XII. SURYA

11 4 8
                                    

Aku mereka ulang adegan heroikku, aku bersalto dari kandang buaya, menancapkan trisulaku dengan keras ketanah, menjebolkan kandang buaya, dan berteriak 'SERANG!' dengan nada sumbang.

Kalau kalian ingat bagaimana alur cerita ini tentu setelah hal tersebut akan muncul berbagai kesialan. Dan yap, tubuhku terasa berat, aku terseok-seok menghampiri Lia, Vian dan Nyi Blorong lututku gemetaran, pandanganku mengabur, tapi aku tetap bertahan agar tidak tersungkur di hadapan para gadis-apa Nyi Blorong termasuk gadis, atau tante?-aku menghampiri mereka dan Nyi Blorong tersenyum sinis.

"Rupanya aku terlalu meremehkanmu anak tolol," ujarnya dengan nada bersahabat.

"Makasih pujiannya." jawabku.

"Sama-sama."

"Apa para siluman mengenal sarkasme?" tanya Lia.

"Coba tanyakan teori gravitasi mungkin mereka akan menjawab sambal terasi." jawab Vian.

"Teman-teman bisa simpan kata-kata sarkasme kalian, ada orang sekarat disini." erangku sebelum terjatuh.

"Eits, jangan mati dulu," Nyi Blorong menangkap tubuhku sebelum aku terjerembab ke tanah. "Kita kekurangan pejuang saat ini."

Ia memegangi keningku seraya merapalkan mantra dalam bahasa tunggu bahasa apa itu-Jawa kuno kah, atau Sanskrit mungkin?-. Intinya tangannya bercahaya hijau terang keemasan ia lalu aku merasakan tangannya menghangat dan tubuhku mulai pulih kembali seperti sedia kala.

"Itu yang namanya sihir?," tanya Vian.

"Apa kau lihat aku menjejalkan paracetamol kemulutnya?," tanya Nyi balik. "Apa istilah jaman sekarang? 'ya iya lah' yap, ini sihir."

"Tapi semuanya bertolak belakang dengab ilmu pengetahuan," pikir Vian. "Bisa kau ajarkan."

"Wah nona kalau sekolah kau bisa rangking pertama tanpa kesulitan, kalau semua hal kau jadikan ilmiah," sindirku.

"Bisa diam tuan Blindgender!," lagi-lagi ia memberiku tatapan membunuh miliknya-ayolah kenapa tidak ada orang normal disini tanpa tatapan membunuh atau yang punya aura pembunuh(maksudku Lia).

"Tunggu kau memang terlihat seperti cowok," balasku.

"Atau karena memang keterbatasan otakmu?" balas Vian. "Ayolah apa kau memang berseteru dengan semua orang?"

"Kau bicara dengan dirimu sendiri?" balasku tak mau kalah.

"Dasar tolol dunia mau kiamat dan kalian malah bertengkar." Nyi Blorong menengahi. "Kenapa pula kau tiba-tiba ingin diajarkan sihir, bukankah awalnya kau tidak tertarik?"

"Tahukah kau aku tidak mungkin melakukan sesuatu tanpa dipikirkan dengan matang," ia menampakkan hal yang paling menyebalkan darinya egonya. "Biasanya ketika aku mempelajari sesuatu aku juga mencoba untuk menghancurkannya."

"Surya, ingat apa yang biasanya para orang tua katakan tentang jangan percaya dengan nenek sihir?" celetuk Lia.

"Kawan-kawan ingat ini beberapa hari sebelum kiamat dan kalian malah bertengkar?"

"Sudah kuduga kesalahan besar memilih anak-anak dungu melawan Rahwana dan Ia sejak awal." timpal Nyi Blorong.

"Tunggu siapa Ia?" ujar kami serentak.

"Yah tidak penting," Nyi Blorong mengalihkan topik. "Ngomong-ngomong apa kalian tahu dimana Surya?"

"Didepanmu" jawab Lia.

"Yang kau papah itu." sahut Vian.

"Dengan tangan lembutmu" sahutku. Hei setelah kupikir andai kita selamat dari kiamat aku terpikir untuk membuat grup teater atau semacamnya.

Surya : The South Sea Queen TridentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang