Hari Minggu siang yang panas sekali. Aku sedang bersantai di ruang keluarga dengan sebuah majalah olahraga di tangan. Tiba-tiba terdengar bunyi bel, pertanda ada tamu yang berkunjung.
Aku segera menuju ke pintu rumah, karena percuma kalau menunggu kakakku yang membukakan pintu. Selain itu, tampangku sudah cocok untuk mengusir tamu yang tidak diundang. Ternyata yang datang adalah pamanku.
"Yo, Afiq!" sapanya sambil tersenyum lebar.
"Oh, Paman Narto ternyata. Silahkan masuk paman," kataku mempersilahkan masuk.
"Orang tuamu?" tanya paman sambil celingukan ke kanan dan ke kiri saat masuk ke dalam rumah.
"Ayah dan ibu sedang ke luar. Akan kuteleponkan sebentar," kataku sambil menutup pintu rumah, lalu mendekati telepon rumah untuk menelepon ibuku.
"Paman Narto!" seru kakak, lalu berlari ke arah pamanku.
"Ade!" balas paman tidak kalah keras, lalu mereka berpelukan erat, seperti orang yang tidak pernah bertemu beberapa tahun, padahal seminggu lalu paman sudah main ke sini.
"Kamu cantik sekali hari ini," puji paman.
Kak Ade tersenyum malu-malu, mendengarnya.
Kemarin, kak Ade memotong poninya yang sudah panjang dan terus menerus menanyakan penampilan rambutnya yang baru apakah cocok dengannya atau tidak, dari kemarin sampai tadi pagi. Kak Ade memilih memakai rok selutut dengan tali spaghetti berwarna putih. Rambutnya dia gerai begitu saja tanpa diberi hiasan apa-apa. Itu sudah sudah cukup manis untuk dilihat.
"Wah, akhirnya dipakai juga. Sudah kuduga, baju ini memang cocok sekali untukmu," kata paman.
Oh, ternyata itu rok yang beli paman, batinku.
Sementara paman dan kakak mengobrol, ibuku akhirnya mengangkat telepon dariku. Aku pun langsung memberitahukan kedatangan paman ke rumah.
"M... M... Baiklah. Dadah," kataku sebelum sambungan terputus.
Aku segera pergi ke arah dapur untuk membuatkan teh panas kesukaan paman. Setelah selesai membuatkan satu teko teh panas, kuletakkan teko tersebut di atas nampan hitam. Tidak lupa juga, kuletakkan beberapa buah dan roti di atas nampan tersebut.
Kubawa nampan tersebut ke ruang keluarga, tempat kakak dan pamanku duduk dan asyik membicarakan sesuatu.
"Aku pasti akan sangat merindukan Ade, nanti," kata paman dengan nada sedih sambil memeluk Kak Ade yang duduk di pangkuannya.
"Hahaha. Aku juga akan merindukan paman," jawab Kak Ade dengan nada ceria.
"Aku akan sering mengunjungimu nanti," kata paman masih dengan posisi memeluk Kak Ade dari belakang.
"Lebih baik jangan. Aku tidak ingin polisi datang ke kos karena ada yang melapor paman menculik anak-anak," kataku sambil meletakkan nampan yang kubawa ke atas meja, kemudian kutuang isi teko ke tiga cangkir tersebut.
"Jangan samakan aku dengan dirimu yang punya wajah kriminal. Lagipula orang di luar sana akan lebih percaya padaku, saat aku mengatakan kalau aku ini ayahnya Ade dan mereka juga lebih percaya kalau kamu adalah penculik anak-anak saat aku mengatakannya," balas paman yang perkataannya tidak dapat kubalas.
Pamanku adalah kakak dari ayahku yang selisih umurnya lima tahun. Tidak seperti ayahku. Pamanku mempunyai wajah seperti orang berumur tiga puluh tahunan. Wajah yang bersih tanpa ada kumis ataupun jenggot. Rambut lurus pendek yang selalu di sisir rapi dan di beri pomade. Dia selalu memakai kemeja lengkap dengan dasi dan jas, berbanding terbalik dengan ayahku yang lebih suka memakai kaos dan celana jeans.
"Oh iya, ibumu cerita kalau kamu juga akan tinggal dengan Ade?" kata paman dengan nada bertanya.
"Begitulah," jawabku singkat.
"Bikin iri saja," kata pamanku yang langsung disambut dengan tawa dari Kak Ade.
Terdengar suara pintu terbuka. Aku segera menuju ke sumber suara, kea rah ke dua orang tuaku yang baru saja datang dengan membawa banyak sekali kantong plastik berwarna hitam dan putih.
"Tolong ambilkan yang masih di dalam mobil," pinta ibuku. Aku mengangguk lalu mendekati mobil.
Saat masuk ke dalam rumah, ke dua orang tuaku dan paman sudah asyik mengobrol di ruang tamu. Tidak berselang lama, mereka sudah selesai mengobrol dan pamanku langsung pamit. Sebelum pergi, paman dan Kak Ade berpelukan untuk yang terakhir kalinya. Dan akhirnya, pamanku pun sudah tidak terlihat lagi bayangannya.
*****
Di dalam kamarku, saat aku sedang asyik membaca komik yang dipinjamkan Bintang, kakakku masuk ke dalam kamarku sambil tersenyum manis. Kemudian dia masuk dan langsung memberi isyarat ingin duduk di pangkuanku. Aku menurut tanpa mengatakan sepatah kata pun.
"Memang yang paling enak itu duduk di pangkuanmu," kata Kak Ade dengan wajah bahagia.
"Oh ya? Bukannya kakak juga suka duduk di pangkuannya Paman Narto?" tanyaku. Ke dua tanganku sedikit merentang ke depan dengan siku menekuk 75 derajat agar aku bisa tetap membaca komik yang kupegang sambil memangku Kak Ade.
"Kamu kan tahu sendiri jika Paman Narto itu suka memberiku uang jika aku bermanja ria dengannya," jawab kakakku yang kusahut dengan O panjang.
"Ulang dari awal lah, biar aku juga bisa ikut baca," pinta Kak Ade dengan nada merajuk.
"Ini sudah volume empat. Jika mau dari awal, kakak baca ini saja," kataku seraya memberikan komik milik Bintang yang ada angka satu di ujung atasnya. Kakak menerimanya tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Beberapa menit berlalu dalam hening, sampai aku memanggil kakakku.
"Hm?" responnya dengan mata masih sibuk membaca komik yang dipegangnya.
"Apa kakak akan menikah dengan Paman Narto?" tanyaku tanpa melepas tatapan dari komik yang kupegang.
"Kenapa kamu tanya begitu?" balas kakakku tanpa menjawab pertanyaanku.
"Paman Narto kan sudah duda. Kaya lagi."
"Lalu?" tanya kakak dengan jawaban singkat.
"Lalu apanya? Bukannya kakak pernah bilang kalau ingin menikah dengan orang kaya?" tanyaku.
"Aku sudah punya orang yang kusukai. Selain itu, aku tidak punya perasaan lebih ke paman," jawab kakakku.
"Aku baru tahu, ternyata kakak juga bisa suka dengan orang."
"Kamu ngajak kelahi ya?" tanya Kak Ade dengan nada ketus.
"Tentu saja tidak. Lagipula, hasilnya sudah kelihatan yang menang siapa." Hasilnya yang menang tentu saja kakakku. Walau badannya kecil, dia itu orang ke dua paling jago dalam urusan bela diri selain ayahku.
"Kamu tidak tanya aku suka sama siapa?" tanya kakakku yang tiba-tiba membalikkan badannya ke arahku dengan wajah cemberut.
"Memang siapa?" tanyaku takut-takut. Kalau salah berkata, bisa remuk badanku, dijadikan samsak sama kakakku.
Kakakku meringis, "Petunjuknya adalah orangnya jelek, penakut, tapi dia sangat baik sama aku. Oh iya, dia juga melakukan semua yang kuminta."
Aku hanya ber-O ria mendengarnya.
"Sayangnya, aku dan dia tidak akan bisa menikah," tambahnya.
"Kenapa?" tanyaku penasaran.
"Karena, dia berhubungan darah sama aku."
Hm? Siapa? Aku memutar otakku, mencari tahu siapa yang kakakku maksudkan.
"Dasar bodoh. Siapa lagi, kalau bukan kamu," jawab Kak Ade. Aku tentu saja langsung bengong mendengarnya. Otakku tidak dapat mencerna perkataan kakakku barusan.
"Aku?" tanyaku setelah beberapa detik terdiam.
Kak Ade tersenyum manis. Lalu dia mendekatkan wajahnya ke arahku, sehingga aku pun bisa merasakan hembusan napasnya. Detak jantungku langsung berdetak cepat tanpa bisa kukendalikan.
"Tentu saja, aku cuma bercanda," katanya dengan nada berbisik, lalu tersenyum jahil.
Aku hanya bisa mengumpat di dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kehidupan Sehari-hari Adik Laki-laki
HumorKehidupan sehari-hari Afiq dengan kakaknya Ade yang memiliki ukuran tubuh serta penampilan seperti anak SD umur sepuluh tahun. Mungkin kalian akan menemukan beberapa typo atau kesalahan. Tolong tunjukkan saja, biar saya bisa betulkan~ Jangan lupa be...