Ada pepatah mengatakan, "Cinta pertama itu, sulit dilupakan".
Ya, memang benar. Aku setuju dan kini aku tengah mengalaminya. Lelaki berparas tampan, Raka, ialah cinta pertamaku. Yang datang tepat di masa putih abu-abu. Terdengar geli memang, atau ada yang menganggap, ah, itu hanyalah cinta monyet. Tapi aku tidak peduli, sebab aku yang merasakannya.
Maka saat peristiwa memilukan itu terjadi, aku seakan tertimpa langit berlapis hingga hancur berkeping-keping. Tidak percaya sama sekali dan terasa sakit sekali. Pun untuk melupakannya, sesuai saran Kak Arsyad, memang sungguh sulit. Apalagi jika berfikir lebih jauh tentang alasannya memutuskan begitu, yang sungguh tidak jelas, mendadak serta seperti mengada-ada. Ok, fine! Aku terima jika ia juga mengungkapkan kejelasan alasannya atau setidaknya memberi kode. But, ia tidak melakukannya sama sekali. Sungguh aneh bukan? Bikin pusing saja. Namun lagi-lagi sudut hatiku kembali berteriak, 'Hei, Vivi, Kau bukanlah perempuan yang lemah, yang akan langsung merunduk-tunduk terhadap sebuah tantangan atau peristiwa di depan mata. Kau harus berani menghadapinya, bahkan mengalahkan keberanian super hero sekalipun.'
Hingga detik ini, saat kehidupankui mulai terasa berbeda, akan kehadiran suasana baru di kota pelajar ini, ya, Jogjakarta. Kota dimana aku merasakan nafas kehidupan berbeda, semangat belajar berbeda, suasana hati berbeda dan segala macam perbedaan lainnya. Aku sungguh menikmatinya, meski segalanya harus berawal dari diri sendiri, atau lebih tepatnya ialah mandiri. Bisa dibayangkan, bagaimana kehidupanku sekarang, yang biasanya harus kuandalkan sama Ibu.
Jika kau bertanya bagaimana komunikasiku dengan sosok bernama Raka. Please! Stop, tak usah diteruskan. Hanya akan membukakan pintu luka menganga itu saja. Terlebih tatkala aku tengah menunggu Bus di halte. Lantas hujan deras membungkus kota. Ah, seperti kembali menampilkan slide demi slide peristiwa memilukan itu. Dan endingnya aku menjadi tak suka hujan. Mengapa demikian? Ya, sebab jika hujan turun, aku menatap bulir-bulir bening itu turun dari langit. Aku jadi mengingat sosok Raka.
Dulu, saat kami masih sekolah, kami memang penyuka hujan. Hujan, selalu saja menjadi bahan romantisme hubungan tanpa status kami. Selain karena sebuah alasan, bahwa hujan selalu mewakili nafas kehidupan. Ah, pokoknya banyak sekali peristiwa menyenangkan kala hujan turun. Dan semuanya di rusak oleh lelaki itu sendiri. Kini hanya menjadi kenangan tak bernyawa, terongkok kaku di antara lapis memori kehidupanku. Please! Lupakanlah, Vivi.
***
Oh, ya. Mungkin untuk sekarang biar kupenuhi kehidupanku dengan sosok lelaki jangkung itu, yang sudah kuanggap seperti Kakak sendiri. Siapa lagi kalau bukan Muhammad Arsyad Ibrahim.
Kak Arsyad juga kuliah di Kota Gudeg ini. Kampus kami berbeda, tapi tetanggaan. Sekarang ia sudah semester lima. Dan kesehariannya selain ngampus ialah bekerja di sebuah perusahaan surat kabar, bagian jurnalis gitu –katanya, sudah lumayan lama. Walaupun satu daerah dengannya, tapi kami belum pernah lagi bertemu. Walaupun sebentar atau sekelewatan. Jadi komunikasi kami hanya lewat sosial media, voice call atau telepon biasa. Dari mulai hal yang sepele, seperti cuma menyapa;
"Assalamu'alaikum, Vivi J" sapanya pendek.
"Wa'alaikum salam, Kak Arsyad," balasku.
Udah. Gitu aja, kalau lagi sama-sama malas. Tapi kalau kebalikannya, euh, bisa rame, jari-jariku sampai terasa keriting. Tak kenal waktu dan situasi. Karena salah satu keahliannya ialah sifat humorisnya itu. Membuat lawan bicara terasa dekat dan nyaman, juga mengundang tawa.
Bahkan terkadang ia mengirim pesan yang tidak penting, seperti ini;
"Hi, Vivi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi Hitam Dibalik Hujan
Fiksi Remaja(Part complete) Allah, maaf. Aku benci hujan. Bukan karena menolak keberkahan rezeki yang Engkau turunkan. Bukan pula menolak takdir yang sudah tergariskan. Sebab bukankah hujan ialah sumber kehidupan? Segala rezeki dan kehidupan tentram bermuara ka...