Ketika Mai Pulang Ke Rumahnya

6.5K 180 1
                                    

Mai lelah. Hatinnya diliputi segunung kekesalan. Bagaimana tidak? Ia setiap hari harus membersihkan rumah Sarah. Dari mulai masak, menyapu, mengepel, mencuci piring, membuat kopi, berbelanja dan kadang menjaga anak-anaknya jika suaminnya tak dirumah.

Yang lebih membuat Mai mengantongi duri dalam dalam dada adalah ketika Sarah memintannya untuk menggantikan Sarah memberi les pada anak didiknya. Padahal dulu, sering dimarahi jika murid lesnya sudah datang sementara gadis itu masih dikampus. Mana mau ia menggantikannya barang sebentar.

Ia sungkan untuk ijin neneknya jika ada mata kuliah pagi. Padahal niatknya menumpang di sana kan untuk kuliah. Kenapa seolah-olah ia adalah pembantu mereka. Mereka akan marah jika gadis itu tidak mengerjakan tugasnya.

Semakin hari gadis itu juga sering kena luapan marah si Sarah. Jika perempuan bermata sayu itu sedang bertengkar dengan suaminya. Mai ataupun neneknnya akan menerima sikap pedas dari Sarah.

Gadis itu ingin sekali pulang selama sebulan jika kampusnya libur. Kebetulan sebentar lagi. Ada binar dimatannya. UAS nya akan selesai bulan ini.

Setiap mahasiswa berhak menerima libur selama dua bulan. Gadis itu memutuskan untuk liburan selama satu bulan di kampungnya. Sisanya ia harus kembali ke kota. Untuk mengajar les privat tetangganya.

Mai pun pamit pada nenek dan kakeknya. Wajah Sarah nampak masam saja pada Mai.

"Loh ... kamu pulang Mai?"

"Iya, Mbak. Libur dua bulan." Mai berada diujung dapur. Ia sedang memasukkan barang apa saja yang akan dibawannya.

Sarah membuatkan susu untuk anak-anaknya. Rambut dan bajunya berantakan. Tanda perempuan itu baru bangun dari tidurnya. Pemandangan yang biasa bagi Mai. Jarang, Mai melihat Mbaknya itu berdandan rapi, meski keluar rumah untuk mengajar sekalipun. Pakaiannya tak pernah dilihatnya rapi. Memang bukan maksudnya mengomentari kehidupan Sarah. Tidak tau mengapa Mai merasa mungkin karena alasan Sarah yang jarang memperhatikan diri membuat sang suami acuh tak acuh padanya.

"Ow ... libur."

Mai yang mengangkat tasnya yang berisi buku dan oleh-oleh, juga baju untuj ia kenakan di sana. Ia mengiyakan saja. Lantas gadis itu menambahkan.

"Tini, sepupu saya juga habis melahirkan Mbak. Jadi saya di suruh menemaninya. Suaminya kerja diluar kota."

"Ow. Iya Mai. Kamu hati-hati."

Sikap cuek Sarah, membuat gadis itu kesal sendiri. Merasa kalau Sarah dan neneknya tidak suka jika gadis itu pulang. Memang apa salahnya jikalau hendak melepas rasa rindu pada keluarganya. Lagi pula mereka juga tidak mengaji Mai, yang sudah membantu pekerjaan sehari-hari mereka tanpa membantah.

Dengan membawa tasnya yang lumayan berat itu. Mai menyusuri jalanan ke arah jalan raya. Tulangnya seakan menempel, dan bersatu dengan jalanan. Alas Sepatunnya sudah semakin menipis.

Gadis itu semakin kusam saja. Banyak jerawat pula di wajahnya. Cuaca yang panas membakar kulitnya, melunturkan bedak kantongan yang ia beli tiga ribuan ditoko tetangga.

Bajunya pun itu-itu saja yang ia pakai. Mai sebenarnya juga jengah dengan alur hidupnya yang membosankan. Meskipun begitu,l ia tetap bersyukur masih diberi kesempatan untuk menimba ilmu di kota itu. Ia harus sedikit bersabar saja sampai ia lulus dan mendapat pekerjaan.

Ingin juga dirinyapunya sepedah motor. Supaya tak perlu jalan kaki. Tapi mana mampu ia membelinya dikondisi seperti ini.

***
Mai sudah hampir dua minggu di rumah. Ia merasa bebas di rumahnya. Tidak ada lagi yang menggerutu ketika ia bangun siang. Bahkan ibunya yang masak. Mai tinggal makan. Tapi gadis itu juga tetap membersihkan rumahnya. Cuma ia tidak perlu mengepel. Lantai rumahnya masih tanah.

Setidaknya ia tidak perlu sungkan jika melakukan apapun di rumah sendiri. Bebas bisa membantah, jika orang tuanya memintanya mengerjakan pekerjaan rumah tanpa dibantu. Benar kata orang 'rumahku adalah surgaku', tak akan ada yang mencelannya jika ia bermalasan dirumah sendiri.

Ketika pukul sepuluh ia hendak terlelap dalam tidurnya. Seseorang menelponya. Itu nomor tak di kenal. Gadis itu was-was. Takut ia tertipu lagi jika ada nomor tak di kenal menghubunginya. Ia pernah tertipu uang 200 ribu. Hanya karena di iming-iming dapat uang 185 juta dari operator gadungan. Ia jadi lebih berhati-hati.

"Iya. Halo."

Suara laki-laki terdengar.

"Ini siapa?" Mai yang hanya mendengar seorang laki-laki sedang mengobrol dengan temanya.

"Hallo Mai. Ini aku."

"Iya. Siapa?" Mai merasa kesal.

"Aku ... apa kamu nggak kangen sama aku?"

"Ini Om Darto ya? ada apa Om? Kakak sedang tidak ada di rumah," sahut Mai yang ia kira si penelepon adalah Om Darto.

"Bukan Mai. Aku Surya. Menantunya Nenek Darmi."

"Iya. Mas, ada apa?" Mai langsung to the point saja.

"Kamu nggak nyari kerja? nggak kangen sama aku?"

Mai tertawa ketika Surya menyebut kata 'kangen'. Surya pintar sekali bercanda padanya.

"Hehehhe. Enggak sama sekali Mas. Mai ingin liburan di sini." Mai tidak perduli dengan candaan laki-laki itu. Ia yakin jika Surya menghubunginya karena ada tawaran kerja. Tapi sedari tadi Surya diam saja. Mai jadi merasa aneh. Ditutupnya telpon itu.

Ia pun di tanyai oleh sang Bapak yang berada di kamar sebelah. Karena dekat. Jadi Bapaknya pasti mendengar. Sementara sang Ibu sudah terlelap.

"Siapa Mai?"

"Itu Pak. Suaminya Mbak Sarah."

"Ada apa telpon kamu?"

"Enggak tau. Mungkin mau ngasih kerjaan."

Mai menjauhkan hpnya ia hendak tidur lagi. Tapi ada satu pesan masuk. Itu dari nomor yang menelponya tadi.

From:085xxxxxxxxx

Sudah tidur?

Mai yang membacanya pun kesal. Tidak percaya kalau itu Surya. Ia pun membalas.

From :Maisayangku

Ini siapa?jangan ngaku-ngaku jadi Om Surya.

From:085xxxxxxxxx

Loh beneran Mai. Ini aku Surya. Menantunya Nenek Darmi. Kamu sudah tidur?

Mai tidak lagi menggubris pesan itu. Ia lebih memilih tidur. Padahal hp nya berdenyut-denyut. Ada lima panggilan tak terjawab dari nomer yang sama.

***

Siti Maimunah  (END+ Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang