day 19

0 0 0
                                    

Hari itu bulan September, aku terdiam sendiri. Melamun panjang. Hanya menatap bisu apa yang aku pandang saat itu.

Pikiran yang tak setenang biasanya. Sebuah perkataan yang selalu menghujam pikiranku. Tak percaya dengan keadaan yang telah terjadi.

“Untuk saat ini, kita hidup masing-masing dulu. Memperbaiki diri satu sama lain. Kita berteman saja. Aku yang sekarang tak mau pacaran dulu.” Ucap Wangi kepadaku.

Wangi adalah kekasihku dulu. Aku dan Wangi sekampus. Dia adalah adik kelas ku. Hanya beda empat semester dengannya.

“......” aku hanya bisa diam, tak berucap, tak bisa berbalas dengan kata apapun, tentang pernyataan itu yang Wangi lontarkan kepadaku.

Keadaan tiba-tiba sunyi seketika. Apa yang aku dengar saat itu, hanya hening yang terjaga. Dada mulai terasa sesak persekian detiknya. Mata mulai mengisyaratkan bentuk dari kesedihan. Perlahan meneteskan air mata.

Setelah saat itu, aku tak tau lagi harus apa. Keadaan hidupku berubah drastis. Semangat kehidupan yang berkurang untukku. Mungkin aku terlalu mencintainya. Hingga belum bisa mengikhlaskan dan melepaskannya.

Seminggu telah berlalu. Masih saja Wangi, mendekap dipikiranku. Aku belum bisa moveon dari Wangi tentunya.

Ada kuliah siang yang harus aku ikuti hari ini. Beranjak dari rumah lalu pergi ke kampus. Meski dengan rasa malas yang mendekapku.

Kelas masih belum mulai. Kursi-kursi masih juga belum terisi seluruhnya. Hanya ada satu yang sudah terisi oleh temanku, sebari dia membaca sebuah buku.

“Heii Laila, kamu lagi baca buku apa?” tanyaku dengan penasaran.

“Ini buku inspiratif, motivasi gitu, Nat. Kenapa emang? Nathan mau pinjam?” jawabnya dengan heran.

“Boleh liat dulu bukunya La?”

“Nihhh!” sambil menyodorkan bukunya.

“Jangan Takut Gagal dari Aldilla Dharma. Wah ini bagus, La. Nathan pinjam yah?”

“Boleh, tapi balikin yah seminggu lagi.”

“Oke siap,” jawabku dengan sumringah.

Seminggu telah berlalu. Aku beres membaca buku Laila yang dipinjamkannya. Isi bukunya lumayan membuatku termotivasi dalam sebuah kehidupan yang lebih baik.

Ternyata Laila masih punya banyak buku-buku lain seperti itu.

“Aku pinjam buku lagi lah, La?” tanyaku.

“Boleh, tapi aku mau nanya dulu. Kenapa dengan kamu Nat? Tumben sekarang mulai suka baca buku? Hehe,” ucap Laila sebari menyindirku.

“Yaah, mau baca aja. Bagus untuk kehidupan sehari-hari.  Mengisi waktu luang yang kosong, dipake untuk membaca, berfaedah kan?” jawabku.

“Oke lah, Nat, aku ngerti ko dengan keadaanmu sekarang. Hahaha.” Sebari Laila menyindirku lagi.

Sebulan pun telah berlalu. Tak terasa, selama itu aku sering meminjam buku kepada Laila.

Aku sangat berterima kasih kepadanya. Dan lukaku perlahan mulai lekas sembuh. Terlupakan.

Aku sangat bersyukur. Mulai suka membaca buku sekarang. Sesekali membeli buku sendiri. Tak selamanya bergantung, meminjam ke Laila. Itu namanya memalukan.

Ada kertas yang kosong dan pulpen yang tergeletak di meja belajar. Aku mencoba menuliskan beberapa kata yang tersimpan dipikiran. Terus setiap harinya begitu.

“Ternyata mengasyikan juga menulis,” ucapku sendiri.

Lama-kelamaan, aku suka dengan membaca dan menulis. Membuatku tenang, seperti mengetahui hal-hal apapun dan mengungkapkan isi hati dalam sebuah tulisan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 20, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bulan SeptemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang