Kamu adalah seorang Inggris satu-satunya yang aku cintai. Kamu berbeda dengan para lelaki yang sudah pernah kujumpai, mereka pengecut dan hanya manis di mulut jika berkata.
Sedangkan kamu begitu penyayang, hatimu lembut, sikapmu hangat, dan perkataanmu menyejukkan hatiku.
Namun aku benci pada orang-orang yang menganggapmu tidak seperti itu.
Mereka bilang aku buta karena cinta. Aku tertawa jika mengingat hal itu. Bagaimana mungkin orang-orang menilai tanpa ada bukti yang nyata.Orang-orang itu selalu memojokkanku untuk berhenti mencintaimu, bahkan orangtuaku sendiri mendukung mulut kasar orang-orang itu. Aku muak dengan penilaian negatif orang-orang tentangmu. Hingga akhirnya kuputuskan untuk menerima ajakanmu ke London dan keluar dari desa kecil Edensor.
“August” aku memanggil namamu dengan hati-hati. Kamu mendongak dan meletakkan kembali potongan roti yang akan masuk ke mulutmu.
“Apa kau ingat pertemuan kita pertama, dulu?” tanyaku padamu.
“Tentu aku mengingatnya. Sangat sangat mengingatnya dan tak akan kulupakan” jawabmu dengan tatapan penuh kehangatan.
“Saat itu kau memakai rok merah dan rambut ikalmu kau biarkan tergerai diterpa angin” katamu.“Ah, saat itu aku sangat kesal”
“Kesal? Kenapa kamu bisa kesal?” tanyaku, sedikit tergelitik untuk tertawa karena raut wajahnya yang berbinar berubah seperti anak anjing yang minta dibelai tuannya.
“Sebab, aku iri pada angin” katamu dengan bibir yang sedikit kamu monyongkan.
“Kau iri pada angin?” ucapku disambut dengan riuh tawa kecil yang keluar dari bibirku. “Kenapa?” tanyaku lagi.
“Sebab, angin berani membelai rambutmu sepuasnya. Sedangkan aku tak memiliki keberanian untuk itu” jawabmu dengan mata manja.
Ah, menggemaskan sekali. Aku beranjak mendekatimu lalu aku belai anak rambutmu yang hitam.
“August” aku memanggil namamu dengan rasa gelisah.
“Bagaimana dengan orangtuaku di Edensor. Apa mereka baik-baik saja?”
“Hampir setiap malam aku memikirkan hal itu. Aku selalu berdoa dan mengumpulkan keberanianku untuk bertemu dengan orangtuamu” jawabmu lalu menundukkan kepala.
“Maaf, aku..”
“Tidak! Ini semua bukan salahmu. Ini kehendakku. Ini keputusanku untuk ikut dan hidup bersamamu. Aku mencintaimu, sangat sangat mencintaimu” ucapku takut kamu pergi dan hilang.