Jakarta, Januari 1981"Siapa Lu sebenarnya selama ini, Obi?"
Suara bernada dingin dan tatapan tajam dari Dhani terdengar seperti sambutan polisi pada tahanan. Obi berdiri dan menyingkap debu dari pakaiannya. "Aku bisa jelaskan ...,"
"Jelaskan apa?!" Dhani memotong, "Udah kagak ada yang perlu dijelasin. Lu tega bener ya, bohongin gua selama ini. Ngaku-ngaku dari Surabaya, ternyata malah makhluk asing yang entah dari mana." Dhani menatapnya nanar, ini lebih sakit daripada hinaan Om Badri ke Nyak. "Gua udah percaya sama Lu, gua udah beberin semua hal tentang gua. Kisah tentang anak tapol yang masih pengen tahu nasib Bapaknya yang hilang. Lu sendiri malah memberi balasan gua kayak gini, tega bener Lu, ya."
"Dhan, maaf kalau aku bohong sama kamu selama ini. Aku ...," Obi menunduk, berusaha melawan kegusarannya dalam menyelesaikan kalimat.
"Aku apa? Apa, Bi? Pengakuan bohong apa lagi yang Lu mau buat, ha?!"
"Aku ... dari masa depan. Aku ... ini sebenarnya ... ponakan kamu." Obi menatap Dhani yang masih murka. Wajah murka Dhani sekarang berubah menjadi terkejut, sedangkan Lastri diam seribu bahasa. Suasana ruang baca Babehnya Dhani makin sunyi.
Dhani tertawa, sumbang. "Gila lu ya."
"Aku nggak gila. Aku jujur, Dhan. Aku ini cucunya Badrian Santoso, Om kamu." Lastri terkesiap mendengar perkataan Obi. Sedangkan Obi sendiri tetap melanjutkan pernyataan kejujuran. Tidak ada lagi yang harus ditutup-tutupi. "Aku kembali ke masa ini karena Om kamu mau mencelakakan keluargamu, Dhan. Dia mau kembali ke masa lalu untuk melakukannya dari awal. Maka sebelum semuanya terjadi, aku harus menghentikannya."
Dhani tak bereaksi apa pun. Ia hendak pergi dari di ruang baca, menurutnya khayalan Obi sangatlah tinggi. "Lu gila, Bi. Jangan mengada-ada deh. Iya, gua tau Om Badri memang jahat, sejahat-jahatnya dia ya kagak mungkin main fisik."
"Sayang ...," Lastri bersuara, menenangkan calon suaminya. Ia mengelus lengan Dhani. "Jangan begitu ah. Siapa tahu dia benar?" Sepengamatan Lastri, Obi berkata jujur. Walau sesungguhnya dia sendiri penasaran.
Obi terus berusaha membuat Dhani percaya. "Dhan, percaya sama aku. Om Badri bakal melakukan sesuatu yang jahat padamu. Kamu harus dengarkan aku. Tolong, Dhan, aku ingin menyelamatkan kamu."
Dhani mendengkus. "Bohong apa lagi sih Lu. Udah ah gua capek, mau tidur." Pintu ruang baca tertutup sangat keras, tinggal Obi dan Lastri berdua saja.
"Bi ...," Lastri mendekati Obi, "Mungkin kamu bisa berikan Dhani waktu untuk mencerna semua ini?" Suaranya sungguh lembut dan menenangkan. Tidak ada tatapan menghakimi sama sekali.
*
Lastri menghela napas berat. Sejak kedatangan Obi lagi, selama dua Minggu ini Dhani kerjaannya marah-marah terus. Bahkan dalam tiga kali sehari, intensitas telepon mereka kebanyakan membahas bagaimana Dhani kesal dan muak. Wanita itu berharap tagihan teleponnya tidak membengkak parah untuk bulan ini. "Dhan, daripada kamu marah gitu mending damai aja deh. Sepertinya Obi memang mau menyampaikan sesuatu ke kamu."
Iya, memang. Dari kilat matanya, Obi tidak berbohong. Tapi dia sendiri nggak percaya mengapa Om Badri yang menolongnya malah berusaha membunuh Dhani. Sungguh aneh.
"Aku nggak mau kerjasama dengan pembohong." Nada bicara Dhani masih marah. Terdengar helaan napas cepat.
"Dia mungkin punya alasan tersendiri mengapa dia melakukan hal itu. Lagipula kamu sendiri sering bilang ke aku kalau nggak boleh berprasangka buruk."
Dhani tertohok dengan ucapan calon istrinya barusan. Lalu, gengsi menguasainya. "Pokoknya aku nggak mau maafin dia, titik. Udah deh ah, mending bicarain persiapan nikah kita aja deh, Sayang." Setidaknya Lastri lega karena tidak membahas topik Obi lagi yang memekakan telinga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sentralisasi | ✓
Macera[SERI PANDORA #2] [TAMAT] Obi Ardiansah Wiantono (27) menghilang ketika liburan ke Southamptons bersama sahabat dan kekasihnya, tetapi anehnya Obi tidak meninggalkan jejak apa pun. Rupanya Obi terlempar ke tahun 1979 akibat mencoba mainan lamanya. B...