Clara Bella

12 0 0
                                    

Clara Bella

"Bella, lihat ini." Clara mengayun-ayun Daisy putih ditangannya, rambut pirang sebahunya berayun diterpa angin. Wajahnya yang jenaka tak pernah kehilangan rona bahagia. Mata hijau zamrutnya seakan berkelakar setiap gadis periang itu bicara.

Ia berlari menyusuri padang bunga sambil tertawa. Terengah-engah Clara memarahi sahabatnya, "Kau harus dihukum! Membiarkan putri Bangsawan sepertiku berlarian telanjang kaki, dimana tata kramamu!"

Bella terkesiap mengadahkan wajah sayunya. Ia memiliki rambut yang sama pirangnya dengan Clara, hanya saja ia lebih panjang dan bergelombang. Matanya kecoklatan seiras dengan bintik di wajahnya. Untaian bunga yang ia rajut untuk dijadikan tiara terjatuh dari tangannya.

Clara tertawa terpingkal-pingkal melihat reaksi sahabatnya. "Aku hanya bercanda, kenapa kamu begitu kaget." Ia mengibas-ibaskan tangan ke udara lalu menyerahkan beberapa tangkai Daisy untuk dirangkai.

"Kau kejam Clara! Aku takut setengah mati tadi, kukira itu serius." Bella bersungut-sungut menerima bunga dari tangan Clara, ia menggabungkan dengan untaian yang sedang ia kerjakan. "Selesai." Ucapnya puas.

Mereka mengenakan tiara berhias bunga warna warni di kepala, saling bergandeng tangan pulang ke rumah.

***

Clara dan Bella sudah bersahabat sejak kecil, rumah mereka tak begitu jauh. Hanya sekitar 3 hektar saja. Clara adalah anak dari peternak tersohor di desa. Bukan karna hewan ternak mereka banyak. Tapi karna keramahannya, orang tua Clara dihormati.

Bella, hanya anak seorang penanggung jawab istal kuda milik orang tua Clara. Ayahnya sudah mendedikasikan hidup dan jiwanya untuk peternakan ini saat masih dipegang oleh kakek dan nenek Clara. Setelah mereka wafat, orang tua Clara menjadi pemiliknya.

Kesenjangan kasta diantara mereka bukan penghalang persahabatan yang telah terjalin belasan tahun. Clara dengan senang hati duduk bersama keluarga Bella meski hanya beralaskan jerami kering yang dipilin dan disamak menjadi alas. Begitu juga ia tak pernah malu menggandeng Bella masuk ke dunianya, dunia orang-orang berdarah biru. Ia akan menyalak ketika ada anak-anak lain yang menyebutnya 'si cantik dan si buruk rupa', mengejar mereka dengan sapu ditangan. Fisik Bella memang tidak sempurna, ia pincang sejak lahir.

Bahkan Clara merajuk seminggu penuh hanya demi bersekolah bersama Bella. Ia membagi apapun yang ia punya kepada sahabatnya. Ketika musim penghujan tiba, Bella selalu menginap di rumah Clara, mereka saling bercerita satu sama lain, sesekali mereka berteriak histeris saat petir menggelegar di langit. Berjingkat masuk kedalam selimut dan menghabiskan malam bersama.

Pernah suatu kali Bella sakit keras, ia memang sudah sakit-sakitan semenjak kecil. Clara enggan beringsut dari tepian ranjang tempat Bella berbaring meski diseret oleh pengasuhnya.

Clara dan Bella tak terpisahkan.

***

Suatu hari penduduk desa panik, salah satu penduduk menghilang, Bella. Tak ada yang tahu kemana gadis itu pergi, bahkan Clara terus menggeleng sambil terisak ketika ditanya. Orang tua Clara berjanji akan mencari Bella sampai ketemu, mereka membayar detektif swasta untuk mencari keberadaan Bella.

Semenjak hilangnya Bella seminggu yang lalu. Clara lebih banyak diam, ia tak banyak bicara, rona jenaka dimatanya seolah padam. Rumah itu seakan kehilangan cahaya mereka, tak ada lagi kegaduhan dan keisengan yang dibuat Clara. Ibu dan Ayah memandang khawatir putri mereka.

Clara kini lebih banyak menghabiskan waktu mengunci diri di dalam kamar, membaca buku atau sekadar diam merenung. Tubuhnya lunglai, berat badannya turun drastis.

***

Bibi Matilda datang berkunjung, ia membawa beberapa bibit murbei ungu dan bibit bunga daisy untuk keponakannya. Ia berharap hal itu dapat menjadi suatu penghiburan

"Dua hari lalu aku melihat Clara di kota, kalian berkunjung kenapa tidak berkabar dan mengunjungiku, sekadar menyesap teh camomile?" Tanya Bibi Matilda saat ia dan kedua orang tua Clara duduk di ruang baca menikmati manisan dan secangkir kopi.

"Kami tidak pergi kemanapun, Matilda. Agaknya Clara masih enggan keluar kamar sejak Bella menghilang, ia bisa seharian berada disana, hanya turun untuk makan malam." Ibu menatap Bibi Matilda keheranan. Ia menoleh ke arah suaminya seolah meminta pembenaran akan perkataannya.

"Kau yakin itu Clara, anak kami?" Sahut Ayah.

"Ya, tentu saja aku yakin. Mataku ini masih awas, bahkan serigala dipuncak gunungpun masih terlihat, apalagi keponakanku sendiri." Jawab Bibi Matilda meyakinkan Ayah dan Ibu. "Ia menenteng dua jerigen yang entah berisi cairan apa, ia membawa kereta kuda sendiri, kuda coklat dengan rambut di-trap." Lanjutnya.

Ibu dan Ayah berhadapan saling pandang. Mereka yakin ciri itu milik Cassandra, kuda poni milik Clara yang mereka hadiahkan saat ulang tahun ke lima.

"Kami tidak pergi kemanapun Matilda, tapi jika benar apa yang kau lihat, sepertinya kita harus memastikan apakah benar Clara ke kota dua hari lalu." Pungkas Ayah, ia meminta pembantu rumah tangganya untuk memanggil Clara, memaksanya turun bagaimanapun caranya.

***

KYAAAAAA...

Suara teriakan histeris membahana diseluruh rumah. Pembantu rumah tangga berhamburan ke kamar Clara, ada yang terkesiap berdiri mematung dengan mulut menganga, ada yang terjerembab jatuh duduk dilantai bahkan ada yang pingsan.

Handel pintu kamar Clara rusak dihantam kapak besar milik penjaga rumah. Saat pembantu yang ditugaskan memanggil nona muda rumah itu tak juga mendapakan hasil. Sedangkan sang tuan memaksa dengan tegas. Ia tak mau pekerjaannya yang dijadikan taruhan.

Ayah, Ibu, dan Bibi Matilda tergopoh naik kelantai dua. Ayah memegang tembok kamar, pijakannya gontai, jantungnya mencelos sempurna. Ibu terjatuh di lantai menangis tersedu-sedu. Bibi Matilda memekik tertahan.

Apa yang mereka lihat dikamar Clara begitu mengejutkan. Pijakan mereka seolah limbung seperti dihantam gempa bumi, gemuruh didada mereka saling mendebur satu sama lain, menciptakan aura kengerian yang terpancar dari sorot mata.

Clara mengerjapkan mata tanpa ekspresi. Ia masih sibuk dengan sisir dan pita berwarna burgundy, warna kesukaan Bella.

Botol-botol kosong bertulisakan formalin bergeletakkan di sudut kamar. Entah berapa banyak.

***

Tiga belas tahun yang lalu. Saat ulang tahun Clara yang kelima.

Gadis kecil itu menangis tersedu saat mendapati kelinci kesayangannya mati, meski Ayah dan Ibunya mengantikan dengan seekor anak kuda poni cantik berwarna coklat dengan ekor warna senada yang bersinar ketika terkena cahaya matahari.

Gadis itu tak berkawan, ia dijauhi oleh anak sebaya disekitarnya karna ia anak kaya. Ia tak pernah bisa bergabung dengan anak kaya lainnya, ia tau ia berbeda. Tak seperti bangsawan kebanyakan.

Clara bersandar dibatang pohon oak tua ditepi batas peternakan Ayahnya. Ia mengusap sisa-sisa airmata di pipinya. Ia menoleh ketika ada tangan mungil mengetuk-ketuk bahunya, seorang anak gadis sebaya dengan rambut coklat berkepang dua.

"Ini, jangan menangis lagi." Anak itu menyodorkan murbei berwarna ungu masak di tangannya. "Namaku Bella, aku juga tak punya teman, mau berteman denganku"

Clara meletakkan kelincinya yang telah mati ketanah. Menyeka kedua tangannya digaun sifon putih berenda. Ia menerima murbei ungu dan memberikan balasan sebuah senyum lebar.

"Ayo kita kubur sahabatmu itu sama-sama."

Gundukan tanah perkuburan kelinci kini rampung, berhias bunga warna warni yang mereka petik dari padang bunga dibelakang peternakan. Bella memetik Daisy putih dan menyematkan di telinga Clara. "Ayo kita bersahabat mulai sekarang, meski kematian datang, kita takkan terpisah"

Keduanya menautkan jari kelingking tanda sumpah persahabatan.

***

Selesai.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 12, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Clara BellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang