Nampaknya gadis ini tengah jatuh cinta.
Ia duduk termangu, menatap sang figur berpakaian serba hitam dari balik konter. Manik cokelatnya bergerak cepat mengikuti gerik barista itu. Aku hanya bisa tersenyum melihat gadis ini—teringat kisahku yang dulu saat kafe dilanda kesibukan, suara riuh remaja tanggung di sudut ruangan, aroma kopi, dan tak lupa cahaya remang dari lampu yang menggantung di atas meja.
Aku pernah berada di posisinya. Menatap barista yang saat itu kukira adalah takdirku. Tatapanku juga selembut itu, sekagum itu. Malam itu, kupikir, apa rencana Tuhan sampai-sampai memberiku kesempatan melihat ciptaan-Nya yang seindah ini? Paras, postur tubuh, bahkan suaranya yang belum sempat kudengar menembus pertahananku dengan mudah. Persetan dengan tabungan! Tekadku sudah bulat untuk kembali kemari pada waktu yang sama pekan depan.
Sungguh, remaja itu naif. Pekan depannya aku benar-benar berdiri di hadapan sang barista hanya berbatas meja kasir di antara kami. Sejak pertama kali aku datang kemari, baru kali itu ia yang melayaniku. Rasanya jantungku bisa saja melompat keluar karena terlalu cepat berdegup, serangan panik bisa saja menyerang; terutama saat ia tersipu setelah kupuji jemarinya yang nyatanya tak kalah indah. Sekarang kalau mengingat hal itu, rasanya aku ingin berkata: dasar bocah tolol tak tahu malu! Kalau saat itu kau tak memujinya, mungkin barista itu tak akan pernah menyadari eksistensimu! Karena setelahnya aku diberitahu nama penggunanya di salah satu sosial media.
Kupikir, hidup tak pernah seindah itu. Kami saling mengikuti di sosial media. Berhubung dompet pelajar tak pernah mendukung, aku hanya mampu kemari setiap satu-dua minggu sekali. Itu pun dengan mengorbankan beberapa kali makan siang. Namun, setiap datang berkunjung, Yoongi selalu menyambutku dengan senyum khasnya. "Kau lagi," katanya. Kami berbasa-basi sebentar jika di belakangku tak ada orang yang mengantri; aku duduk sambil sesekali curi-curi pandang ke arahnya; aku pulang jika sudah bosan. Rutinitas ini terus berjalan hingga beberapa minggu terlewat.
Suatu hari Yoongi bertanya, "Kau, namamu siapa?" Seingatku ia memiringkan kepalanya. Kemudian ia melanjutkan, "Aku belum pernah memberitahumu namaku, tapi kau kan bisa tahu dari tag nama. Tak ada niat untuk memberitahuku? Nama penggunamu saja pakai alias."
Aku tertawa, sadar sepenuhnya kalau Yoongi tak pernah tahu namaku. Kukira namaku tidak terlalu penting untuknya. "Baru butuh namaku sekarang? Setelah berminggu-minggu?" Sebenarnya aku hanya bercanda, namun kurasa kalimatku tepat sasaran karena Yoongi menyentuh belakang lehernya tanda canggung. "Kapan-kapan saja kuberitahu."
"Hei, itu tak adil," keluhnya.
"Menurutku adil," karena kau sudah sering membuatku kewalahan sejak pertama melihatmu, "Memangnya kau namai kontakku dengan nama apa?"
"Haneul." Pria bersurai hitam itu tersenyum malu, berusaha menutupinya dengan berpura-pura sibuk menata beberapa barang di atas meja kasir. Ia bilang karena aku selalu datang ketika langit sore sedang cerah. Katanya, ada waktu saat langit tak terhalang gumpalan awan namun aku tak datang, lalu ia pikir melihat langit tanpa sadar mengingatkannya padaku. Sejak dulu aku tak pernah mudah percaya dengan orang lain—terutama pria—jadi aku hanya menganggapnya sebatas omong kosong nan klise. Memangnya pelanggan yang datang di waktu yang sama hanya aku saja? Walaupun berpikir begitu, diam-diam degup jantungku sedikit lebih cepat dan nyaris terdengar di telingaku sendiri. Reaksi kimia dalam tubuh manusia memang tak bisa berbohong.
"Kalau begitu gunakan nama itu saja," kataku. "Aku suka."
———
KAMU SEDANG MEMBACA
caffé macchiato | myg
FanfictionKafe bukanlah tempat yang tepat untuk menggambarkan masa remaja seseorang, berbeda dengan Haneul. Ceritanya bermula dan berakhir di sana. "Kau pernah bilang merasa naif karena mendekatiku, nyatanya aku yang dibuat bertingkah naif olehmu." Copyright®...