Case 1 The Red Mansion: White Lady

32 1 2
                                    

Aku berlari dalam kebutaan malam. Bertelanjang kaki menyusuri barisan pepohonan bagai orang gila. Dadaku kembang-kempis dan jantungku berdetuk bagai derap kuda. Aku mengibas-ngibas udara, berusaha meraba-raba dalam gelap. Duri-duri tajam mengiris kakiku, aku merintih, tapi tak dapat berhenti. Mereka, mereka akan menangkapku! Aku membatin, berusaha memberikan motivasi pada tubuh yang lelah ini.

Anjing menyalak-nyalak dari kejauhan, membuat bulu romaku menegang. Kakiku tersandung akar pohon dan aku terjatuh mencium bumi. Aku menelan jeritan dan menyeka darah dari bibir yang sobek. Aku mendorong diri bangkit dan kembali berlari. Suara gonggongan anjing semakin mendekat. Akhirnya aku keluar dari hutan terkutuk itu. Aku berlari dalam tempaan sinar rembulan yang menampakkan tanah menanjak di depanku. Aku percepat langkahku. "Sedikit lagi, Hanna," aku bergumam, menyemangati diri.

Suara air mengalir terdengar di depanku. Senyum merekah dari bibirku dan aku berderap cepat. Aku dapat melihat tepi dari daratan di depanku. Aku mengumpulkan seluruh keberanian dan bersiap untuk lompat. Hanya dengan ini aku bisa selamat, pikirku. Namun, semakin dekat, langkahku semakin melambat. Mata coklatku membelalak dan aku berhenti di tepi tebing. Aku tahu di sini ada sungai, tapi tak terpikirkan tebing ini begitu tinggi. Ragaku gemetar dan air mata membasahi kedua pipiku. Angin berhembus kencang, menarik-narik gaun putihku, seakan mencoba menarikku jatuh.

Aku berbalik badan dan merendahkan tubuh. Aku mengedarkan pandangan, berusaha mencari jalan keluar. Otakku dipenuhi banyak pikiran, tapi kepanikan mengacaukan segalanya. "Hanna!" Suara teriakan perempuan menjelah hutan. Tubuhku merinding mendengarnya, suara itu membangkitkan ketakutan dari lubuk hatiku, ketakutan yang telah mengakar. Tidak, tidak, aku harus kabur! Lima sorotan senter berkelebat dalam lebat hutan. "Tidak...," aku berbisik dan tanpa sengaja melangkah mundur. Kaki kananku, yang menapak udara, menarik diriku jatuh. Aku berteriak kencang dan kedua lenganku mencengkeram permukaan tebing. Aku melaung-laung dengan pandangan terpaku ke bawah. Kuku-kuku patah, tapi aku tak terlalu peduli. Tanah terkikis dan mencengkeram terlepas. Diriku terjun bebas. Lenganku menggapai-gapai udara. Aku menjerit menghabiskan seluruh udara dalam paru-paru.

***

"Ed, apa yang kau lihat?" tanya Ingrid, partnerku pada unit investigasi kepolisian Clenton. Perjalanan memoriku berakhir berkat interupsi Ingrid. Aku dapat merasuki ingatan terakhir dari orang yang telah meninggal cukup dengan sentuhan kecil. Merasakan dan mengalami kejadian terakhir yang menimpa si korban dengan begitu nyata. Berkat kemampuan ini, aku dapat menemukan petunjuk-petunjuk yang tak mungkin diketahui siapapun, selain korban dan pelaku. Namun, aku tidak dapat memberitahu siapapun mengenai kekuatan ini. Tidak ada yang akan percaya dan orang malah akan mencurigaiku.

Sekitar jam 5 pagi di hari yang cerah ini, sepasang suami-istri menemukan mayat wanita muda mengapung di sungai Liam, sekitar dua-belas kilometer utara dari pusat kota. Bob, polisi yang tengah berpatroli, tiba di lokasi lima menit kemudian. Aku dan Ingrid datang tiga-puluh menit setelahnya bersama tim forensik. Mayat telah ditarik ke tepi sungai oleh tim forensik. Tim forensik tidak memakan waktu lama dalam mencari bukti-bukti, karena memang tidak ditemukan apapun selain mayat wanita ini. Kini hanya aku dan Ingrid yang masih memeriksa mayat, sebelum mayat dibawa untuk autopsi.

Ingrid berdeham dan berpaling, rambut pirangnya berkilauan dalam siraman cahaya. "Aku tahu kau lajang, tapi aku harap kau tidak jatuh cinta pada mayat," ucapnya bergurau, selagi mata coklatnya melirik tanganku yang memegang lengan korban. Aku kehilangan kata-kata dan menatap sinis wanita muda itu. Aku bangkit dan merapikan jasku.

"Tanpa kartu pengenal, tanpa perhiasan, atau dompet. Hanya gaun tidur, sutra, pilihan yang bagus dan mewah. Luka benturan pada kening, kemungkinan korban terjatuh dari ketinggian dan kepalanya membentur dasar sungai. Korban tak sadarkan diri dan air memenuhi paru-parunya." Aku menjabarkan poin-poin yang kutahu, sesuai dengan ingatan korban.

Ingrid mengangguk perlahan dan bertanya, "Bunuh diri?"

Aku menggeleng. "Luka-luka pada tubuhnya, terjadi sebelum korban jatuh. Korban berlari dari sesuatu, sesuatu yang mengancam keselamatannya. Periksa kukunya," aku berujar.

Ingrid meraih sarung tangan dari saku jaketnya dan selembar sapu tangan ungu. Ingrid berjalan ke samping mayat yang terbaring beralaskan tanah berbatu. Ia mencongkong dan menutup hidung dengan sapu tangan. "Tiga kukunya patah dan sisa-sisa tanah pada kuku yang tersisa juga jemari." Ingrid menyelidiki setiap jemari wanita malang itu dan lecetan pada telapak tangan korban. "Kau benar, anak baru! Korban berusaha bertahan, tapi tidak cukup beruntung. Pasti sakit sekali."

"Korban belum membengkak, jadi kemungkinan, ia tidak berenang jauh. Arus juga lambat, jadi lokasi korban jatuh pasti cukup dekat." Aku berucap dengan mata biru yang penuh keyakinan.

Ingrid tersenyum tipis dan menatapku dari atas sampai ke bawah. "Tidak buruk, anak baru! Walau gayamu kuno, tapi otakmu lumayan."

Aku tidak tahu harus berterima-kasih atau marah dengan pujian itu. Setelan biru-navy, sepatu pantofel, dan rambut pendek dipotong rapi. Apa yang salah dengan gayaku? Aku pria klasik. Jeans, sepatu boots, dan rambut teurai seperti Ingrid, sama sekali tidak profesional. Padahal Ingrid adalah seniorku di angkatan ini. Aku sendiri baru lulus menjadi detektif dan ditugaskan pada kepolisian Clenton satu tahun lalu.

"Kalau begitu, kita perlu berkunjung. Mungkin saja ada saksi mata di sekitar sini, " saran Ingrid dan berjalan kembali ke mobil Hyundai ix35 biru, mobil dinas kami. Mobil yang telah dilengkapi dengan laptop di depan kursi penumpang di sebelah supir, radio polisi, serta tombol-tombol sirene, sesuai dengan standar kepolisian. Aku memberi isyarat kepada tim forensik untuk mengemas jasad korban dan menyusul Ingrid ke dalam mobil. Sebagai junior yang baik, sudah tugasku untuk memegang kemudi. "Kira-kira dimana kita mulai?"

Aku berpikir sejenak, mengumpulkan fakta-fakta dari ingatan itu. "Kita mulai dari lokasi yang lebih tinggi, dekat dengan sungai, dan gaunnya lebih cocok untuk rumah besar." Aku memacu mobil meninggalkan lokasi, selagi Ingrid menavigasi peta dari laptopnya.

"Ada satu rumah, tidak jauh dari sini, sekitar tiga kilometer ke utara dan sesuai dengan pilihanmu," ujar Ingrid dan menutup laptopnya.

Dua-puluh menit kemudian, kami tiba di lokasi yang ditunjukkan Ingrid. Aku menepikan kendaraan tepat di depan gerbang besi, berwarna hitam, yang menjulang tiga meter. Sebuah mansion merah, tiga lantai, berdiri di ujung halaman rumput yang luas. Barisan pepohonan tumbuh di belakang mansion tua itu. "Siapa orang kaya ini?" tanyaku setengah bergurau.

"Thommas Moser, usia tujuh-puluh-delapan tahun, kelahiran jerman, seorang kolektor seni. Ia menggunakan istananya untuk pameran seni setiap tahun. Ia dan korban kita, gadis belia? Aku rasa ini akan jadi kombinasi yang menarik."

"Mari cari tahu!" Aku melepas sabuk pengaman dan keluar dari mobil. Aku berjalan sampai ke depan interkom yang menempel pada dinding batu di samping gerbang besi. Aku menekan bel, berharap sudah ada penghuni mansion yang bangun di pagi ini.

Tidak lama, suara seorang perempuan terdengar dari interkom. "Ya, selamat pagi! Dengan siapa ini?" Aku tertegun dan berusaha keras menutupi ketegangan dari wajahku. Lidahku ngilu dan napasku tertahan sejenak. Suara ini! Suara perempuan yang mengejar Hanna, korban malang kita. Tidak salah lagi!

Edward DominicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang