🍃🍃🍃
Aku adalah putra bungsu dari seorang kiai yang cukup masyhur . Abah adalah pimpinan sebuah pesantren yang cukup besar Di daerah Pasuruan, Jawa Timur. Jumlah santrinya mencapai belasan ribu. Abah juga seorang dai kondang yang sering nongol di beberapa stasiun TV.
Selain itu, sejak beberapa tahun yang lalu, abah sudah mulai menjejakkan langkahnya ke ranak politik . Sampai saat ini,sudah terhitung tiga periode abah menduduki kursi parlemen sebagai wakil rakyat. Do kursi kepemerintahan, abah bisa dikatakan memiliki peran yang cukup penting dan diperhitungkan. Pencapaian ini beriringan dengan kesuksesan beliau dalam memimpin pesantren.
Abah bersikap open minded terhadap dunia pilitik ,memiliki jam terbang yang cukup padat, serta gaya hidup yang 'sekilas' tampak jauh dari kesederhanaan .Namun, semua itu tidak membuat masyarakat berpikir bahwa abah telah terkontaminasi oleh busuknya ranah politik. Masyarakat justru malah menilai sosok abah sebagai seorang waliyullah. Menurut mereka, abah memiliki beberapa keajaiban yang tak lazim bagi orang-orang pada umumnya, yang keajaiban itu tidak bisa dipecahkan oleh ilmu mitologi sekalipun, kecuali digolongkan sebagai waliyullah.
Tapi cerita ini bukan tentang abah, melainkan tentang aku dan perasaanku.
***
Entah sejak kapan aku baru menyadari betapa hebat dan terkenalnya abahku. Yang jelas, kehebatan dan kemasyhuran abah terkadang membuat aku merasa risih dengan posisiku ini dan sedikit merasa terganggu atas sikap dan perlakuan orang-orang terhadapku.
Dulu, saat aku masih kecil ,tak sedikit pun aku merasa aneh saat banyak orang yang berebut mencium tanganku, banyak orang yang memberiku amplop berisi uang, banyak orang yang mencium pipiku, dan banyak orang yang meminta untuk aku doakan. Kupikir semua anak kecil juga diperlakukan demikian. Ternyata aku salah. Dan kini, entah kenapa ,aku mulai mempermasalahkan sikap dan perlakuan mereka itu.Saat aku beranjak dewasa, aku mulai merasa aneh dan sedikit risih dengan perlakuan orang-orang yang kurasa terlalu berlebihan padaku. Terlebih, saat mereka memanggil namaku. Mereka memanggilku dengan panggilan 'Gus' , padahal namaku bukan Agus,Gusti,atau apapun yang ada gus-gusnya. Aku juga tidak lahir di bulan Agustus. Sejak aku lahir, Abah memberiku nama Azmi Askandar. Titik.Tidak lebih. Itu bisa aku buktikan dengan akta kelahiranku.
***
Di suatu pagi yang cerah, sebelum mentari sempurna menampakkan dirinya.Aku bergegas mengambil sepeda untuk segera berangkat nge-futsal bersama teman-temanku.
"Jangan, aku bisa mengambilnya sendiri, " kataku menghentikan seorang santri yang berusaha membantu mengambilkan sepatu olahragaku yang berada di dalam garasi.
" Nggak apa-apa ,Gus " santri itu tetap ngeyel mengambilkan sepatuku. Ya,lagi-lagi aku tidak bisa menolaknya, karena sepatu sudah ada didepanku.
Ummi memperhatikanku sambil geleng-geleng kepala, tak hanya ummi, aah, dan dua saudaraku juga menganggap sikapku 'aneh' . Entah apa alasan mereka menilaiku seperti itu.
Mungkin karena aku selalu menolak saat ada santri yang berusaha membantuku, dan selalu meminta mereka untuk tidak bersikap kaku terhadapku. Bagaimana tidak,setiap kali aku lewat di hadapan mereka, mereka akan langsung berhenti dari aktivitasnya untuk sekedar memberi hormat kepadaku yang sedang lewat ; menyilangkan tangan didepan badan, kepala mereka menunduk dan parahnya lagi, kadang mereka sampai melepas alas kaki. Padahal kalau kupikir-pikir, siapalah aku ini ; hanya anak kemarin sore yang belum tau apa-apa . Bagiku tak pantas mereka bersikap sebegitunya padaku. Kecuali sikap itu mereka tunjukkan kepada abah yang telah mencurahkan ilmunya kepada mereka. Kurasa itu pantas.
Aku selalu merasa kerdil dan cacat setiap kali aku dibantu oleh siapapun selagi aku bisa melakukannya sendiri, apalagi dibantu oleh santri yang biasa menamai dirinya dengan sebutan abdi dalem atau khadam . Aku jadi merasa tidak bermanfaat untuk diri sendiri. Apalagi untuk orang lain. Pikirku.***
Kugoes pedal sepedaku dengan kecepatan tinggi. Kupikir hari itu akan jadi hari yang menyenagkan buat seru-seruan ; balapan sepeda bersama teman-temanku. Ternyata aku salah . Kenyataannya tak sesuai dengan rencana dan ekspektasiku yang terlanjur melambung tinggi. Mereka malah mengekor di belakangku . Mereka tak mau mendahuluiku, padahal aku bermaksud mengajak mereka beradu kecepatan. Saat kutanya mengapa mereka tak mau mendahuluiku.
" Takut nggak sopan, Gus, " jawab mereka serempak sambil tertunduk seakan penuh dosa. Ughhh.... Aku mendengus kesal. Begitulah mereka, sulit untuk mengerti bahwa aku ingin diperlakukan sebagaimana teman yang lain.
Sebenarnya aku tidak mau menyalahkan mereka. Tapi perbedaan status sosial dan strata ekonomi seakan telah menjadikan aku seperti makhluk asing yang baru datang dari Pluto. Aku merasa seperti beda sendiri. Semua segan terhadapku. Padahal abahlan yang pantas mereka perlakukan demikian. Selain karena abah sudah sepuh, dan karena abahlah yang telah mengajarkan ilmu dan mengabdi pada masyarakat bukan aku.
Sulit mencari teman yang mau duduk santai untuk sekedar ngobrol denganku. Yang ada, mereka malah duduk bersimpuh di hadapanku seakan sedang berada di hadapan seorang raja. Mereka pun menjawab pertanyaanku seadanya, padahal maksudku tak lain adalah untuk ngobrol santai, sharing dan berbagi cerita.***
Assalamu'alaikum wr.wb
Afwan,segitu dulu ceritanya yah..
Insyaallah bakal dilanjut besok atau lusa.
Jangan lupa baca Al-Qur'an