Part 14

4.2K 206 2
                                    

Matahari sebentar lagi akan tergelincir, Ahmad memandangi sisa-sisa kegarangannya siang tadi. Sejak pagi, ia telah berjibaku dengan tugas-tugas tak resminya. Menjemput Sri di rumah, mengantar surat ijin tidak masuk pada pak Mahfud, dan perjalanan itu ia tempuh bermandikan peluh, tubuhnya sudah letih berpayung terik yang menyengat kulit.
Ia sampai di rumah Raden Kerta Kesuma tidak lama, sehabis rampung sholat ashar di mushola. Tiba di rumah Raden Kerta Kesuma, ia tak sabar untuk segera mengguyur penat. Ia pun lekas ke kamar mandi, membersihkan diri, lalu berganti pakaian.

Selesai menyegarkan kembali tubuhnya, ia lantas beranjak menuju halaman depan rumah.
Duduk di bangku teras, Ahmad mencoba meresapi jalan pikirannya sendiri. Ia masuk ke dalam tiap celah di kepalanya, mencari kebenaran yang mungkin bersembunyi. Namun upayanya gagal, semakin ia gali pikirannya, semakin jatuh ia ke dalam lubang kebuntuan. Maka ia pun beristighfar, lekas ia tersadar, tidak selamanya setiap masalah sanggup dipecahkan sendirian. Sebagaimana laku manusia, sudah kodratnya hidup saling bergandeng tangan, bahu membahu dan tak jarang berbagi apa saja, entah itu berupa kesenangan bahkan kesedihan.

Matanya menatap ke ufuk barat, tempat dimana sang surya nanti akan pulang.
Ditatapnya langit bagian barat, sebuah bulatan merah mengeliat-geliat menyilaukan. Sore akan berganti petang. Bangkit dari tempat duduknya, Ahmad bergegas masuk. Dihampirinya Basir yang tengah asik di halaman belakang. Rupanya laki-laki itu sedang menyiram tanaman.

"Kenapa paman masih disini, ini sudah hampir maghrib ?" Sapanya ketika ia sudah berdiri tepat di belakang Basir.
Orang yang diajak bicara menoleh, sedikit terkejut.

"Oh... belum selesai nak Ahmad. Ada perlu apa, apa Ndoro putri memanggil saya ?" Tanya Basir.

"Tidak paman, Ndoro putri tidak memanggil paman. Saya hanya sedang memeriksa dan menutup semua pintu dan jendela, kemudian menemukan paman di sini."

"Ada apa nak...?" Basir celingukan seolah dirinya tengah diintai oleh mata-mata musuh. Tapi, kemudian Basir kembali menatap lawan bicaranya, lalu melemparkan pertanyaan berikutnya.

"Apa yang orang tua katakan itu benar adanya. Bahwa...sandikolo jahat yang suka makan orang itu keluar pada waktu maghrib ?" Pertanyaan kedua ini ia katakan dengan nada setengah berbisik.

Ahmad mencium sebersit ketakutan  dari suara Basir. Maka, ia pun tersenyum simpul, sebelum memberikan jawaban. Ia hanya berusaha menghibur dan menyampaikan kesan aman.

"Sandikolo itu mitos, untuk menakuti anak-anak, paman. Tetapi, cerita legenda itu juga tidak sepenuhnya salah." Ahmad masih mengukir senyum di sela-sela perkataannya.

"Aku... aku semakin tidak mengerti nak Ahmad." Basir terbata-bata.

"Begini paman, cerita Sandikolo memang benar hanya karangan manusia. Tetapi, mitos tentang setan dan jin yang berkeliaran dan mengganggu manusia pada saat menjelang maghrib itu juga benar, karena di waktu-waktu tertentu, bangsa Jin dan setan akan diberikan kekuatan berlipat ganda untuk menganggu kita, umat manusia." Terang Ahmad.

Sebelum Basir bertambah pusing, Ahmad segera melanjutkan penjelasannya. Dan ia jelaskan secara gamblang.

"Tepatnya di waktu menjelang maghrib dan menjelang subuh, pada masa itulah kekuatan mereka bertambah, bahkan boleh dikatakan sedang dalam puncaknya. Oleh karena itu, kita sebagai umat manusia diwajibkan membentengi diri dan selalu mawas
diri paman."

Basir mendengarkan. Wajahnya tampak sungguh-sungguh memperhatikan penjelasan Ahmad. Sebentar lagi maghrib, diletakkannya wadah dari kaleng yang ujungnya bercorong, setengahnya masih berisi air. Ia tinggalkan begitu saja dan pergi meninggalkan Ahmad yang masih bergeming. Lalu Basir pun menoleh padanya.

Astral (Telah Terbit, Penerbit : Pustaka Tunggal Publisher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang