“Diam!”Kedua pemuda di hadapan lelaki berpakaian rapi itu seketika bergeming. Beberapa detik sebelumnya keduanya terlihat masih adu mulut, saling sikut, dan sibuk membela pendapat masing-masing.
“Bikin malu. Hanya karena perempuan, kalian berseteru!” tambah lelaki berambut klimis, “sekarang kalian keluar. Jika saya masih mendengar keributan lagi, kalian berdua akan saya skors. Mengerti!”
Lalu kedua cowok yang berseragam kembar itu meninggalkan ruangan kabag. Salah seorang merangkul pundak orang di sebelahnya. “Gua minta maaf, Den.”
Denis diam saja. Pandangannya bias. Perlahan ia melepaskan diri dari rangkulan teman satu bagian dengannya. Lalu ia duduk di bangku besi tepat di samping mesin produksi. Beberapa karyawan lain yang tengah sibuk dengan pekerjaan di tangannya, menatap penuh selidik.
“Tapi, gua berani sumpah.” Lanjut Erik, “Gua kenal Rindi, dia itu beneran…” lelaki itu diam seketika, setelah tiba-tiba Denis menatap tajam ke wajahnya.
“Jangan pernah sekali-kali lu sebut Rindi begitu.”
Erik mengalah. Pertengkaran kecil yang nyaris memecah persahabatan mereka bermula dari candaan Erik. Kebetulan, kemarin Erik berada di Taman Situlembang bersama pacarnya. Erik hanya tidak menyangka, sebab selama ini ia mengenal Denis anak yang baik. Meski penampilannya terlihat trendi, tapi sahabatnya itu tak sembarang memilih teman. Erik tahu betul itu.
Tetapi Erik tak menyangka, Denis marah besar ketika ia menyebut profesi Rindi. Tak dapat dipungkiri, Erik memang agak sedikit selon. Sesekali ia menghibur diri di tempat karaoke yang terbilang cukup mewah itu. Bahkan ia pernah membooking Rindi menjadi rekan duetnya.
“Oke, fine! Lu boleh nggak percaya sama omongan gua. Tapi lu bisa tanya langsung ke orangnya.” Erik beranjak dari tempat duduknya, lalu kembali fokus pada mesin press besar di hadapannya.
Sementara Denis masih tercenung. Pikirannya tiba-tiba kacau. Lelaki itu meletakkan jemari tangannya di kepala, meremas-remas rambutnya serampangan, mirip seperti orang frustasi.
Berpasang-pasang mata di sekelilingnya menatap aneh, sadar akan tatapan-tatapan itu, Denis beranjak pergi menjauh.
Erik berteriak memanggil, namun tak dihiraukannya.
***Apa yang bisa dilakukan seseorang saat masalah besar tengah dihadapi?
Banyak cara diupayakan. Mencari jalan terbaik, atau memilih jalan mudah, tapi gadis berambut lurus itu gamang. Meski berulang kali kata sabar selalu ditujukan padanya. Namun kenyataannya, sikap berbesar hati dan sabar ternyata bukan perkara mudah.
Rindi tak tahu sampai di mana ambang batas kesabaran itu harus dibentangkan. Memang benar, semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Dan waktu pasti akan menjawabnya. Tapi nyawa Bapak tidak bisa jadi agunan. Telat sedikit saja, sangat berakibat fatal.
Rindi melangkah menghadap cermin di meja rias. Seseorang yang menyerupai dirinya menatap penuh ketegaran. Sepasang mata bening, yang kini terlihat sayu. Juga wajah putih yang hari ini terlihat kusam. Semalaman, hampir saja ia tak menemukan kenyamanan untuk merebahkan keletihan. Problema demi problema terus saja menyesaki isi kepala. Hingga tak sedikit pun ruang bersih tanpa polusi tersisa. Lelah otaknya berputar. Mencari-cari cara instan untuk meraup rupiah sebanyak-banyaknya, dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Gadis itu mundur beberapa langkah. Memutar tubuhnya, ke kiri, ke kanan lalu ke posisi semula. Memerhatikan keindahan anugerah yang Tuhan titipkan padanya. Sempurna.
Inikah jawaban dari permasalahan yang sedang pelik?
Ya. Hanya dengan cara ini dia bisa menemukan jalan untuk mengembalikan senyum bapak. Juga senyum keluarganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seberkas Kasih Rindiani (TAMAT)
Teen FictionSinopsis: Meski kuat hatinya menolak, Rindiani terpaksa harus menjalani profesi sebagai pemandu lagu pada sebuah tempat hiburan malam di Jakarta. Nasib mengantarkannya bergumul di dunia baru yang nyaris merenggut kehormatannya. Sekuat hati ia mempe...