Film 24 Jam

18 3 0
                                    

Alarm subuh membangunkanku dari perjalanan alam mimpi. Langkahku berjalan tak beraturan menuju kamar mandi yang jaraknya tak jauh dari tempat tidur. Dinginnya air wudhu yang membasuh mukaku secara perlahan seolah menyadarkanku bahwa pagi memang betul-betul dimulai. Setelah menyelesaikan kewajiban sholat, tubuh ini tergerak untuk merapikan tempat tidur yang baru kugunakan semalam. Sepertinya bukan karena tergerak, tapi memang itu kewajiban sebagai perempuan bukan?

Aku berjalan mendekati jendela utama dikamar apartemen yang berukuran sekitar 37 m², membuka gorden bewarna coklat tersebut demi mempersilahkan cahaya mentari masuk. Senyum miris selalu terlihat tak kala mata ini melirik kearah daratan dibalik kaca jendela. Pemandangan jorok nan kumuh yang selalu aku saksikan di setiap harinya. Tumpukan sampah yang berserakan, tempat tinggal yang sudah tak layak untuk ditinggali, baju-baju yang di jemur namun seperti tidak dicuci, bayi digendongan sang ibu yang tak henti-hentinya menangis karena tak makan dari semalam, dan berpuluh-puluh pasang mata yang meminta keadilan dan kesejahteraan. Daerah itu telah ramai sejak menjelang subuh tadi, bahkan sejak malam tadi daerah itu masih ramai. Terbukti dengan aku yang terbangun sekitar jam 23.30 masih terdengar suara gelak tawa khas bapak-bapak, terkadang juga rengekan bayi.

Bila gorden jendela berfungsi sebagai tirai penutup mataku dari daerah kumuh itu, mungkin apartemen ini sama halnya dengan gorden itu. Sama-sama menutupi kesedihan di Ibukota.

Nafasku berhembus kasar, mengingat kabar yang katanya akan ada pembangunan gedung apartemen baru di daerah kumuh itu.

"Terus mereka tinggal dimana?" gumamku pada diriku sendiri. Ku minum beberapa teguk susu coklat yang sejak tadi berada digenggamanku. Susu coklat adalah minuman favoritku sejak kecil, karena ia selalu mengobati kerinduanku pada sosok ibu di kampung halaman. Aku adalah seorang gadis perantau yang ingin mencoba mengadu nasib di ibukota. Susah dan sedih memang melihat hiruk-pikuk kehidupan di Jakarta. Mungkin mereka yang mampu bertahan disini perlu aku acungkan jempol.

Jam telah menunjukkan pukul 07.00 WIB, segera kupercepat upacara meminum susu coklatnya. Aku rapihkan kembali susunan rambut yang sengaja digerai kebelakang, tak lupa aku mengambil kacamata minus bewarna hitam di meja samping tempat tidur. Kuliah pagi akan segera dimulai, butuh waktu sekitar 15 menit untuk sampai ke universitas tempat aku menuntut ilmu, belum lagi di tambah keadaan kota Jakarta di pagi hari, bila terlambat sebentar saja maka kemacetan akan menimpa para pengguna jalan.

Ting!
Pintu lift terbuka lebar, aku berjalan cepat keluar apartemen untuk mencari kendaraan umum yang bisa mengantarkanku sampai ke kampus. Pilihanku jatuh pada mobil sedan berwarna biru, ya taksi. Kami pun membelah lautan Jakarta dengan suara radio yang menemani perjalanan pagi hari ini.

"... pejabat berinisial DY, saat ini tengah menjalani pemeriksaan lebih lanjut mengenai kasus korupsi lahan pembangunan rumah susun di daerah..." suara penyiar radio tersebut terpotong akibat ketukan dikaca jendela mobil. Terlihat seorang anak kecil yang tengah menyodorkan tangan kanannya, tak perlu ia berkata tentang keinginannya, cukup raut wajah yang berkata bahwa 'aku lapar, aku perlu uang'.

Aku turunkan kaca jendela mobil, mata putih yang begitu polos tersebut menatapku dengan tatapan lelah. Ku sodorkan selembar uang Rp5000,- ia menerima itu dengan bahagia, kemudian berlalu pergi.

"Neng kok dikasih sih neng?" tanya sang sopir taksi.

Aku mengangkat satu alisku, "yaaa sedekah dikit lah pak hehehe!"

"Neng coba lihat! Laki-laki yang lagi duduk sambil ngerokok disana," sopir itu menunjuk seorang laki-laki berkulit coklat, dan bertampang garang tengah mengisap rokok di depan sebuah warung kopi.

"Nah, dia adalah bos dari anak-anak tadi. Uang yang Neng kasih barusan tidak sepenuhnya jatuh ke tangan anak itu. Anak-anak kecil seperti mereka hanya dijadikan alat penghasil uang bagi orang-orang pemalas seperti preman itu," jelas sang sopir.

Aku hanya tersenyum tipis, "miris ya pak!"

"Kalau dibilang miris ya pasti miris, mereka itu mungkin hanya sebagian kecil dari anak-anak yang masa kecilnya dirampas secara semena-mena."

Aku memejamkan mataku sebentar untuk mencerna semua yang dikatakan oleh sopir taksi ini. Kualihkan pandanganku kearah jendela, menatap motor dan mobil yang telah memenuhi jalanan.

Tidak ada yang salah dengan negeri ini, yang salah hanyalah mereka yang berbicara soal 'sejahtera' namun mereka sendiri lupa akan arti sejahtera itu. Yang berkata soal kemakmuran, seolah hanya dia yang mampu menciptakan kemakmuran, tapi sekarang? Menghabiskan uang kami, itu yang anda sebut kemakmuran?

Segila itukah anda semua dengan uang? Hingga kalian lupa bahwa jutaan rakyat Indonesia meninggal karena kelaparan, meninggal karena tidak mampu membayar biaya rumah sakit. Hay, para tikus berdasi, dasi kalian itu bisa membeli sebungkus nasi.

Film 24 Jam (2/2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang