PROLOG

122 6 0
                                    

"Aku menangis tanpa air mata. Aku berteriak tanpa bersuara. Aku sakit tanpa ada yang tahu"

***

"Aku pernah terjatuh sejatuh-jatuhnya dan disaat itu pula semua orang pun menjauhi aku. Tak seorang pun menunduk untuk sekedar mengetahui bagaimana hancurnya aku disaat aku jatuh." ujarku ditengah semilir angin danau yang sejuk di sore hari. Matahari mulai menampakkan semburat merahnya kala burung-burung angkasa mulai kembali pada rumahnya.

"Tapi aku hanya bisa tersenyum Git." Legit mengernyitkan alisnya pertanda dia bingung dengan jawaban dari kakaknya dan meminta penjelasan lebih.

"Untuk apa aku harus bermuram durja? Lebih baik aku tersenyum dan biarlah hatiku dan Tuhan yang mengetahuinya. Lagipula aku jadi mengetahui definisi ketulusan yang sebenarnya" aku menyelonjorkan kakiku dari posisi duduk bersilaku sembari meneguk air mineral yang telah dibawakan oleh adikku.

"Allah memberiku kesempatan untuk menemukan siapa aku dan bagaimana aku bisa menempatkan diriku pada berbagai keadaan dengan benar. Allah itu Maha Besar, Maha Adil. Sungguh Git! Aku bersyukur dengan segala cobaan maupun kenikmataan yang Dia berikan." adikku masih termenung meresapi setiap kalimat yang keluar dari mulutku.

"Lalu, apakah abang tidak merasa dikhianati? Tentunya abang merasakan sakitnya kan? Kenapa abang menerima dengan begitu lapang dada?" Legit memberiku pertanyaan beruntun. Aku tahu dia masih tidak puas dengan jawabanku. Terlebih lagi ia memaksaku untuk menceritakan detailnya dari semalam. Akhirnya tibalah kami disini, danau tempat kami bermain saat masih belia.

Adikku masih menoleh ke arahku dan aku menatapnya balik. Kulihat ada sorot kecewa di matanya. "Abang ikhlas Legit" ujarku sambil tersenyum tulus. Sungguh tak ada kamuflase di dalamnya.

"Abang pun sangat merasa Git, sakit sekali memang. Namun, abang lebih memilih untuk mengikhlaskan. Abang tidak ingin mengotori tangan abang hanya untuk membalas semua perbuatan mereka. Untuk apa? Jika Allah akan memberinya ganti yang luar biasa indah. Abang sangat yakin dengan jalan yang diberikan Allah untuk abang. Seharusnya kamu paham Legit, kamu pun mengerti bagaimana abah menasehati kita untuk selalu ikhlas"

"Tapi Legit kecewa sama Abang!" Legit mengalihkan pandangannya ke danau. "Aku yang sakit lihat abang bersikap seperti ini" ujarnya sedikit bergetar karena berusaha menahan tangis yang ingin dikeluarkannya sejak tadi.

"Abang tidak membela aku. Bahkan saat dia menodai aku abang mengikhlaskannya. Apa itu pantas bang? Bukankah seorang kakak selalu melindungi adik kecilnya? Merasa sakit jika adiknya disakiti oleh orang lain" imbuh Legit emosional. Legit sudah tidak bisa menahan tangisnya. Wajahnya memerah memandangku penuh kekecewaan.

Sungguh, aku benci hal ini. Tidak pernah sekalipun aku melupakan Legit. Aku sangat menyayanginya melebihi apapun. Aku sangat marah pada diriku sendiri melihat ia telah dinodai oleh sahabatku sendiri. Hanya saja Legit tidak tahu apa yang terjadi selama aku pergi dari rumah, merantau seorang diri. Tak satupun orang tahu bagaimana hancurnya aku mendengar adik kecil kesayanganku telah direnggut kehormatannya oleh sahabatku.

'Ketika aku harus bangkit dari rasa sakit, mengapa masih ada yang menahanku untuk menegakkan kaki? Melumpuhkan seluruh kekuatanku yang telah aku kumpulkan dalam waktu seribu tahun lamanya. Saat aku telah berdiri tegak, angin kencang menerpa. Saat aku mulai siap untuk berjalan, badai pun datang. Mengapa aku harus bertahan pada lubang jalan ini? Aku ingin pergi!' Malih membatin.

***

Hay readers! Jangan lupa senyum ya, semoga kalian suka ceritanya.
Kiss jauh, Lemonadequa😘😘😘

MALAIKAT KECILWhere stories live. Discover now