TOKK TOKK TOKK
"Sidang selesai Tuan Mark Tuan dan Tuan Park Jinyoung resmi bercerai."
Mark menundukkan kepalanya. Hancur sudah hancur, rumah tangga yang ia bangun selama 7 tahun telah berakhir. Semua kebahagian yang ia dapat kini hanya akan menjadi kenangan, semua kisah yang ia buat hanya akan menjadi prasejarah dengan judul 'Keluargaku'. Mark menyeka matanya, tak menyangka ia akan menangis seperti anak kecil yang telah kehilangan permennya. Mark menangis bukan karena ia terlalu cengeng, hanya saja ia telah menghianati hatinya untuk melepas bidadarinya.
"Kyungmin akan tinggal bersamaku, jadi kau hanya perlu mengirim uang untuk keperluannya setiap bulan sampai aku menemukan penggantimu." Mark mengangkat kepalanya ketika sebuah suara menyapanya dengan nada yang begitu dingin. Mark diam tak merespon yang ada di depannya. Hanya menatap dan membisu, sesekali Mark menarik napasnya lelah. Ingin sekali Mark memeluk tubuh mungil itu, ingin sekali Mark mengecup pipi gembul itu. Namun Mark segera sadar jika kini, Pria bertubuh mungil itu bukan lagi milknya. Sekarang ia adalah mantan istrinya tak lebih, yang telah menjadi orang asing yang mungkin akan membesarkan sebuah rasa kesal.
"Mark, eh maksudku Markssi. Kyungmin hanya boleh kau bawa seminggu sekali." Mark mengangguk, meski sempat kesal karena aturan yang ia dengar tadi, tapi sekali lagi ini demi anaknya dan mantan istrinya.
Pemuda itu, mantan istri Mark. Berbalik meninggalkan Mark yang masih duduk di bangku pengadilan. Sambil menggenggam tangan mungil di sebelahnya dengan erat. Yang hanya Membiarkan Mark memandang tubuhnya yang mulai menjauh.
"Jinyoung." pria itu, yang dipanggil menghentikan langkahnya. Jinyoung membalikkan badannya menghadap Mark yang matanya telah sembab. Mark berdiri berjalan mendekat ke arah Jinyoung, namun satu langkah saja Mark maju. Jinyoung menjauh darinya 2 langkah. Mark yang melihat itu menghentikan langkahnya, mengerti maksud Jinyoung yang tak ingin didekatinya.
Mark menarik napasnya pelan.
"Aku menerimamu jika kau ingin kembali." katanya dengan mata yang kembali berkaca-kaca, sungguh Mark sangat berat melepas semua orang yang ia sayangi.
Jinyoung yang mendengar itu sempat terkejut, dadanya berdenyut sakit. Seolah memperingatkan bahwa Jinyoung harusnya memang kembali. Jinyoung segera mengendalikan emosinya, matanya ia arahkan ke segala arah, kemanapun asal tak menatap mata Mark yang kelam. Ia hanya tak ingin ikut menangis bersama Mark di sini, di mana ia dan Mark tak lagi mejadi 'kita'. Ia hanya tak ingin menunjukkan bahwa ia sangat lemah dan juga rapuh, apalagi ia tak ingin Mark tau kalau ia masih mencintai mantan suaminya itu.
"Terimakasih." katanya lirih namun terdengar seolah tak peduli. Lalu kembali berbalik meninggalkan Mark sambil menarik sang Putri menjauh dari ayahnya.
.
.
.
"Bagaimana sidanganya?" tanya wanita paruh baya yang rambutnya mulai memutih. Wanita itu memberikan secangkir teh yang ia bawa dari dapur tadi. Menatap putra bungsunya itu dengan iba."Jinyoung." panggilnya pelan, menyadarkan Jinyoung dari lamunannya. Sedari tadi Jinyoung hanya diam, menatap udara kosong di depannya. Tak menghiraukan pertanyaan dari ibunya. Merasa terpanggil Jinyoung menatap lawan bicaranya.
"Huhhh kau kenapa?" wanita itu kembali bertanya dengan nada yang sedikit kesal. Jinyoung tersenyum menanggapi itu lalu menggelengkan Kepalanya seoalah mengatakan bahwa ia baik-baik saja.
"Jujur saja Jie, bagaimana hasilnya?" wanita itu bertanya kembali. Lagi Jinyoung hanya diam, Jinyoung mengalihkan pandangnya tak menatap bundanya secara langsung.
"Jinyoung."
"Aku sudah resmi bercerai dengan Mark." kata Jinyoung lemah. Masih berat rasanya untuk bilang seperti itu. Terdengar suara helaan napas dari sebelah Jinyoung.
"Syukurlah, akhirnya kamu bisa lepas dari bayang-bayangnya." Jinyoung menggigit bibir bawahnya, menahan isakan yang sekarang hampir pecah.
"Ibu harap kau segera menemukan penggantinya." katanya menepuk pundak Jinyoung dengan pelan lalu pergi meninggalkan Jinyoung begitu saja.
Tangisnya pecah, Jinyoung tidak dapat menahan isakannya. Dadanya semakin sesak kenapa harus sesulit ini? Melepas segalanya hanya untuk satu kebahagian. Jinyoung menundukkan kepalanya dalam, otaknya selalu memutar kenangan manis bersama dengan Mark. Saat awal mereka bertemu, menikah hingga mengasuh anak demi pelengkap keluarganya. Namun semua itu hanya menjadi sia-sia untuk sekarang. Semuanya terlalu cepat cepat untuk kehilangan semuanya itu.
"Ma?" sebuah suara kecil berhasil membuat Jinyoung mengangkat kepalanya. Jinyoung tersenyum menatap anak kecil yang berdiri di depannya dengan mata yang setengah terbuka. Anak itu berjalan pelan menuju Jinyoung, masuk ke dalam pelukan yang Jinyoung tawarkan.
"Papa kapan pulang?" semakin hancur sudah hati Jinyoung. Satu pertanyaan dari anaknya berhasil membuat tangis Jinyoung semakin pecah.
Jinyoung mengusap matanya pelan. "Papa masih sibuk, jadi Kyungmin anak Mama yang manis ini sebaiknya tidur besok kan harus sekolah." katanya dengan mengusap rambut Kyungmin sayang. Kyungmin cemberut, mengerucutkan bibirnya kesal. "Tapi aku ingin tidur sama Papa." suara lembut dan polos berhasil membuat hati Jinyoung kembali mencelos. Inilah dia, kenapa ia sulit sekali melepas Mark. Mark terlalu di sayangi oleh anaknya, Mark selalu di butuhkan.
Jinyoung tersenyum, meski sebenarnya tidak. "Nah sekarang lebih baik Kyungmin tidur sama Mama, nanti setelah Papa pulang Kyungmin Mama bangunin." mata Kyungmin berbinar ketika mendengar kata Papa, Kyungmin melepas pelukan Jinyoung lalu berlari menuju kamarnya.
"Aku tunggu Mama dan Papa di kamar." teriak Kyungmin sambil melempar senyum ke arah Jinyoung.
Lihat bahkan hanya mendengar kata Papa anak itu sudah bahagia. Lalu kenapa dia harus menghilngkan Papa dari anaknya itu.
.
.
.
.
.
Tbc.Eh baru lagi. Maaf yah kebanyakan Ff,
Oh iya, kalok aku unpub ff aku yang smile setuju gak?