Setelah sampai di rumah, Vere membuka pintu dan langsung menuju ruang keluarga. Ia menemukan mama dengan map berwarna kuning yang terlihat familiar di mata Vere di tangannya. Satu hal yang menakutkan adalah, ekspresi mama bukanlah ekspresi yang Vere harapkan. Sungguh datar, bahkan terlihat marah. Dengan penasaran, Vere langsung mengampiri mamanya.
"Mama mau ngomongin apa?" Tanya Vere hati-hati.
"Mama nemuin ini di laci meja kamu," ucap mama sambil menyodorkan lembaran informasi beasiswa dalam map kuning pada Vere.
"Kamu merasa sudah besar? Sudah berani ambil keputusan sendiri?"
Vere tertunduk dalam diam. Ia memainkan jarinya dengan gelisah. Ia bahkan bingung harus menjawab apa pada mama.
"Apa yang kamu pikir sih? Kamu kira ngambil beasiswa diem-diem bisa bikin mama bangga?"
Mama lalu membanting lembaran tersebut di atas meja.
"Kamu masih tinggal serumah dengan mama. Segala keputusan kamu hanya mama yang boleh atur! Jangan berani-beraninya kamu mengatur diri sendiri!"
Mama lalu pergi ke kamar dengan membawa lembaran tersebut bersamanya, meninggalkan Vere sendirian.
Vere mati-matian menahan tangisnya. Ia terus menunduk, menyembunyikan segala amarahnya. Ia mencoba membenarkan sikap mama dalam hatinya. Ia tahu mama hanya ingin yang terbaik untuknya. Ia terus meyakinkan dirinya bahwa mama memiliki tujuan yang baik untuk dirinya. Ia lalu berdiri, berjalan menaiki tangga ke kamarnya.
Ia memasuki kamarnya dan duduk di tepi tempat tidurnya. Ia bisa merasakan derasnya airmata yang terus menetes di jemarinya. Ia bingung. Kenapa mama marah? Bukankah bagus jika ia dipercayai untuk mengambil beasiswa? Ia lalu duduk di depan cermin, merapikan rambutnya, dan menghapus airmatanya.
Ia sempat terdiam memandangi refleksi dirinya. Sebagian dirinya ingin sekali menyerah, namun bagian lain dirinya selalu mendukungnya untuk berusaha. Berusaha mendapatkan kepercayaan ibunya bahwa ia bisa menjadi jauh lebih baik dari kakak laki-lakinya. Dengan segala kekuatan yang ia punya, ia mencoba untuk tersenyum, melupakan kejadian yang baru saja terjadi. Ia lalu berbisik pada dirinya sendiri.
"Vere cantik, Vere kuat, Vere selalu berharga."Vere lalu bangkit berdiri, menghampiri tempat tidurnya, dan merebahkan diri di sana. Tubuh dan pikirannya terasa berat. Di saat-saat seperti inilah Vere butuh seseorang untuk menguatkannya. Katakanlah ia lebay, namun ia tak akan peduli. Hatinya memang mudah lelah.
Belum sampai semenit ia berbaring, handphone miliknya berdering. Tanpa melihat nama sang penelepon, Vere mengangkat telepon tersebut dan menyalakan mode speaker.
"Hai Ver, udah sampe rumah?"
Vere sedikit terkejut. Ia tidak menyangka Rei lah yang meneleponnya. Berusaha tenang, Vere berbicara sesantai mungkin.
"Udah. Lo?"
"Udah juga."
"Kenapa telepon?"
"Mau mastiin aja udah sampe rumah atau belum."
Vere merasakan pipinya menghangat. Ia tersenyum. Ah, dia rindu diperlakukan seperti ini. Dulu, percakapan ini selalu dilakukannya tiap malam, namun sekarang semuanya tinggal kenangan.
"Ver?"
"Eeh... iya kenapa?"
"Udah dulu ya, jangan lupa bales chat hehe. Bye"
Rei pun memutus teleponnya. Vere merasakan sensasi yang aneh. Kehadiran Rei yang secara tiba-tiba menghadirkan rasa baru di hatinya. Bukan suka, namun ia rasa ia senang dengan kehadiran Rei. Vere merasa terhibur dengan kehadiran Rei. Ia rasa, rasa sakit hatinya tadi sedikit sirna terhapus rasa senangnya akan kehadiran Rei. Sebenarnya, Vere ingin sekali menceritakan apa yang baru saja terjadi kepada Rei. Namun, ia takut Rei bukanlah orang yang tepat. Ia takut dianggap lelucon. Bukan apa-apa, Vere hanya terlalu lelah dianggap lelucon.
Namun, sebesar apapun rasa senang Vere akan kehadiran Rei dalam dunianya, ia tak mau Rei tinggal lebih lama.
Vere lalu menutup matanya. Seperti berbohong pada dirinya sendiri, Vere berbisik dalam hati.
Gue harap dia cuma angin lewat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf.
Teen FictionMelalui sepenggal kisah yang penuh genangan airmata, sebatas luka dalam ruang kehampaan, dan sepercik harapan yang tertiup angin di kelamnya malam, Ia mengaku ia lelah.