DI Kota Surabaya, di samping Sungai Brantas, sebuah rumah yang cukup dan layak untuk menampung dua orang berdiri tegak dan penuh keberanian. Rumah yang berdiri di sebuah gang kecil, dan tidak pernah ada kendaraan seperti mobil dan motor yang melewati gang tersebut. Maklum, pemukiman itu merupakan pemukiman yang agak kumuh, namun rumah yang berdiri lebih mewah daripada lainnya itu bukan berarti merendahkan mereka. Itu hanyalah warisan. Tak ada yang perlu untuk dibesar-besarkan. Lagipula, kekayaan juga tidak selamanya abadi. Pasti akan ada pasang surutnya, ada saatnya kita di atas, ada saatnya kita di bawah. Dan apalah arti sebuah kekayaan jika pengelolaannya sangat salah, sangat tidak pintar, sangat tidak bijaksana.
Rumah itu bergaya sederhana, namun bisa dilihat bahwa rumah ini diciptakan oleh seorang insinyur atau arsitek yang mencintai seni. Setiap dinding bagian luar pasti tak akan luput dari hiasan berupa ukiran gips yang menempel di sudut langit-langit balkon lantai dua yang memutar. Ada empat pilar di masing-masing sudut rumah yang berbentuk tabung disertai dengan warna cat hijau toska. Sedang warna dindingnya agak lebih meredup dan gelap, membuat mata tidak terlalu silau dengan warnanya. Arsitek yang sangat pintar sekali.
Rumah itu memiliki sebuah ruang tamu yang tersambungkan dengan ruang makan yang ditutupi dengan dinding sebagian. Dinding di dalam diberi warna biru yang bening, membuat suasana tampak agak lebih terang ketika dua buah jendela yang menghadap ke barat—ke Sungai Brantas—dibuka. Benar-benar tenang dan damai, itulah lambang warna biru. Rumah tamunya diisi dengan tiga buah kursi. Sebuah kursi yang lumayan panjang diletakkan di dekat jendela bagian barat, kemudian ada lagi sebuah kursi yang berbentuk huruf “L” diletakkan berdampingan dengan kursi yang paling panjang, dan satu lagi sofa yang cukup untuk menampung dua orang diletakkan di dekat pintu rumah. Sebuah rak dari kayu pohon ek diletakkan di dinding penutup ruang makan, dengan beberapa perabot yaitu telepon, sebuah vase bunga dengan dua tangkai bunga mawar yang diawetkan di dalamnya, sebuah foto keluarga dengan gambar latar pantai, dan sebuah patung abstrak yang terbuat dari keramik. Kemudian sebuah TV yang terletak berseberangan dengan sofa “L” dan berdampingan dengan rak di sampingnya. Ketika di ruang makan, maka akan terasa suasana yang semakin hangat, karena beberapa dari lukisan keluarga, dan beberapa foto keluarga yang semakin membludak diletakkan di sana. Cukup untuk membuat orang berpikir bahwa keluarga itu sangatlah harmonis dan sangat menyukai “kenangan yang dipadatkan”. Di ruang makan, sebuah meja yang dilapisi sebuah taplak berwarna putih yang melintang arahnya beserta empat kursi kayu dengan dudukan yang empuk di atasnya membuat setiap orang nyaman dan betah untuk duduk di situ selama beberapa menit. Sebuah lampu bohlam yang dibungkus dengan sebuah tempat yang buram mampu membuat suasana rumah itu semakin klasik. Sementara di bawah tangga, terdapat sebuah kamar mandi yang biasanya digunakan setiap hari-hari, serta sebuah lorong yang buntu di sampingnya yang digunakan sebagai dapur.
Di samping ruang makan, terdapat sebuah kamar tidur yang (pantasnya) diisi dengan dua orang. Ruangan bagi seorang pasangan suami-istri, dikarenakan di sanalah satu-satunya double bed berada. Tempat tidur khusus untuk berdua. Dilengkapi dengan jendela yang menghadap ke timur ke luar jalan masuk gang. Dan sebuah meja rias beserta cerminnya sebadan yang terpasang di meja tersebut, dan sebuah lemari yang cukup untuk menampung pakaian dari dua orang tersebut. Di samping tempat tidur, terdapat sepasang lampu meja beserta rak di bawahnya yang di dalamnya biasa diletakkan beberapa surat penting. Di sudut ruang makan yang lainnya, sebuah tangga yang menempel di sisi dinding berputar ke lantai dua. Di lantai dua, terdapat dua buah kamar yang dua-duanya memiliki tempat tidur single bed. Di atas hanyalah sebuah lantai kosong, biasanya digunakan beberapa orang yang bertamu—yang merupakan keluarga dekat—sebagai tempat tidur sementara ketika mereka menginap di rumah tersebut, atau dipakai sebagai tempat bermain beberapa teman dari Fairus Fadhillah—pemilik rumah itu—yang memiliki hak waris rumah tersebut—untuk bermain. Di kamar yang letaknya berdekatan dengan tangga, di dalamnya, terdapat sebuah single bed dengan sepasang lampu yang menyinari tempat tersebut. Sebuah meja belajar terletak di depan tempat tidur, dengan sebuah komputer yang terletak di atasnya serta tiga tumpuk buku yang terletak di belakang komputer. Serta ada lagi tumpukan buku yang berdiri yang berada di atas sebuah tempat kecil yang dikhususkan untuk buku di atas komputer. Biasanya sebulan sekali pasti Fairus tidak akan pernah lupa untuk merotasikan buku-buku itu agar—yah, bisa dibilang—buku-buku tersebut tidak dimakan rayap atau dikerubungi oleh kecoa. Biasanya mereka sembunyi, dan Fairus masih tertidur lelap di tempat tidurnya yang empuk di hari Senin ini. Kemudian terdapat sebuah kamar lag yang terletak di dekat pintu balkon, ruangan Bik Anis, pembantu yang sedari dulu membantu keluarga Fadhillah, dari generasi ke generasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Telekinesia
Science FictionFairus tiba-tiba terkejut ketika dia memiliki kekuatan telekinesis, dan semua tiba-tiba berubah menjadi serba terbalik! Kehidupan tenangnya adalah bahaya, dan petualangan tiba-tiba menyadarkannya. Apa yang sebenarnya terjadi? Namun, yang patut diper...