Do I Know You?

469 40 6
                                    

Tangan. Tangan yang berdarah. Wajah yang dipenuhi luka gores, dan memar di setiap sudutnya. Rambut berwarna pasir, senyum dari bibir yang terluka, tatapan lega yang menusuk tatapannya sendiri.

“Kagura,” panggilnya lembut. Tangannya yang berlumuran darah itu diulurkan padanya. Kagura memekik, mencoba meraih tangan itu sekuat tenaga. Tapi mereka terlalu jauh. Teriakan Kagura seperti tidak bersuara. Tapi pria itu sepertinya mendengarnya dengan baik.

Pria itu tersenyum tulus, memotong jarak mereka dengan mencengkeram tanah, merayap dengan bagian tubuh yang tercerai berai. Teriakan Kagura memohon, tapi tanpa suara. Pria itu menatap Kagura dengan senyum di matanya, yang kemudian menjadi kosong seketika.

Kagura bangun.

Sambil menyadari bahwa ia berkeringat sangat banyak, dan menyadari bahwa ia bangun di sebuah ruangan yang asing—oh, bukan. Ini adalah rumah tinggalnya yang baru. Kagura bangun dengan tubuh yang panas tidak nyaman. Kenapa, ya?

Kagura mencoba mengingat-ingat mimpinya. Hm. Ia kemudian menyerah. Potongan-potongannya tidak teringat lagi. Memang dia tadi mimpi apa sih?

Menghela napas kecil, Kagura menyalakan lampu dan berniat untuk membasuh tubuhnya dan mulai sarapan.

Kagura sedang mengepaki buku-bukunya saat ia ingat ia harus membangunkan Sakata Gintoki atas permintaan istrinya, Sakata Tsukuyo yang sudah berangkat belanja setengah jam lalu. Kagura menarik kotak sepatunya mendekat. Ah, ia bahkan belum mengeluarkan sepatu-sepatu dari kotaknya.

Sambil berdecak, melirik jam tangan di pergelangan tangan kirinya, lalu membuka pintu geser dengan secepat dan selembut mungkin, ia kemudian masuk ke kamar utama apartemen (*pondok) kecil itu dan menemukan pria berambut keriting yang masih tidur pulas.

“Sakata-san,” panggil Kagura cepat. “GIN-CHAN!” teriak Kagura dengan suara monsternya. Pria itu langsung membuka matanya yang masih merah dan menatap Kagura horor. “Tsukki memintaku membangunkanmu! Kau ada kerjaan!” kata Kagura dengan suara yang diperjelas.

“Ah...benar,” Gintoki melirik jam di dinding. “Lima menit lagi,” katanya dan kembali tidur.

“Tsukki akan membunuhmu jika dia pulang dan melihatmu masih tidur! Dia sudah pergi setengah jam, aru,” kata Kagura kemudian, dan Gintoki terperanjat bangun. “Sekarang aku akan pergi untuk mengurus organisasi kampus, oke? Gin-chan jangan tidur lagi, aru, ya!” ucap Kagura tajam.

Gintoki menguap dan mengusap perutnya. “Baiklah, baiklah, Kagura. Pergilah sana,” kata Gintoki. “Hati-hati,” kata pria itu sambil bermanuver untuk menghindari bantal, dan memaksa tubuhnya benar-benar bangun.

Kagura tersenyum tipis dan berlari keluar setelah menyaut payungnya. Di tangga di luar apartemen, ia berpapasan dengan Catherine yang menyapanya, lalu ia melompati tiga tangga terakhir saat sadar ia belum menatap rambutnya. Ah. Peduli setan.

Dengan sebuah karet yang ia temukan di sakunya, Kagura mengikat rambutnya tinggi ke belakang dan berlari di trotoar yang ramai di pagi hari. Matahari muncul dari balik awan, dan Kagura membuka payung mataharinya.

Di pemberhentian bus, Kagura menghela napas kecil. Tokyo University cukup jauh jaraknya dari Kabuki-cho. Meski harus bangun lebih pagi, Kagura merasa itu bukan masalah. Kagura sudah biasa berlari, dan ia sudah cukup senang dengan rumah yang sekarang ia tinggali.

Sebenarnya, Kagura masih muda. Sekarang ia masih 20 tahun, dan diterima pascasarjana di TU dengan beasiswa khusus. Dengan berbekal Bahasa Jepang yang fasih dan kemampuan adaptasi yang tinggi, Kagura meninggalkan kampung halamannya.

Lagipula, kehidupan di Jepang tidak beda jauh dengan di China, pikirnya. Saat pintu bus terbuka, Kagura menunggu semua penumpangnya turun, baru ia naik di tangga masuk bus. Tapi tiba-tiba seorang pria secepat kilat hampir menabraknya saat berpapasan dengannya untuk turun.

Karena itu, tas Kagura tertarik mundur dan gantungan kuncinya lepas. Gantungan kecil berbentuk anjing kecil berwarna putih di dalam bola transparan itu jatuh ke trotoar. “Ah!” Kagura segera sadar, tapi saat ia akan turun, pintu bus sudah bergerak menutup.

“Pak, sebentar!” ucap Kagura, tapi kemudian ia melihat seorang pria mengetuk pintu bus yang sudah akan berjalan. Pintu bus terbuka lagi. Seorang pria terengah-engah masuk dan melewati Kagura yang berdiri terpaku di sana.

“Terimakasih sudah berhenti, Pak,” kata pria itu dan langsung duduk setelah menscan kartu di dompetnya. Bus berjalan lagi.

“Eh?” Kagura sadar ia harus mengambil gantungan kunci kesayangannya itu! “P-Pak tolong berhenti sebentar—”

“Nona,” pria yang baru masuk tadi memperlihatkan gantungan kunci Kagura menggantung di antara jemarinya. “Kau tadi menjatuhkan ini,” ucapnya.

“Sadaharu!” Kagura memekik senang dan menyerobot gantungan kunci kesayangannya itu dari tangan pria itu. “Terimakasih, Sougo!” kata Kagura senang. Ia memperhatikan gantungan kesayangannya itu saat ia kemudian tersadar.

Pria itu sangat kaget dan kemudian langsung berdiri. Dengan sebuah senyum heran dan kaget, pria itu menatap Kagura. “Apa aku mengenalmu?”

Keduanya bertatapan heran satu sama lain. Kagura mengerjap. “...darimana aku...tahu namamu...?”

.

Yap itulah chap 1 yang Author janjikan. Lanjutannya tungguin yaa~

Her DreamsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang