Saat itu tanpa sadar aku berharap, bahwa di kehidupan yang lain aku ingin menjadi sahabatmu. Bukan orang yang sekadar mengenal sepintas.
Kamu menceritakan seluk beluk keluargamu, mengenai Mas Arga dan patah hatinya, bahwa Mbak Irma adalah mantan kekasih yang kini merupa sahabat bagi Mas Arga, juga tentang sesosok perempuan yang kau gambarkan begitu sempurna.
Kau perkenalkan dirinya sebagai Athena.
Jangankan diriku, sang surya pun sepertinya iri jika tahu bagaimana caramu memuja perempuan yang lima tahun ini setia mengisi lembar hidupmu sebagai seorang sahabat, yang sayangnya status tersebut sedang kau pertanyakan bagaiman baiknya.
Kamu kalah oleh rasa.
Caramu menggambarkan dia membuatku ikut jatuh cinta pada sosoknya. Terpikir olehku, apakah akan ada orang yang melihatku sama seperti dirimu melihat Athena, atau minimal setengahnya.
Kemudian cerita panjangmu kau tutup dengan menatap diriku dengan pandangan menyerah yang tidak pernah kubayangkan akan tampak dalam kelam matamu dan berkata, "Aku harus bagaimana, Ca?"
Bias fajar tergambar sempurna dalam manikmu. Aku memutus pandang, menyeruput susu coklat yang kehilangan panasnya, dan kembali menatap dirimu yang rupanya sedang menanti jawabanku. "Jangan lepaskan dia."
Aku tahu sejak awal kamu sudah tahu harus mengambil langkah yang mana. Kamu hanya ingin dibenarkan, dikuatkan. Terbukti hanya dengan satu kalimatku, senyummu yang secerah matahari kala itu terbit begitu ringannya; begitu indahnya.
"Kalau kamu, Ca?" tanyamu saat itu yang anehnya kumengerti maksudnya. Aku meletakkan gelasku dan mengalirlah seluruh cerita yang dimulai dengan kepergian Mama, lalu rumah yang yang tidak lagi bisa disebut rumah sejak kedatangan orang baru yang memaksa dirinya kupanggil Mama, dan semua perubahan-perubahan besar dalam hidupku sejak saat itu.
Saat itu kamu hanya mendengarkan dengan saksama, tidak membenarkan, tidak menyalahkan, hanya mendengarkan dengan khidmat. Sesekali kamu membalas pandangku saat kupastikan bahwa kamu memang sedang mendengarkan, bukannya melamun menikmati pemandangan.
"Sampai di detik ini dengan waras dan tidak gila... wah, kamu hebat, Ca," katamu yang entah kenapa kurasakan begitu tulus.
Aku tersenyum, lalu kita saling menyampaikan pendapat mengenai apapun.
Aku sadar, rupanya kita dipertemukan bukan tanpa alasan. Rupanya masing-masing dari kita hadir untuk saling mendengarkan dan menguatkan. Aneh ya, padahal kita orang baru, tapi secepat itu kita saling percaya untuk saling bertukar cerita. Atau mungkin, kita begitu mudah saling bercerita sebab kita sadar, bahwa tidak akan ada lagi pertemuan selanjutnya. Bahwa rahasia paling dalam yang kita sembunyikan akan selamanya menjadi rahasia kita berdua tanpa takut bocor pada orang ketiga, keempat, dan seterusnya.
Saat matahri sudah benar-benar merangkak naik, kita berkemas untuk turun. Waktu itu kamu menawarkan genggam yang kusambut dengan begitu mudahnya. Tidak akan ada lagi momen seperti ini bukan? Jadi, kuanggap itu sebagai genggam sebelum perpisahan.
Kita kembali ke tempat mendirikan tenda. Langkah kita ringan, dan dirimu kembali menjadi Dewa seperti yang kukenal di awal. Kita ternyata sama saja, hanya berbeda pada cara menyembunyikan luka.
Esok paginya kita semua turun. Kita berpisah di tempat awal kita berjumpa. Dirimu dan Mas Arga mengejar kereta, sedang aku masih ingin berlama-lama di sana, masih enggan untuk pulang dan menghadapi kenyataan.
"Balik dulu ya, Ca. Kamu kalau mau ikut lagi, boleh hubungi aku," kata Mas Arga sebelum memelukku singkat dan meninggalkan dirimu yang lagi-lagi ditinggal oleh abangmu.
"Sialan, ditinggal lagi," katamu yang kuketahui dari toilet untuk buang air. Aku tertawa kecil sambil kembali duduk di teras mushollah, "Itu tuh, masih keliatan tas gedenya Mas Arga."
"Yaudah lah,"katamu lalu menatapku dengan seksama. "Makasih ya, Ca," katamu lagi sembari mengelus kepalaku pelan. Aku mendongak, menatap dirimu untuk yang terakhir kali, mencoba mengingat dengan seksama tiap garis wajah yang entah kapan akan kujumpai kembali.
"Iya, sama-sama. Tos dulu dong," tawarku yang kau sambut dengan senang hati. "Cepet gih, katanya keburu ngejar kereta."
"Oiyaa." Dengan itu kamu berbalik dan berlari menjauh bersama kalimat lirih dariku yang mengiringi kepergianmu, "Semoga beruntung. dengan Athena."
Lalu setelahnya kita sama sekali tidak pernah saling bertukar kabar lagi. Kisah kita berakhir begitu saja. Sesingkat itu, namun meninggalkan bekas yang susah untuk dilupakan dalam hitungan minggu.
***
Selesai.
Terima kasih ya, sudah menyempatkan membaca sampai akhir kisah. Sampai jumpa di kisah Alysha lainnya~
Have a great day,
xoxo
KAMU SEDANG MEMBACA
Alysha
Ficción GeneralNamanya Alysha. Dan luka, mengubah segalanya. Copyright © 2019 || Nanda Rs