#1

9 0 0
                                    

Deburan ombak dan percikan air laut membelai wajah lembut Anna. Aroma asin sudah menyapa sejak awal dia memasuki wilayah pantai tadi. Matahari yang nampak mulai menghilang di ujung kiri lautan, memberikan bias orange keemasan yang sangat memukau. Anna mengalihkan atensinya ke sisi kanan, merasa ada sepasang mata yang setia menatapnya, tajam.

"Hahaha, Mas Dipta bisa berhenti natap saya sekarang." ujarnya diselingi dengan kekehan. Lawan bicaranya pun masih setia dengan kebungkamannya. Suara ombak memecah tawa Anna yang mengudara.

"Serius, Mas. I'm okay, no need to be worry. Itu sudah cukup lama terjadi, dan saya sudah mulai bisa berdamai sedikit demi sedikit. Jangan jadikan itu beban untuk pikiran Mas, ya." imbuh Anna kembali meyakinkan Dipta.

"Ekhemm, ekhemm," gumaman Dipta mencoba menyamankan kerongkongannya yang terasa tercekat.
Berawal dari ia yang sangat penasaran kenapa Anna begitu menyukai pantai, mengalirlah cerita yang baru saja usai Anna utarakan. Sedikit cerita kehidupan Anna yang terdengar begitu rumit dan pilu untuk dirinya.

"Tck, c'mon Mas Dipta. Jangan bikin suasananya jadi canggung gitu dong. Harusnya saya ga cerita, malah jadi ga enak gini kan, hahaha." Anna masih setia dengan kekehannya, mencoba mencairkan suasana.

"You doing great, Anna. You're amazing women I've ever met, saya bangga sama kamu." akhirnya suara Dipta kembali, menuai kalimat penuh pujian untuk perempuan di hadapannya ini.

"Heh, udah. Saya paling ga bisa kalau dipuji. Dahlah balik aja kita, udah mau gelap ini." Anna berdiri, menepuk belakang pakaiannya yang dipenuhi pasir karena duduk tanpa alas. Diikuti dengan Dipta yang juga bangkit. Akhirnya mereka kembali sebelum matahari benar-benar menghilang di ujung sana.

Begitu sampai di mobil, Anna kembali membuka suara.

"Makanya, sebenarnya saya sangat berharap Mas Dipta menolak perjodohan ini dari awal. Tapi yah, nasi sudah menjadi bubur. Saya mohon kerjasama Mas saja untuk memberi waktu dan izin agar kita sekadar menjalin tali pertemanan." tangan Dipta yang hendak memutar kunci menyalakan mobil terhenti.

"Saya ditolak secara halus ya ini," Dipta tertawa.

"Eh-eh, ngga gitu Mas. Kan, Mas Dipta mah bisa banget bikin saya merasa ga enak." ujar Anna panik.

"Hahahaha, iya Anna. Saya cukup paham kok dengan maksud kamu. Saya senang loh kamu mau sedikit cerita seperti tadi, setidaknya saya tidak perlu menebak-nebak lagi alasan apa yang sebenarnya menjadi penghalang kamu. Umm, pertemanan? I think it's fair enough." jawab Dipta sembari mengarahkan mobilnya untuk ke luar dari kawasan pantai, berjalan kembali ke kota.

"Lagian saya heran, Mas Dipta apa iya ngga punya pacar? Kerjaan udah settle, rumah ada, baik jangan ditanya, ganteng lagi." suara Anna kembali mengisi keheningan di antara keduanya.

"Ini kamu puji saya?" tanya Dipta mengalihkan pertanyaan utama Anna.

"Ya, anggap saja begitulah." jawab Anna tidak ingin memperpanjang.

Dipta tersenyum, "Ya, saya sih belum pengen juga. Masih sibuk ngurusin hal lain, jadi ga ada kepikiran ke arah sana. Orang tua saya juga fine-fine aja."

Anna menganggukkan kepalanya, tidak ingin bertanya lebih lanjut. Karena ia rasa itu sudah ranah privasi Dipta.

Dipta sesekali melirik ke arah Anna, batinnya terusik. Merasa begitu terkejut di balik sosok tangguh Anna yang ternyata menyimpan begitu banyak hal. Yang ia tahu sekarang adalah bahwa Anna bukan seorang yang terbuka bahkan di keluarganya. Dari secuil ceritanya yang itupun Dipta yakini sangat dipilah sebelum diutarakan padanya.

"Kamu kapan balik ke Jakarta?"

"Besok pagi, Mas. Saya sengaja ngga ambil cuti." jawab Anna dibalas anggukan Dipta.

Ya, Anna memang bekerja di ibukota sebagai budak corporate, dan sekarang sedang kembali ke Semarang untuk menyelesaikan perihal "perjodohan" itu. Ide gila yang diusung Neneknya, membuat Anna mau tak mau harus kembali lagi ke tanah kelahirannya ini.

"Mas Dipta kalau lagi main ke Jakarta kabari aja, nanti kita ketemu di sana. Itung-itung menyambung tali silaturahim." Dipta mengulas senyuman mendengar perkataan Anna.

"Iya, nanti dikabari. Besok mau dianter ke stasiunnya? Mumpung saya nginep di rumah orang tua saya. Sekalian jalan ke rumah sakit." tawar Dipta yang dibalas gelengan keras Anna.

"Nggak, Mas. Makasih loh tawarannya, nanti kalau simbah tahu Mas Dipta anter saya, bisa tambah dicecer saya. Saya biasa sendiri kok." tolak Anna.

Rumah orang tua Dipta dan kakek nenek Anna memang bersebelahan, dari situlah Neneknya mendapat ide untuk menjodohkannya dengan Dipta. Hanya karena Neneknya sering bertemu Dipta ketika ia berkunjung ke rumah orang tuanya. Gila bukan? Bagi Anna ini sangat gila, bahkan ketika menerima telfon dari Neneknya memberitahukan perihal ide perjodohan ini membuat Anna seketika kehilangan kata-kata. Sampai akhirnya ia mengiyakan permintaan Neneknya untuk segera pulang.

"Saya kira Mas Dipta itu pendiem loh orangnya, ternyata seru juga diajak ngobrol."

"Hahahaha, itu karena nyambung aja ngobrol sama kamu. Aslinya pendiem ini," ujar Dipta berkilah.

"Pendiem dari mana, orang sering isi seminar juga kan. Pasti banyak omong sih." ucapan Anna sukses mendapat atensi Dipta. Yang ditatap hanya mampu menepuk bibirnya sendiri, tertangkap basah.

"Kamu kepoin saya?" tanya Dipta heran, masalahnya mereka berdua hanya pernah bertemu beberapa kali dulu, itupun hanya saling tegur sapa tanpa ada obrolan. Dan Dipta sama sekali belum menceritakan secata detail mengenai pekerjaannya.

"Anna," panggil Dipta kembali ketika Anna tak kunjung menjawab, malu mungkin.

"Uhm, bagian dari riset sebelum bertemu dan ngobrol sih lebih tepatnya. Bukan ngepoin, maaf kalau lancang." Anna meringis, takut jika Dipta merasa risih dengan dirinya karena terlampau ingin tahu.

"No, it's okey. Hanya bagian dari pekerjaan, jadi harus mengimbangi audience saja. Selebihnya saya sangat jarang ngobrol di luar pekerjaan." tutur Dipta membuat Anna sedikit lega.

Sisa satu setengah jam perjalanan mereka hanya diisi oleh suara radio dari mobil. Tidak ingin mengulik lebih dalam antara satu sama lain membuat keduanya memilih untuk bungkam. Sampai akhirnya, mobil Dipta memasuki pekarangan rumah Kakek Nenek Anna.

"Sekali lagi terimakasih banyak ya Mas Dipta untuk hari ini. Nanti saya akan jelaskan kesimbah mengenai keputusan kita." ucap Anna sembari melepaskan kaitan seatbelt dari tubuhnya.

Dipta membalas dengan senyuman, "Terimakasih juga Anna. Semoga perjalanan kamu besok lancar sampai Jakarta ya."

"Aamiin, terimakasih, Mas. Selamat istirahat, selamat malam Mas Dipta. Assalamualaikum." Anna menutup pintu mobil begitu Dipta menjawab salamnya. Memasuki rumah ketika memastikan mobil Dipta sudah memasuki pekarangan rumah kedua orang tuanya.

"Akhirnya semuanya berlalu," batinnya lega.



***

Sejenak tempat yang nyaman
'Perantauan'
Aug 2023

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 20, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Yang Jatuh Dan TenggelamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang