KELAM 8

285 28 0
                                    

" Baiklah, saya rasa sekaranglah waktunya menyampaikan amanat Almarhum." Pak Hotmantri sudah berdiri di ambang pintu sambil memegang sebuah tas.

semua barang-barang Hasan muda beserta sebuah motor besarnya sudah dibawa Pak Ujang ke ekspedisi pengiriman barang. Besok pagi, Hasan akan terbang ke Padang.

"Tak banyak yang Pak Anton tinggalkan." Pak Hotmantri berjalan ke ruang tengah, tempat Hasan dan Pak Ujang sedang menonton pertandingan sea games cabang bulutangkis ganda campuran.

Pak Hotmantri duduk bersila di sebelah Hasan. Sedang Pak Ujang memilih beranjak dan mengambilkan minuman.

Pengacara itu membuka tas berwarna hitam dan mengeluarkan beberapa surat. "Ada tiga properti yang almarhum tinggalkan. Rumah Ruko ini dan tokonya, Sebuah rumah tua di Cengkareng, dan sebuah kos-kosan 3 pintu di Bekasi. Semuanya masih dikontrakkan sampai sekarang." Sejenak Pak Hotman berhenti, diliriknya Hasan muda yang masih asik menonton. pandangannya fokus ke benda pipih itu.

"Hasan, kamu mendengar saya?" Pak Hotman membesarkan suaranya. Hasan mengangguk.

" Lalu seperti yang kamu tau, Almarhum hanya punya sebuah kijang Inova tahun 2014, dan dua buah sepeda motor. Satu Yamaha Mio tahun 2004, satunya yang kamu pakai sekarang, Ducati Panigale 1299 R tahun 2016. Dan terakhir, sejumlah uang di Bank dan Asuransi kematian miliknya dan Shuri yang belum dicairkan. Nanti saya jelaskan nominalnya."

"Rumah Ruko sudah atas namamu, Hasan Basri. Sedangkan yang dua lagi masih atas nama pemilik lama. Mobil dan motor masih atas nama almarhum." Jelas Pak Hotman. Ia sedikit jengah melihat Hasan muda yang seperti tak menaruh perhatian.

" Untuk rumah yang dikontrakkan di Cengkareng, biasanya disewakan pertahun. Tahun kemaren masih RP 25.000.000,- , jatuh tempo masih lama, 9 bulan lagi. Kalau di renovasi, sewa bisa kita naikkan."

" Kalau untuk kos-kosan, harga sewa per pintunya Rp 600.000,-. Nah, Almarhum selalu mengambil uang sewa kos-kosan untuk dikirimkan ke rekening ini." Pak Hotmantri menunjukkan beberapa bukti transfer via e-banking.

"Untuk Siapa?" Kali ini Hasan tertarik. Karena sepengetahuan dirinya, baik almarhum ayah maupun ibunya, sama-sama tidak punya kerabat. Ibunya, atau istri Anton hanyalah seorang yatim piatu. Makanya dari dulu, mereka tak punya istilah arisan keluarga, lebaran di kampung, atau semacamnya.

"Entahlah, atas nama Annisa Fittiya. Saya sudah menyangka nak Hasan akan bertanya. Jadi saya coba cari tau. Kelahiran Juli 1997. Berarti sekarang umurnya sekitar 21 tahun. Alamatnya di Padang." Jelas Pak Hotmantri.

"Siapa itu..? Apa mungkin pacar ayah?" Tebak Hasan.

" Pacar? Rasanya terlalu muda." Sela Pak Ujang yang tergopoh-gopoh membawa nampan berisi 2 cangkir teh hangat dan secangkir kopi pahit.

" Ayah belum 40 tahun. Masih muda Pak Ujang." Timpal Hasan tak terima.

" Iya sih Den.. Lalu siapa ya Den? Setelah ibunya meninggal itu, yang saya ingat Pak Anton cuma sekali pulang kampung lagi. Itu juga sendirian." Setelah bicara pak Ujang tiba-tiba merasa terlalu lancang. "Maaf Den." Sambungnya.

"Ga tau pak." Jawab Hasan. Ia menerka-nerka dalam hatinya. " Yang terakhir itu, ayah bilang mau ngapain gak Pak?" Tanya Hasan. Kadang ia geli dengan Pak Ujang yang terlalu sungkan.

Pak Ujang duduk ditempat semula. Menautkan alisnya mencoba berfikir. "Saya gak ingat Den." Jawab Pak Ujang dengan raut sedikit kecewa pada dirinya sendiri.

"Annisa Fittiya. Siapa?" Lagi-lagi Hasan muda bergumam.

" Nah, semua surat dan sertifikat mau saya kembalikan ke safe deposit box. Kalau nak Hasan mau balik nama, mau jual, atau perlu bantuan silahkan hubungi saya. Untuk sekarang saya sudah selesai." Pak Hotmantri menyeruput minumannya, namun tiba-tiba ia tersedak.

" Maaf pak itu punya saya." Pak Ujang segera menukarnya.

"Kalau soal balik nama nanti saja Pak. Saya ingin... Ganti nama!"

***

Pagi itu Bu Linda sudah sibuk memasak beberapa masakan sekaligus, tak seperti biasa. Ia dibantu Mak Apsah, istri Pak Sap. Hari ini 'anak itu' pulang. Setidaknya, Bu Linda berusaha menyambutnya walau batinnya masih sesak saat membayangkan suaminya pernah bercinta dengan wanita lain.

Nadine heran sekaligus muak melihat mamanya yang terlihat memaksakan diri. "Inikah cintaaaa...???" Batinnya. Ingin ia pergi keluar saja agar tak bertemu dengan pemuda yang akan merebut status 'sulung' dari dirinya itu. Tapi ia takut. Takut bertemu Erik yang setiap hari terus menerornya.

" Jam berapa anak Mama mau nyampe?" Seloroh Nadine. Diraihnya piring sarapan yang sudah disiapkan Bu Linda untuknya. Bu Linda yang faham sedang disindir langsung melirik tajam kearah putrinya.

"Kata Papa tadi pesawatnya jam 11.00, yaah paling lama nanti jam 02.00 udah dirumah." Bu Linda mencoba bicara sebiasa mungkin.

Chiki yang sedang sarapan sambil menonton film kartun tiba-tiba ikut nimbrung. "Uda itu datang lagi ya mah.." ujarnya sambil terus mengunyah.

Nadine yang tak mau adiknya dekat dengan si 'AHA' alias si anak haram langsung mengalihkan perhatian adiknya. " Sayang, makan itu duuuu...."
"Duuuuuk..." Chiki kembali ke tempat semula. Duduk di atas bantal donat.

" Mah.. anak Mama itu nanti sekolah di mana?" Lagi-lagi Nadine berseloroh. Tapi kali ini tak mempan.

" Ya sama.. di sekolahmu juga. Dia juga kelas XII loh. Disekolahnya juga dia juara terus. Awas aja kalo kamu kalah. Hahahaha." Entah kenapa Bu Linda malah tertawa dan merasa menang melawan Nadine.

Nadine yang kesal malah meninggalkan piringnya yang masih penuh.
" PAK SAP AYOK BURUAN.. UDAH TELAT.." Teriaknya.

"Tunggu tungguuu.. Chiki belum kelar inii". Adiknya yang masih sarapan langsung menyandang tas sekolahnya.

***

Erik yang sedang duduk dibelakang meja kerjanya, menatap ponselnya sedih. Apa salahnya hingga gadis yang ia inginkan itu terus mengabaikannya. Ia begitu merindukan Nadine yang sudah seminggu lebih tak terlihat wajahnya, tak tercium aroma rambutnya.

Ditatapnya foto gadis yang kini menghiasi layar utama ponselnya. Gadis itu tak memakai kerudung. Ya, jika sedang berkumpul bersama Erik, Winda dan yang lainnya, Nadine selalu melepas kerudungnya.

Pegawai Bank itu merasa dirinya pecundang. Baru kali ini ia merasa benar-benar jatuh cinta, namun dengan kejam gadis manis itu menolaknya.

" Aku harus sabar. Mungkin baginya masih terlalu cepat." Desahnya pelan. Lalu ia berdiri dan memasukkan kembali ponselnya kedalam kantong celana hitamnya. Ketika hendak meninggalkan meja, Erik menggapai sebuah papan kecil dan meletakkannya di mejanya. Tertulis di papan kecil itu sebuah kata. Istirahat.

"Makan dimana Rik?" Setengah berteriak, seorang pria yang mungkin seusia dengan Erik, juga mengenakkan seragam yang sama, menghampirinya dari belakang.

" Gue mau pulang. Masakan emak." Jawabnya sambil tersenyum simpul.

Setelah meninggalkan teman sekantornya yang tertawa mengejek, Erik melangkah santai se arah parkiran mobil, dan langsung tancap gas keluar area kantor.

Tapi anehnya ia tidak pulang. Ia malah memesan makanan di restoran cepat saji, lalu melajukan mobilnya ke sebuah sekolah.

Setelah memarkirkan mobilnya di area parkir sekitar sekolah, ia mematikan mobilnya dan mulai menyantap makan siangnya sambil menyapukan pandangannya.

Erik mendengus kesal sebab ia tak menemukan apa yang ia cari. Di ambilnya ponselnya, lalu dikirimnya sebuah pesan singkat ke sebuah kontak.

My Future

[ Aku di depan sekolah ]
[ Masih nungguin kamu..]
[ Yok makan siang bareng..]
[ Pliss...]

Ditunggunya beberapa saat. Pesan itu masih belum terkirim. 'Apa kontaknya terblokir?' Batinnya. Erik mulai gusar. Namun akhirnya ia menarik nafas dalam-dalam. 'Mendapatkan sebuah mutiara yang fresh memang harus menyelam sampai ke dasar laut' Batinnya.

Ponsel yang hampir saja ia banting, ia letakkan di dashboard. Erik kembali melanjutkan makan siangnya dengan santai.

***








KELAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang