Bagian Lima : Batagor Cinta

3.9K 338 7
                                    

Ternyata sejak sepuluh menit yang lalu Ali duduk di sini. Setelah membersihkan lukanya yang juga dia lakukan di dapur mang Hamid, Ali merasa perutnya perlu di isi asupan batagor.

Prilly tersenyum-senyum sendiri memandangi wajah Ali yang rupawan. Apa lagi saat ini mereka duduk berhadapan sambil memakan batagor buatan mang Hamid. Persis seperti dua orang yang sedang berkencan, namun bedanya hanya Prilly yang menatap bahagia, sedangkan Ali tetap melahap batagornya dengan napsu tanpa menghiraukan keberadaan Prilly di hadapannya.

"Eum, nama aden, teh siapa? Mamang lupa tadi," mang Hamid bertanya hati-hati.

"Ali, mang, Aliando Devaniano."

Kening mang Hamid berkerut, sebab bukan Ali yang menjawab melainkan Prilly yang menjawab dengan pandangan tak kunjung lepas dari wajah Ali. Bahkan Ali sendiri mulai merasa risih dengan pandangan tersebut.

"Neng Prilly satu kelas sama den Ali?" mang Hamid bertanya pada Prilly kemudian beralih memandang Ali, "Aden, siswa baru ya?"

"Iya, mang." mereka menjawab kompak.

"Wah, kalau gitu harus sering-sering makan di kedai batagor mamang, nanti jadi langganan mamang kasih diskon khusus," di sela-sela eskspresi Prilly yang terkesima, mang Hamid menghancurkan ekspresinya dengan promosi.

"Mang Hamid promosi melulu, nih."

"Kalau kata peribahasa itu sambil menyelam sambil minum air, sambil lihat kalian makan, mamang promosi." jawab mang Hamid sambil nyengir.

"Jiwa berdagang mang Hamid memang kental banget ya, sangking kentalnya udah kayak susu cap enak." Prilly menimpali sambil mengaduk bumbu batagornya, "Mang, aku mau kecap, kalah manis nih batagornya sama aku." pintanya setelah mencicipi satu suap batagor pemberian mang Hamid.

"Neng Prilly bisa aja, sebentar mamang ambilin," kata mang Hamid lantas beranjak.

Ali mengamati dalam diam, setelahnya kembali mengunyah.

"Oiya, kita belum sempat kenalan ya?" Prilly membersihkan tangannya dari debu terlebih dulu sebelum menyodorkannya pada Ali.

"Prilly." balas Ali tanpa menjabat tangan Prilly.

Merasa tangannya tak di butuhkan, Prilly menariknya kembali walau kesal, "Oh jadi gue seterkenal itu ya, sampai-sampai lo anak baru beberapa jam aja udah tahu nama gue,"

"Mang Hamid tadi manggil nama lo Prilly kan," jawab Ali, dingin.

Prilly melirik mang Hamid yang baru saja datang membawa sebotol kecap manis. "Ini neng kecapnya,"

"Makasih mang,"

Mang Hamid mengangguk, kemudian sedikit membungkuk untuk membisikkan sesuatu pada Prilly "Di depan ada bu Fani,"

Wajah Prilly langsung berubah pucat, tanpa sadar wajah pucat itu berubah menjadi ekspresi panik yang membuat Ali kebingungan.

"Gimana dong mang?" walaupun dengan suara tertahan Prilly tak bisa menutupi kepanikan nya saat atas kedatangan bu Fani secara tiba-tiba. "Mau apa mang, dia kesini?"

"Mau beli batagor mamang,"

Jawaban mang Hamid yang terdengar enteng, membuat kepanikan Prilly surut seketika. "Ya elah, bilang dong mang dari tadi." setengah kesal, Prilly kemudian duduk kembali.

"Mang Hamid, bicara sama siapa?" suara itu terdengar dari luar kedai disambut dengan suara langkah sepatu pantopel mengkilat yang mulai mendekat.

Barulah wajah Prilly benar-benar panik sekarang lebih panik dari sebelumnya. Batagor yang baru di masukannya kedalam mulut tiba-tiba tersangkut dalam tenggorokan dan membuat Prilly menepuk-nepuk dadanya sebab tersedak.

"Ini bu, anu, sama.."

"Sama saya bu," tiba-tiba Ali bersuara setelah tanpa sadar menekan kepala Prilly untuk bersembunyi di bawah kakinya yang terhalang sebuah meja.

Ternyata kedatangan bu Fani lebih cepat dari dugaan mang Hamid, sampai-sampai mang Hamid bingung mau menjawab apa tentang keberadaan Ali di kedainya.

"Loh, kamu kan anak baru? Lagi apa kamu di kantin?" raut wajahnya yang terkesan kejam, membuat Prilly merungkut di balik kaki Ali setelah mengintip sedikit di balik celah meja.

"Makan batagor bu," jawaban Ali membuat Prilly tak tahan untuk tidak memukul kakinya yang ternyata sangat keras bagi tangan Prilly.

"Kamu gak bisa baca peraturan saya yang sudah saya tempel di mading?" bu Fanu kebakaran jenggot mendengar jawaban Ali. Mang Hamid menutup menutup mata sambil ternganga mendengar jawaban Ali. Prilly kesal karena jawaban Ali bisa membahayakan perekonomian mang Hamid hingga berada di ujung tanduk. Sedangkan si penjawab merasa tenang, setelah menjawab pertanyaan dari kepala sekolahnya.

"Saya anak baru bu, jadi saya gak tahu semua peraturan di sekolah ini, saya juga belum sempat baca-baca isi mading."

Seenteng membalikan telapak tangan, jawaban Ali, lagi-lagi membuat mang Hamid memasang raut wajah sedih, sebab karirnya sebagai pengusaha batagor mulai terancam.

Bu Fani nampak mengangguk paham, sedangkan mang Hamid menggeleng tak tenang. "Mang Hamid bisa ikut ya ke ruangan sebentar?"

Setelah mendesah, mang Hamid mengangguk pasrah. Selain menyetujui perintah bu Fani, mang Hamid tak punya pilihan lain. Bahkan mang Hamid tak sampai hati menyalahkan Ali sebagai anak baru, memang salahnya yang tidak memberitahu.

"Baik bu," kata mang Hamid yang hampir tidak terdengar oleh Prilly saking pelannya.

Satu detik kemudian Prilly mendengar suara sepatu pantopel dan sandal jepit bergerak menjauh, barulah Prilly keluar dari persembunyiannya.

Bukan hanya keluar, Prilly juga menatap Ali tak percaya. Kini prasangkanya tentang Ali yang cool, keren, tajir dan baik hati, lenyap begitu saja. Di gantikan oleh Ali yang arogan dan merasa dirinya paling benar. Tanpa dia tahu, betapa berartinya berdagang batagor bagi mang Hamid untuk menghidupi anak isterinya di kampung.

Prilly banyak mendengar cerita dari mang Hamid tentang isterinya yang merupakan kembang desa dan anaknya yang jelita persis dirinya. Untuk itu mang Hamid tak segan-segan memberi batagor gratis setelah Prilly menghabiskan setengah waktu istirahatnya untuk mendengarkan kerinduan mang Hamid pada keluarganya, dan setengah lagi dia gunakan untuk memberi asupan batagor pada perutnya.

Dan sekarang Prilly menatap Ali lekat, tak percaya dengan apa yang baru saja di perbuat oleh anak baru itu. Berani-beraninya dia mengumpankan mang Hamid pada bu Fani.

"Maksud lo apa?" Prilly sama sekali tak membentak, yang Ali dengar hanya suara tajam menusuk bagai pedang.

"Gue ngomong fakta." dengan entengnya Ali kembali duduk dan untuk kemudian menghabiskan sisa batagornya, yang bahkan Prilly enggan menghabiskan batagor miliknya.

"Lo tahu apa yang lo lakuin itu sama aja ngasih daging ke kandang singa!" sentak Prilly sampai emosinya tersulut sebab Ali sama sekali tak menunjukan bahwa dia prihatin pada mang Hamid dan profesinya sebagai tukang batagor.

"Gue gak ngerasa gitu,"

Prilly berdecih, "Gue kira lo orang baik," diapun melipat kedua tangannya di depan dada, "Ternyata sama sekali, bukan!" lalu menatap Ali dengan tatapan meremehkan, "Lo cuma murid baru yang gak punya perikemanusiaan," dan mendekatkan wajahnya dengan wajah Ali, hingga menyisakan beberapa centi saja, "Enggak sama sekali!" lantas pergi setelah mengucapkan kalimat terakhir, meninggalkan Ali yang masih sibuk dengan kunyahannya juga sendok besi di tangan.

Bahkan Ali melapangkan jalan Prilly untuk pergi tanpa berniat menahan ataupun mengejar.

***

Up dua chapter!!

Komen dibawah!!!!😁😁😁😁

Lebih dekat dengan aku,
Ig : nurhasanahnur03
Fb : Nurhasanah

22, Sep 2018

Someone In The World Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang