Bab. 13 Kabar yang Menghentak

200 6 0
                                    

“Bapakmu kemarin pingsan, Rin.” Suara di balik telepon genggam begitu memberat.

Tak biasanya Wak Haji mengabarkan keadaan keluarga di kampung halaman. Biasanya ibu atau bapak yang bicara langsung. Atau jika tak bisa, Rita juga sudah bisa diandalkan jika hanya bicara lewat telepon.
Hati Rindi kalut. Diliputi kekhawatiran yang begitu besar.

“Sebenarnya, Ibu melarang Wak memberitahumu, Rin. Tapi Wak pikir kamu harus tahu, toh kamu juga sudah dewasa. Wak tidak tega melihat Ibumu menanggung beban itu sendirian.”

“Iya, Wak. Terimakasih atas perhatian Wak pada kami. Lalu bagaimana keadaan Bapak saat ini?”

“Belum ketauan apa penyakitnya. Masih menunggu hasil lab. Nanti Wak kabari kembali.”

Mengapa badai seolah selalu mengintai di tiap penjuru kehidupan?
Baru seminggu lalu Rindi mendapat kabar baik dari keluarganya di kampung. Kesehatan Noval kian membaik. Hanya butuh sesekali saja untuk kontrol ke dokter. Jika dalam sebulan suhu tubuhnya stabil, maka dokter memastikan adik bungsunya telah sembuh total. Namun tetap harus memerhatikan asupan makanan yang membantu tumbuh kembangnya.

Tapi kabar yang baru saja diterimanya dari Haji Mansyur, membuat kilatan di wajahnya kembali kentara.

Rindi yakin, inilah jalan yang dibentangkan Tuhan untuk memberi kesempatan baginya berbakti. Gadis bermata bening itu yakin, bpak pasti menolak jika harus dirujuk ke rumah sakit.

Lelaki yang menyumbang gen paling banyak pada tubuh Rindi,  tak ingin menghabiskan uang yang seharusnya untuk kebutuhan yang lebih penting tapi malah digunakan untuk biaya berobat. Sebisa mungkin Bapak selalu menghindari pengobatan medis. Jika sakit tiba-tiba datang, beliau lebih memilih meminum ramuan tradisional yang dibuat ibu.

Bapak. Selalu saja menyembunyikan rasa sakitnya agar tak terlihat menghawatirkan. Suatu hari, Rindi pernah melihat Bapak memegang dada sebelah kirinya kuat-kuat. Ekspresi wajahnya tak mampu membohongi, ada derita yang tengah ditahannya.

Rindi cepat-cepat mendekati Bapak. Seketika wajah itu kembali tersenyum.

“Bapak sakit?” sergah Rindi.

“Iya, tadi kebentur meja. Tapi sekarang udah enggak, kok.” Bapak mengusap kepala anak gadisnya, dan buru-buru mengalihkan pembicaraan “Rindi sudah makan?”

Begitulah Bapak. Meski sikapnya lembut pada isteri dan anak, namun begitu keras bila menyangkut dirinya.

Setelah mengucap salam, Rindi menutup teleponnya. Gadis itu menarik nafas dalam-dalam, dan mengembuskannya perlahan. Hati Rindi berdecak. Terharu dengan kebaikan tetangganya, meski darahnya tidak mengalir di tubuh. Begitulah suasana kehidupan di desa, kepeduliaan kepada satu sama lain masih begitu kental terjaga. Bersyukur Rindi menjadi bagian dari mereka.

Ia berharap tidak terjadi susuatu yang mengkhawatirkan pada bapak. Diusap wajahnya dengan sepuluh jemari tangan.

Tok…!!!

Rindi tergeragap, pelan lehernya menoleh ke sumber suara. Cowok bertopi Flatcap sudah berdiri mematung sambil mulutnya sibuk memainkan permen karet. Lelaki itu tersenyum, seperti biasa. Namun senyumnya seketika sirna melihat kilatan di pelipis Rindi.

“Rindi, kenapa?” lelaki itu mendekat, “masih sedih karena belum dapat kerja, ya?”

Rindi menggeleng. Setelah kesedihan baru saja mengusik hatinya. Kekhawatiran di wajah Denis seketika menyembunyikan beban yang baru saja menjejaki sepasang pundaknya. Meski tebakan lelaki berjaket itu meleset untuk kali ini.

“Nih…” Denis menyodorkan bungkusan permen karet yang isinya baru berkurang dua butir.

Rindi mengambilnya satu keping, dan mengunyahnya.

Seberkas Kasih Rindiani (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang