2. Tersesat

8.1K 386 30
                                    


"Ck! Gue nyesel udah ke sini. Harusnya kita tetep di dalam mobil aja, kan, tadi." Nara menggerutu putus asa. Ia berjalan terseret-seret karena lelah.

"Udah, deh, Ra, jangan ngeluh terus. Kalau lo nggak mau jalan, ya udah diem aja di sini. Lo kira kita bisa bertahan di dalam mobil terus. Kita nggak tahu nanti bakal ada apa di sana, seenggaknya kita ada usaha."

"Coba deh lo pikir, Za. Kita udah berjalan hampir semalaman, tapi nggak ada satupun kampung atau apalah yang kita temui. Yang ada kita semakin masuk ke dalam hutan!" Ia menoleh ke arah Martha. "INI GARA-GARA LO!"
Nara menunjuk muka Martha, membuat gadis itu maju lalu mencengkeram kerah jaket milik Nara.

"Eh, Lo! Tadi gue liat lampu. Mereka juga liat, kan. Tadi kenapa lo ikut kalau cuma bikin repot aja!"
Martha menghempas tangannya membuat Nara terhuyung ke belakang.

"Udah! Stop!! Harusnya kita saling dukung, saling support, bukan malah mau saling bunuh kayak gini!" Reza menangkap punggung Nara sebelum roboh ke tanah.

"Ra, lo harusnya bisa ngontrol emosi lo. Lo juga,Tha. Kita semua capek, kita semua lelah dan kita semua putus asa. Jadi, kita mau tetap di sini nunggu sampai pagi, atau kita lanjutin perjalanan?"

Martha dan Nara melengos sambil mendengkus.

"Kita tetep jalan. Jujur aja, gue merasa nggak nyaman. Seperti ada sesuatu yang merhatiin. Kalian ngerasa nggak sih?" Wildan menengahi.

Martha dan Nara saling mendekat. Takut.

"Kalau gitu, ayo kita jalan lagi. Mungkin di depan udah ada perkampungan." Reza berjalan meninggalkan ketiga temannya yang kemudian menyusul dengan berlari-lari kecil.

Pepohonan dengan batang besar tinggi menjulang dan berlumut membuat udara dini hari semakin dingin. Langkah ke empat remaja itu semakin pelan. Entah sudah berapa lama mereka berjalan. Menyusuri jalan setapak yang tidak ada ujungnyadan justru semakin sulit dilewati. Tanaman menjalar berduri bahkan hampir menutupi jalan setapak sempit itu. Seperti tidak pernah lagi dilewati.

Reza menghela napas, ada keraguan yang mengganjal di hatinya. Sudah jelas tujuan mereka itu kosong. Sudah jelas jalan itu tidak pernah ada yang melewati, tapi siapa yang tahu, mereka cukup berhati-hati saja.

Langit masih gelap dengan mendung menggelayut hampir menumpahkan isinya. Di kejauhan tampak kilat berpijar seperti pecut raksasa. Angin juga berembus kencang membuat langkah mereka semakin tertatih. Lelah, takut dan lapar bercampur menjadi satu.

"Tunggu!" jeda, Reza menghentikan langkahnya. Tangannya terangkat memberi kode agar teman-temannya berhenti berjalan.
"Kalian denger sesuatu?" lanjutnya menoleh dengan raut serius.

Ketiga temannya saling berpandangan. Lalu mengangkat bahu bersamaan. Reza mengerang.
"Coba kalian dengerin baik-baik. Gue denger suara gamelan."

Thong kling thong klong thong kling thong klong

Martha dan Nara saling berpelukan. Suara musik tradisional sayup-sayup terdengar. Suara gamelan kebogiro udan angin, biasanya di pakai untuk mengiringi kedatangan rombongan pengantin pria pada upacara pernikahan tradisional Jawa.

"Gue denger." suara Nara mencicit. Diangguki oleh Martha dan Wildan dengan wajah horor.

"Seperti suara musik saat ada pengantin datang." Reza menjelaskan.

"Dini hari? Dan di tengah hutan?" tanya Wildan heran.

"Udah. Kita di sini dulu sampe matahari nongol. Gue takut. Sumpah! Kaki gue udah lemes." Nara berjongkok putus asa.

Martha duduk di dekat Nara, memeluk pundaknya memberi semangat.
"Kita harus jalan, Ra. Lo harus kuat. Siapa tahu di depan udah ada perkampungan. Kita nggak mungkin terus di sini, 'kan?"

Nara menggeleng. "Gue nggak mau, Tha. Gue takut. Gue beneran takut."

"Ra! Lo harus bisa. Lo nggak akan nyangka apa yang sebenarnya sedang merhatiin kita sekarang. Lo yakin mau tetap di sini? Dengan situasi aneh ini?" Reza ikut duduk menggenggam tangan Nara yang gemetar.
"Gue yakin lo bisa." Reza menarik Nara agar ikut berdiri.

"Lo emang keren, Ra. Sekarang kita lanjutin." Reza menepuk punggung Nara sambil tersenyum saat Nara sudah berdiri di depannya.

Mereka kembali berjalan beriringan. Reza paling depan, diikuti Nara, Martha, lalu Wildan paling belakang. Mereka masih melintasi jalan setapak yang lebih sempit, dengan dedaunan Olokopok yang berbau menyengat membuat wajah mereka gatal ketika tidak sengaja bergesekan.

Langkah mereka semakin jauh mengikuti arah suara gamelan yang semakin jelas terdengar.

"Kayaknya udah deket." Wildan berbisik. Jantungnya berdegup kencang.

"Iya. Gue juga denger. Suara musiknya kayak di depan situ." Martha mematikan senternya.

"Kok dimatiin sih, Tha. Gue takut." Nara kembali merengek.

"Lo mau ketahuan? Kita nggak tahu yang sedang menikah itu manusia atau hantu?"

Nara mengangguk mengerti.
Mereka berhenti di bawah pohon besar dengan sulur-sulur menjuntai seperti rambut raksasa. Memerhatikan sekitar. Ada setitik cahaya di ufuk timur. Membuat suasana menjadi remang-remang. Mereka bisa sedikit melihat satu sama lain dan dedaunan lebat di sekitar mereka.

Martha duduk lalu bersandar pohon. Diikuti ketiga temannya.
"Ra, maafin gue tadi ya."

Nara menoleh sahabatnya yang duduk di samping kanannya. Gadis itu tersenyum kecil sambil mengangguk.
"Gue juga minta maaf, Tha. Gue kekanakan ya?"

"Itu wajar, Ra. Gue pas takut juga kadang jadi gitu, untung aja lo nggak jerit-jerit." ucapnya guyon untuk mencairkan suasana.

"Psssst!" Wildan membungkam mulut kedua cewek yang sedang mengobrol di depannya.

"Kalian diem. Denger. Suara gamelannya kok semakin deket?" Suaranya terdengar panik.

"Sembunyi!" Reza memekik dengan mata membulat saat melihat dedaunan bergulung-gulung membentuk lingkaran panjang. Seperti ada puting beliung kecil.

Mereka berdiri lalu segera berlari dengan cepat bersembunyi ke belakang pohon raksasa. Suara gamelan semakin mendekat, lalu tercium aroma kemenyan bercampur kembang mawar.

"Berpegangan!" Wildan memekik ketika melihat daun di atas pohon yang meliuk-liuk disertai suara gemuruh angin kencang.

Wussssh!

Mereka terhenyak hampir memekik saat ada angin lesus yang menghempas kuat tubuh mereka.

"Apa itu tadi?" Martha berbisik begitu angin kencang itu lenyap dari pandangan mereka.


Catatan penulis.

Nah, mereka terjebak. Pada episode selanjutnya mereka akan bertemu seseorang yang akan membawa mereka memulai tragedi panjang.

Jangan lupa untuk memasukkan cerita ini ke library kamu, ya. Jangan sampai ketinggalan update selanjutnya.

Have a nice day. Semoga harimu menyenangkan, dan tidak mengalami teror seperti mereka.

Misteri Seruni (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang