Chapter 4

7K 280 7
                                    


Esoknya, Dian berusaha mencari informasi prosedur mengurus perceraian, sebagai pegawai negri pastinya tak mudah, belum lagi intervensi dari Arya yang banyak memiliki relasi orang penting di kota ini. Pastinya sebentar lagi akan ada laporan kalau Dian mengunjungi kantor urusan agama dan Badan Kepegawaian hari ini.

Prediksi Dian benar, begitu sampai di rumah Arya yang mengetahui niat istrinya untuk mengurus perceraian, kembali menyiksanya. Mereka bertengkar hebat dan lagi-lagi dia memukul Dian. Diawali dengan makian, lalu kekerasan fisik tak dapat terelakkan. Seolah hal itu bukan lagi beban buatnya.

Namun, kali ini Dian tidak lantas pasrah seperti biasanya, setelah menangkis tamparan berikutnya, ia pun berusaha melawan dan membawa putrinya keluar dari rumah itu. Beberapa lembar pakaian yang memang sudah dipersiapkan dalam sebuah ransel ia bawa serta.

Dian nekat melarikan sepeda motornya di kegelapan malam. Sebenarnya ia tak tau harus pergi kemana. Ia juga tak punya keluarga di kota ini. Ia pun enggan ke kosan Tifa, Dian tak ingin gadis muda itu ikut terseret lebih jauh dengan masalah rumah tangganya.

Arya yang gila juga sempat mengancam menghampiri teman-teman kuliahnya jika terus membantu. Pria psikopat itu menghubunginya melalui akun sosial media Tifa. Saat itu Tifa memperlihatkan inbox aneh dari akun asing yang tidak ia kenal. Tentu saja Dian langsung bisa menebak, akun itu terang-terangan menyebut namanya. Ia merasa tidak enak hati pada Tifa, gadis itu jadi terbawa masalahnya.

"Maaf ya, Tifa. Kamu jadi ikut terseret," ujarnya sungkan.

"Ih, Kakak, kan bukan salah Kakak. Aku gak apa-apa kok, aku juga jarang buka medsos," jawab Tifa berusaha menenangkan.

Namun, Dian tahu, gadis itu juga cemas kalau nanti Arya benar-benar mendatanginya. Tentu saja Dian tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Tadi saat bertengkar ia juga sudah memperingatkan Arya soal itu.

Dian akhirnya memutuskan berhenti di sebuah warung makan. Tak terasa sudah satu jam ia membawa motor keliling kota tanpa arah. Ia melirik Kayla, anak itu hanya diam sejak tadi. Ia tak mengeluh lapar atau lelah, mungkin berusaha menjaga perasaan ibunya, atau hatinya juga ikut terluka melihat keluarganya yang saling menyakiti.

"Kasian kau nak, diusia ini engkau sudah menanggung pedihnya kehidupan," gumam Dian pelan agar Kayla tak mendengarnya.

Ia membelai rambut Kayla yang hitam. Anak itu kini sedang makan dengan lahap, semangkuk sup daging dan sepiring nasi kesukaannya hampir ludes. Dian tersenyum getir. Gadis itu lalu melirik padanya.

"Kayla mau mamam banyak, biar kuat lawan Papa."

Kalimat Kayla memecah keheningan di antara mereka. Dian terkesiap, tak menyangka gadis kecil itu akan berkata demikian. Dulu Kayla sangat dekat dengan ayahnya, namun sikap Arya pada Dian telah menggores hatinya.

"Eh, nggak boleh ngomong begitu Nak, itu kan Papa Kayla, Papa mungkin lagi ada masalah di kantornya, nanti juga baik lagi."

Dian masih mencoba tersenyum pada Kayla, bagaimanapun Arya adalah ayah Kayla. Ia tak ingin anaknya itu menyimpan kebencian di dalam hatinya. Cukup ia saja yang tahu bagaimana perlakuan pria itu padanya.

Setelah makan, Dian memutuskan untuk mencari penginapan. Ia menemukan kamar sewaan tidak jauh dari lokasi kampus dan juga cukup dekat dengan tempat penitipan Kayla. Tempatnya pun sepertinya aman, ia yakin Arya tidak akan berani masuk karena di sini. Ada penjaga di bagian depannya. Lelaki itu tak mungkin nekat menerobos masuk ke sini.

Mereka akhirnya bisa beristirahat dengan tenang malam ini. Meskipun dengan keterbatasan yang ada. Setidaknya malam ini ia tak perlu khawatir di cekik tiba-tiba oleh pria gila yang masih berstatus suaminya.

***

Pagi terasa cukup cepat tiba. Atas saran teman satu kampusnya, Dian mulai mencari perlindungan pengacara dari lembaga bantuan hukum. Keuangannya tentu saja tak mampu untuk membayar pengacara swasta.

Ditemani Mbak Lastri–teman satu kampusnya itu–mereka pun mengunjungi kantor Lembaga Bantuan Hukum di kota ini. Dian akhirnya membuka diri dengan menceritakan masalahnya pada teman dekatnya di kampus. Ia sadar, saat ini ia butuh pertolongan orang lain. Masalah tak akan selesai jika ia hanya memendam semuanya seorang diri.

Mereka pun bertemu pengacara yang akan menangani kasusnya, namanya Mas Agus. Pria itu lalu menyarankan Dian untuk menyiapkan berkas-berkas persyaratan yang akan dibawa ke pengadilan dan ke badan kepegawaian.

Saat mereka selesai, hari sudah mulai sore. Beruntung Kayla tadi sudah dijemput oleh Ayu–teman satu puskesmas Dian yang kebetulan anaknya di titipkan di tempat yang sama. Dian lega, ternyata ia tak sendirian di sini. Ia percaya, banyak orang baik yang akan membantunya.

Sesampai di rumah sewa, ia dan Kayla bebersih dan salat maghrib. Saat baru selesai makan malam, penjaga kos-kosan memanggilnya. Si penjaga bilang ada orang dari kantor pengacara menunggunya di depan.

Dian sempat bingung, karena rasanya tidak ada janji bertemu setelah pertemuan tadi siang. Namun, ia lekas menepis pikirannya. Mungkin Mas Agus ingin memberikan berkas tambahan, pikirnya.

"Key, tunggu di sini ya, mama mau ke depan sebentar," ujarnya.

Kayla yang sedang asik menonton acara kesukaannya di ponsel baru milik Dian hanya mengangguk acuh.

Sesampai di luar pagar, sudah menunggu seorang wanita berpakaian rapi. Wanita cantik itu tersenyum menyapa Dian. Dian membalas ramah, tapi ia bingung karena rasanya ia tidak bertemu dengan wanita itu hari ini.

"Maaf, Mbak siapa ya?" tanyanya.

"Hallo, Mbak Dian. Saya di titipi Bos blangko yang harus Mbak isi, tadi si Bos lupa" jawabnya sambil tersenyum ramah.

Dian segera menepis kecurigaannya, dan mengikuti wanita itu ke arah mobil hitam di ujung jalan yang terparkir beberapa meter dari kos-kosan.

Namun, begitu membuka pintu ia kaget, ternyata di dalam mobil berkaca hitam itu sudah menunggu dua lelaki berbadan besar yang tidak ia kenal. Dengan sigap mereka menyergap tubuh Dian, dan menariknya masuk ke dalam mobil. Belum sempat ia berteriak, kepalanya langsung dibungkus kain. Ia hanya bisa meronta berusaha melepaskan diri. Namun, tubuh kekar dua pria itu tak mampu ia lawan, ia pun harus pasrah saat disekap.

Kemudian mobil itu berjalan, ia kembali berusaha teriak sekuat tenaga, tapi kemudia pria di samping kiri memukul lehernya dengan sesuatu yang membuat wanita itu terhuyung tak berdaya. Air matanya  meleleh menahan sakit dan rasa takut yang menjalar.

Ia hanya bisa menangis ketika teringat Kayla sendirian di kamar, pasti putrinya itu kebingungan mencari ibunya.

***

*mohon tinggalin jejak n bintang nya ya guys.. biar semangat hehehe 😘

Enough! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang