LILAC POV
Aku menyusuri jalan berbatu, sesekali aku mendengarkan suara burung yang tengah berkicau dengan sangat merdu. Aku mencium aroma manis dari toko kue dan aroma pekat kopi, aku menelan ludahku sambil tersenyum dan masih terus melanjutkan perjalananku. Suasana kota kecil ini mulai ramai, dapat kudengar suara beberapa orang mulai berlalu lalang, suara lembut langkah kaki dan putaran roda sepeda maupun mobil. Aku segera mempercepat jalanku, mengantarkan susu dirumah dengan halaman terluas yang pernah aku kunjungi selama aku bekerja sebagai pengantar susu. Jika biasanya aku berjalan hanya beberapa langkah untuk mencapai gerbang atau pintu depan pelanggan, pengecualian untuk rumah ini, aku harus berjalan puluhan langkah. Aku mendengar dari beberapa teman terdekatku bahwa rumah ini adalah rumah terbesar dan terindah di kota kecil ini. Yah tentu saja, aku segera aku mengeluarkan 3 botol berisi susu dan meletakkannya dikantung yang tergantung di pagar, mengganti botol yang sudah kosong, kemudian memindahkannya dikeranjang.
Ketika aku hendak melangkahkan kaki ku menjauh dari gerbang rumah itu, sebuah suara yang sangat kukenal menyapaku "Hai Lilac".
"Hello Josh, good morning". Aku menghentikan langkahku kemudian memutar badanku mengarah ke gerbang rumah.
Suara kaki melangkah mendekatiku kemudian berhenti tepat didepan ku. Kemudian kurasakan hembusan nafas dileher yang kemudian diikuti suara bisikan "Akhir-akhir ini kau sering sekali telat mengantarkan susu, apa ada sesuatu yang membuatmu telat mengantarkannya"?
Aku mundur beberapa langkah karena kaget dan risih. Kemudian dengan tenang aku menjawab "Maafkan atas keterlambatanku, aku berjanji akan tepat waktu lain kali". Kataku setenang mungkin.
Diam sejenak tak ada suara, kemudian "Baiklah, kuharap besok kau tak telat lagi Lilac, karena aku akan mendapatkan masalah dari tuan rumahku".
"Aku berjanji". Jawabku bersungguh-sungguh. Kemudian mulai melangkah pergi. Jujur aku selalu takut dengan Josh, sebenarnya ia orang yang sangat ramah, tapi aku tak terbiasa dengan perlakuannya yang suka spontan dan tidak memikirkan perasaan tak nyaman orang lain.
JOSH POV
Aku melihat Lilac melangkah pergi meninggalkanku, Aku masih saja terpesona dengan gadis buta yang baru kutemui beberapa bulan yang lalu. Aku selalu suka menggodanya, melihat reaksi yang terbentuk diwajah cantiknya. Diam-diam setiap hari aku menunggunya dipagi hari, mengamati ia menjalankan pekerjaannya, jika ada kesempatan maka aku akan menyapanya, dan sesekali mengganggunya. Aku tersenyum kecil membanyangkan ketika ia salah tingkah saat kudekati.
LILAC POV
Aku melangkah pergi meninggalkan Josh secepat mungkin, Josh, aku mengenalnya ketika suatu pagi ia menyapaku saat aku meletakkan botol susu yang kuantar. Aku tak bisa melihatnya tapi aku dapat merasakan ia seperti mengawasiku, seolah takut jika aku melakukan kesalahan dan hal tersebut berhasil membuatku risih, sesekali ia akan menanyakan tentangku, dimana aku tinggal, orangtuaku dan masih banyak lagi yang seingatku kujawab dengan singkat. Aku tak begitu mengenalnya yang kutau ia bekerja dirumah itu.
***
Aku merebahkan badanku seusai membereskan rumah, karena terbiasa dengan rumahku sendiri aku bisa mengurus jika hanya sekedar membersihkan dan merapikan, semenjak lulus sekolah menengah atas, aku tak lagi melanjutkan studyku, kami berasal dari keluarga yang terbilang miskin, aku tak berani meminta lebih pada orang tuaku terlebih aku masih mempunyai 1 adik laki-laki yang masih bersekolah. Biaya kuliah tak murah, bagi keluarga kami untuk mengeluarkan biaya sebanyak itu kami harus mati-matian bekerja. Aku memutuskan untuk bekerja, tak banyak yang bisa dilakukan untuk orang sepertiku, gadis buta pengatar susu, begitulah julukan orang-orang yang mengenalku. Gajinya tak seberapa, tapi lumayan untuk membantu kedua orang tuaku. Sesekali jika beruntung aku akan bermain piano disebuah acara. Kurasa inilah kelebihan yang dihadiahkan untukku, aku memiliki kemapuan yang terbilang luar biasa dalam bermain piano, aku pernah menjuarai beberapa lomba dan berhasil menjadi nomor satu, suatu kali guru seni yang membimbingku pernah mengarahkanku untuk melanjutkan kuliah di jurusan musik terutama piano dan sekali lagi kukatakan padamu bahwa aku harus mengubur impianku. Orang sepertiku mana boleh bermimpi setinggi itu?
YOU ARE READING
BLIND WHO(MAN)
RomanceAroma parfum itu kembali mengingatkanku pada sebuah kenangan yang ingin kulupakan