🌸🌸🌸
" Kamu... Sangat mirip dengan ibumu...!!"
Itulah kalimat selamat datang yang Hasan dapatkan dari Bu Linda, istri dari seorang lelaki terpandang yang kini disebut-sebut sebagai ayahnya. Hati Hasan benar-benar terluka. Pemuda tanggung itu hanya diam membatu sambil memegang kopernya ketika Bu Linda berbalik menuju lantai dua, meninggalkan Hasan dan Pak Hasan.
Ya. Ada dua Hasan. Hasan yang pertama adalah Hasan Gufron. Seorang pria berumur 38 tahun. suami yang baik. Hidup bahagia tanpa cela bersama istri dan kedua putrinya. Namun rumah mereka berubah menjadi seperti neraka sejak sebulan yang lalu, hanya karna sebuah email dari saudara kembar mantan pacarnya, 17 tahun yang lalu.
Bagai disambar petir, setelah sekian lama tiada kabar berita, kini ia harus menerima kenyataan bahwa ia punya seorang putra yang tampan. Ia sudah seperti orang linglung sejak menerima email itu. Dan saat ini, putra yang juga bernama Hasan berdiri tepat disampingnya.
"Pak Sap, antarkan Hasan ke kamarnya," teriak Pak Hasan. Muncullah seorang lelaki yang sudah mulai menua. Badannya tidak terlalu tinggi dan sedikit bongkok. Pak Sap tersenyum ramah menyambut Hasan. "Mari... Mari Nak," ucapnya sambil mencoba meraih koper dari tangan Hasan. Hasan mengelakkan tangannya hingga koper yang ia pegang bergeser. Menimbulkan suara gesekan yang memecah keheningan di rumah itu.
Pak Sap berusaha tetap ramah sambil berjalan mendahului Hasan. Pemuda itu mengikuti tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia begitu letih. Lelah. Dan marah.
Setelah ditinggal Pak Sap, di dalam kamar yang tidak terlalu besar itu, Hasan tertunduk. Pandangannya kosong. Kamar ini jauh lebih bagus dari pada kamar lamanya. BerAC pula.
Sebuah tempat tidur besar dengan seprai warna biru muda terpampang dihadapannya. Hasan menarik nafas panjang. Menjadi anak haram itu tidak menyenangkan walau dari orang kaya sekalipun. Hanya jadi aib. Hanya jadi masalah.
Hasan duduk di ujung tempat tidur. Ia meletakkan kopernya di sisi sebelah kanan, lalu membukanya. Benda pertama yang diambilnya adalah sebuah foto keluarga.
Tiga orang yang terlihat sangat bahagia. Seorang ayah yang duduk ditengah-tengah sepasang putra dan putrinya. Tak terasa mata Hasan kembali berkaca-kaca.
"Bagaimana aku harus memanggilmu setelah ini? Ayah, atau Paman?" batinnya. Lalu Hasan menyentuh gambar saudarinya. "Kau pergi terlalu cepat. Kau bahkan tidak tau kalau aku ini bukan adikmu," isak Hasan pilu.
Pintu berderik. Hasan dan seseorang yang berada dibalik pintu sama-sama kaget. Gadis kecil berambut kepang dua, memegang sebuah bantal berbentuk donat. Matanya terbelalak ketika bertatap muka dengan Hasan. Belum sempat Hasan berdiri untuk menutup pintu, gadis itu sudah melarikan diri.
🌸🌸🌸
Gadis kecil itu Chiki, si bungsu.
Ia lari terbirit-birit menuju kamar kakak perempuannya, Nadine, tanpa mengetuknya terlebih dahulu."Uni, uni, Uda tu lah Tibo...." (kakak.. Abang itu sudah sampai).
Terlihat seorang gadis belia yang masih mengenakan pakaian sekolah. Ada guratan kemarahan di matanya.
"Uni gak peduli. Biar saja." Gadis itu berbalik membelakangi adiknya, mengambil ponsel Lalu sibuk sendiri."Unii... Uni...." panggil Chiki.
"Sudahlah Ki, uni mau ganti baju. Keluar sanaa!" Si kakak mulai gusar. Ia berusaha mendorong adiknya agar segera keluar dari kamar."Tapi ni, dia menangis. Chiki kasihan ni," rengek Chiki. Ada kekhawatiran dimatanya.
"Ki, Mama juga menangis tiap hari gara-gara Uda itu. Chiki kenapa tidak peluk Mama saja, sana? Uda itu jahat. Dia bukan Uda kita. Kakakmu itu cuma Uni. Dia bukan siapa-siapa," jelas Nadine dengan suara lengkingnya. Kesal hatinya. Mengapa balita empat tahun ini tak faham juga kalau keluarganya sekarang sedang dalam masalah besar. Oh, benar dia masih terlalu kecil untuk mengerti. Yang ia tau, menangis itu pasti karena sedih.Nadine berlutut di depan adiknya, lalu dipeluknya Chiki sambil menahan air matanya. "Maafkan Uni, yaa? Sekarang pergilah ke kamar Mama. Mama juga sedang sedih. Coba Chiki hibur Mama," ujarnya lembut. Lalu Nadine melepas pelukannya. Membiarkan matanya mengawasi adiknya naik ke lantai dua. Setelah itu, Nadine kembali ke kamar dan menyambar ponselnya.
[Ya sudah, Aku tunggu di tempat biasa]
Begitu pesan singkat yang ia baca. Nadine bergegas mengganti pakaiannya dan pergi.
Chiki sudah di depan kamar orang tuanya. Tapi belum sempat ia mengetok pintu, suara teriakan Bu Linda sudah mengagetkannya terlebih dahulu.
"Jangan dekati aku, Pa! Anak haram itu yang keluar, atau aku yang pergi," pekik Bu Linda.
Tak ada jawaban dari Pak Hasan. Hanya isak tangis Bu Linda yang terdengar masih sesenggukan. Chiki mundur dan berbalik. "Donat, kenapa semua orang menangis? Kenapa tak ada yang peduli lagi pada kita?" bisiknya pelan sambil memeluk bantal donat lebih erat. Chiki mengusap air matanya. Lalu ia melangkah gontai menuju kamarnya sendiri yang juga berada di lantai dua.
🌸🌸🌸
Hasan mengunci pintu kamar. Ia langsung mencari tempat untuk meletakkan foto keluarganya. Setelah menemukan yang dirasa cocok, Hasan meletakkan foto itu dengan hati-hati. Kemudian, ia membaringkan tubuh di ranjang.
Ia mencoba memejamkan mata namun tak bisa. Hanya langit-langit putih yang ia tatap sambil kembali mengingat apa yang diceritakan Pak Hasan padanya selama di perjalanan dari Bandara Minangkabau menuju rumah mereka, di Aua Ateh, Bukittinggi.
(Flashback)
Perjalanan yang cukup jauh dan membosankan itu memaksa Hasan muda untuk pura-pura tidur. Kaca mobil sengaja dibuka Pak Hasan karena ia sedang merokok. Sambil menyetir, Pak Hasan terus saja merokok. Entah sudah berapa batang yang ia habiskan.
"Kamu tidur?" tanya Pak Hasan sambil melirik kaca spion. Hasan muda lebih memilih duduk di kursi belakang. Tidak ada jawaban. Sejak bertemu di pintu keluar bandara Minangkabau setengah jam lalu, belum satu patah kata pun keluar dari mulut pemuda tanggung itu. Entah seperti apa suaranya. Atau jangan-jangan, ia memang tak bisa bicara.
"Papa minta maaf untuk semua ini, anakku." Pak Hasan menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat-kuat.
"Kenapa mereka semua harus merahasiakan ini dari Papa. Papa benar-benar tak bisa membayangkan apa saja yg dilewati ibumu hingga akhir hayatnya."
Pak Hasan terdiam sejenak, menghisap rokoknya, kemudian melanjutkan.
"Anida, Ibumu, adalah perempuan tercantik yang pernah Papa temui seumur hidup Papa. Sampai sekarang, Papa belum bisa melupakan bagaimana perasaan Papa waktu tau cinta Papa dibalas olehnya. Oh Tuhan... Rasanya mau Papa panjat saja Jam Gadang waktu itu saking senangnya Papa, hehehe". Pak Hasan terkekeh. Sedangkan Hasan muda semakin mempertajam pendengarannya."Disaat semua begitu indah, kami saling mencintai, tiba-tiba ibumu menghilang. Tanpa sepatah kata pun, dia pergi meninggalkan Papa. Semua surat yang Papa kirimkan tak pernah dibalas." Suara Pak Hasan mulai berubah.
"Papa putus asa. Tak tau lagi mana siang mana malam. Sampai akhirnya, Papa dijodohkan dengan wanita lain. Wanita itulah yang menyembuhkan luka-luka di hati Papa. Bahkan Papa tak tau kalau Anida, ibumu, sudah lama meninggal. Hancur hati Papa mendengar dia meninggal saat melahirkanmu. Bagaimana dia melewati itu semua, sendirian...?"
Akhirnya tak terbendung juga. Air mata Pak Hasan pun tumpah membasahi pipinya.
Hasan muda yang diam mematung, berusaha menelan airmatanya.(Flash back end)
Dan entah sejak kapan rasa kantuk itu datang, Hasan pun tertidur lelap.
🌸🌸🌸
KAMU SEDANG MEMBACA
KELAM
Mystery / ThrillerDia dipelihara, tapi bagai dibuang. Dia disayangi, tapi juga dibenci. Darah yang mengalir di tubuhnya disebut-sebut sebagai darah kotor. Sekotor apakah? Terlahir menjadi anak haram bukanlah sebuah cita-cita. Tapi takdir. Takdir yang KELAM