01. BERADA DI LEMBAH PALING DALAM

52 5 0
                                    


"Ampuni aku Ya Allah. Aku sungguh tidak kuasa menahan pedih yang Engkau tancapkan dalam kalbuku. Sungguh aku hanyalah manusia biasa yang cacat akan hati dan jiwa"

***

Aku terduduk dalam lamunan panjang di balik semak-semak belukar. Kulihat ia masih terkapar di tempatnya. Bekas luka masih terlihat sangat jelas. Darah segar dari wajah, tangan, dan kakinya sudah mengering dan berubah menjadi kebiruan. Aku berhenti pada salah satu titik, dimana ia menggenggam sesuatu. Aku sangat membencinya.

Demi Tuhan, aku tidak pernah se-emosional ini. Namun, kali ini aku tidak bisa membiarkan dia begitu saja. Biarlah aku yang menanggung semuanya. Aku tidak takut! Aku punya Allah.

"Bangunlah" kataku seraya melemparinya dengan batu. Ia mulai menggerakkan tangan lalu membuka matanya secara perlahan.  Ia mengerang, merasa sangat perih juga ngilu.  Aku meringis melihat kondisinya.

"A.. apakah kamu sudah puas?" tanya lelaki itu dengan tawa mengejeknya.

"Ayo pukul aku lagi, sampai kamu puas Malih." imbuhnya.

Aku beranjak berdiri masih menatapnya tajam. Dada ini mulai bergemuruh kembali. Napasku mulai tidak teratur. Samar-samar kulihat dia bangun dari posisi telungkupnya.

"Allah Maha Besar! Terkutuklah kamu! Allah tidak akan membiarkan seorang sepertimu bersenang-senang!" ucapku penuh emosi.
Aku mendekati lelaki itu, mencengkram kerah bajunya kuat dan menatap dengan nyalang.

"Apa yang sudah kamu perbuat pada adikku, Zeeshan? Sungguh laknat sekali dirimu telah menyentuhnya!" aku berhenti sejenak. Ia masih menatapku sayu.

"Aku mempercayaimu, membanggakanmu, dan mengagumimu seperti saudaraku sendiri. Bahkan, tak pernah sedikitpun aku berprasangka buruk padamu.  Tapi.. Tapi mengapa? Mengapa..mengapa adikku shan?" aku tergugu. Tidak sanggup menahan gejolak dada ini. Amat sakit ulu hatiku mengingat adikku, Legit. Membayangkan wajahnya yang mendung aku sudah tidak sanggup. Terlebih ini... Allahh, hukum aku. Cambuklah aku.
Zeeshan memandangku penuh amarah. Rupanya ia juga terpancing emosi.

"Kamu bertanya mengapa aku menyentuh adikmu, Malih?" lantas ia tertawa cukup keras. Membuatku semakin membenci lelaki yang ada di hadapanku kini.

"Kamu sangat naif." imbuhnya. Aku melepaskan cengkramanku pada kerah bajunya. Berganti menyeretnya menuju salah satu pohon besar di dekat sungai.

"Aku tidak percaya dengan apa yang kamu katakan. Cepat katakan apa alasanmu menodai adikku." aku menghempasnya ke pohon. Dia mengerang kesakitan.

Ia masih menunjukkan senyum mengejeknya padaku. Rupanya ia sengaja memancing emosiku dengan bermain-main seperti ini.

"Zeeshan Al Rumi! Jawab pertanyaanku!" kataku tak sabar.

"Aku tidak mencintainya, maka dari itu aku menyentuhnya."

Begitu ringannya ia mengatakan hal seperti itu. Aku memukul wajahnya kembali, darah segar kembali mengalir di hidungnya. Lantas ia tertawa terbahak.

"Kamu tahu Malih? Sebenarnya aku sangat menyayangimu seperti saudaraku sendiri. Tapi kemudian dirimu sendiri yang menghancurkan tali persaudaraan kita." ucapnya di sela tawanya yang tersendat karena ngilu yang ia rasakan.

"Aku berbuat apa Zeeshan? Bukankah aku selalu mematuhi perkataanmu? Dirimu adalah panutanku dalam menuntut ilmu. Kamu membimbingku hingga aku menjadi sosok besar seperti ini. Kemudian kamu merenggut adik kecilku saat aku pergi jauh dari rumah? Apa yang ada di pikiranmu Zeeshan?  Kamu seorang ustad!"

"Aku bukan ustad. Aku hanyalah anak dari seorang ustad." Zeeshan menyela. Menyorot mataku yang juga menyorotnya tajam.

"Ingat Malih. Aku tidak pernah ingin menjadi ustad. Itu hanyalah ambisi Ayah." Zeeshan bergerak mendekati diriku, dengan tertatih ia mengulurkan tangannya padaku.

"Aku tidak pernah mencintai adikmu. Semua yang kulakukan adalah sisi gelapku, Malih. Kamu sudah tau bahwa aku sakit"  aku tercengang.  Jadi berita bahwa Zeeshan sakit adalah benar? Kulihat Zeeshan telah menggenggam tanganku erat.

"Maafkan aku, aku menyesal telah berbuat dosa pada adikmu. Aku...tidak bisa menahannya" lirihnya. Sorot matanya berubah menjadi sendu. Hatiku bergetar melihat kondisi Zeeshan yang mengenaskan. Aku melupakan dirinya yang ternyata memiliki kelainan. Aku hancur. Aku kehilangan adikku dan panutanku, idolaku.

"Tapi aku sangat puas, Malih. Seharusnya kamu lebih keras lagi memukulku." dia terkekeh pelan. "Semoga Allah menghukumku lebih kejam dan pedih." ujarnya getir. Cukup lama kami terdiam dalam keheningan. Masih teringat jelas wajah Legit dalam benakku. Dadaku kembali nyeri.

"Shan." suaraku serak. Ingin sekali aku menangis. "Aku ikhlas." ujarku sambil menyentuh pundaknya.
Zeeshan terkejut dengan penuturanku. Mungkin ia tak akan habis pikir dengan diriku yang mudah berubah pendapat.

"MasyaAllah." ia menangis masih menggenggam tanganku. "Sungguh Malih. Aku bersyukur memiliki saudara sepertimu. Kamu adalah adikku yang luar biasa."

"Meski tidak ada darah yang sama dalam diri kita berdua, aku sangat menyayangimu melebihi diriku." Aku tersenyum melihatnya. Ini adalah pilihan tersulit yang pernah kutemui.

"Sekali lagi, maafkan aku telah mengecewakanmu." Zeeshan melepas genggamannya dari tanganku. Lantas ia berjalan lima langkah mendekati sungai. Zeeshan berbalik menatapku kembali sambil melambaikan tangannya.

"Semoga Allah selalu melindungimu, Malih." Zeeshan tersenyum samar. Kemudian ia menghempaskan dirinya ke sungai yang curam itu. Aku terkesiap. Aku berlari menghampiri Zeeshan. Tapi aku sudah telat. Zeeshan telah lenyap, ia terbawa derasnya arus sungai dini hari.

"Ya Allah, lindungi Zeeshan." aku menggenggam erat pemberian Zeeshan padaku beberapa menit yang lalu. Kulihat lagi benda itu. Terdapat nama adikku tertera disana.

Zeeshan menyayangi Legit.

Aku tersenyum pilu membacanya. Kini aku paham apa maksud dari ia tidak mencintai adikku. Tak henti-hentinya aku mengucap istigfar memohon ampun kepada Allah. Aku sangat berdosa, maafkan aku Zeeshan.

Matahari mulai menampakkan dirinya ke permukaan. Menujukkan semburat oranye pertanda ia siap menyinari dunia. Burung-burung mulai berkejaran mencari nafkah untuk keluarganya. Gemercik air sungai makin terdengar keras menyamarkan degupan jantung Malih yang kembali menyusut.

***

Hay readers! Jangan lupa senyum ya, semoga kalian suka ceritanya.
Kiss jauh, Lemoandequa😘😘😘

MALAIKAT KECILWhere stories live. Discover now