuh. Aku cemburu.

☕☕

Malam-malam berikutnya kamu tetap tidak di rumah. Kamu hanya pulang ketika merindukan seduhan kopi milikku. Aku tidak apa, itu sudah cukup membuatku senang. Melihatmu dalam diam menyesap kopi buatanku akan membuat kopi itu tak lagi pahit. Katamu hanya aku yang mampu membuatkanmu kopi. Kopi tanpa pemanis tambahan, sebab aku ingat katamu kopi adalah kejujuran, di setiap kepahitannya ia tak pernah menawarkan secuilpun kemanisan.

Aku selalu ingat kata yang keluar dari mulutmu.

Walaupun kopi buatanku tidak tandas, aku tidak apa. Melihatmu datang saja sudah sangat membahagiakan.

Seperti hari-hari sebelumnya, kamu beranjak ketika kopimu masih setengah. Memasuki kamar dan bersiap untuk pergi lagi. Aku tetap diam di sini--di dekat jendela kaca yang tengah ditembus oleh matahari sore.

Senja bahkan belum datang tetapi keindahannya selalu cacat ketika kau memilih ia.

"Apa kamu masih menungguku pulang ketika malam?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 26, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

a cup of coffee (Another Story Of senjani Langit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang