Bab. 16 Penyesalan Mister Bubble

217 8 0
                                    


Denis terduduk lesu, kedua tangannya menangkup menutupi wajah, menyesali diri. Di sampingnya, agak sedikit berjarak, Nunik berdiri dengan sisa tangisan yang meninggalkan sembab di mata.

Obrolan penuh penghayatan sepertinya baru saja terjadi di antara mereka.

Apa yang membuat mister bubble itu berubah seketika?

Jujur sebagai lelaki normal, dia menaruh hati pada Rindi. Dia pun perlahan mulai menyukai sosok dan kepribadian gadis bermata bening itu.

Bermula dari pertemuan konyol, yang nyaris membuat jantungnya berhenti berdenyut ketika harus ada pertemuan kedua, setelah pristiwa naas itu. Tapi siapa yang menyangka, jika pertemuan kedua dan selanjutnya adalah awal dari kedekatan dua anak manusia yang begitu kental.

Rindi bukanlah perempuan agresif, seperti beberapa yang pernah ditemukan Denis sebelumnya. Gadis itu berbeda, dia begitu menjaga sikap namun tetap terlihat santun. Tidak mudah terpengaruh oleh orang yang baru dikenal, tapi tidak pula menutup diri untuk orang lain. Seperti itulah Denis mengenal gadis itu.

Setelah mengetahui siapa Rindi, dari cerita Erik, lelaki itu menyesal telah membagi kepahitan hidup yang selama ini hanya menjadi konsumsi pribadi. Ternyata dia telah terjebak pada sejarah kelam yang memporak-porandakan keutuhan keluarganya dulu. Denis tak ingin sejarah itu terulang kembali padanya.

Jalan hidup setiap menusia memang berbeda, tapi kebenciannya pada profesi pemandu lagu dan sejenisnya, seakan begitu membekas di hati. Tanpa sepengetahuannya, diam-diam ia memulai sendiri menyalakan api bersama wanita itu. Tapi sekarang dia harus keras berusaha melupakan, meski sulit. Selagi belum terlanjur jatuh terperosok jauh ke dalam. Dia takut, jika banyak kenangan yang dia dan Rindi ciptakan, semakin sulit hatinya untuk ikhlas melepas nantinya.

Menjaga jarak dengan Rindi memang tak bisa mengembalikan kehancuran yang menimpa keluarganya. Namun dia punya andil besar untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.

"Dengan memperlakukan Rindi seperti itu, kamu seperti membuat sayatan baru pada luka yang sedang dideritanya, Den." sesal Nunik.

Tak banyak orang tau, keputusannya meninggalkan kampung halaman adalah untuk melupakan kenangan pahit yang pernah dihadapi. Dan di sini, ia memulai kehidupan baru dengan cerita baru.

Masa lalu yang memang pahit, sebagian orang memilih menguburnya dalam-dalam. Berusaha tidak mengingat-ingat kembali. Namun seharusnya, masa lalu adalah pijakan kaki kita untuk mengumpulkan tenaga dan kepercayaan sebelum melompat pada pijakan lain yang tentu lebih baik. Sepahit apapun, sebaiknya kita kenang untuk pelajaran agar ke depan lebih baik.

"Ketahuilah! Rindi tidak seburuk yang kau pikirkan." Tukas Nunik.

Nunik benar. Tidak seharusnya dia menambah beban yang sudah terlalu berat dipikul. Gadis itu hanya mencoba bertahan hidup dengan keringatnya sendiri. Berusaha untuk tidak meminta belas kasihan orang lain, meski dia yakin orang di sekitarnya akan tulus membantu. Denis terhenyak.

Allah memang maha pembolak-balik hati manusia. Dia juga yang menggerakkan hati hingga lelaki itu memiliki kecendrungan untuk menaruh belas kasihan.

Denis menyadari, sebagai sahabat, ia telah gagal. Mengetuk palu sendiri tanpa mencari kebenaran dan bukti lain yang menguatkan. Harusnya dia tabayyun.

Bukankah Rindi telah datang menemuinya, sedangkan sebelumnya tak pernah sedetik pun ia menghampiri. Harusnya Denis lebih peka, sahabatnya sedang dalam masalah besar. Bukan malah mengikuti ego, menyindir dengan kalimat tajam yang menukik.

"Temui dia sekarang, Den. Sebelum semua terlambat." Pesan Nunik menutup kalimatnya.

Denis mengecek jam tangan. Dia segera bergerak, sebab terlambat sedikit saja, ia akan diliputi penyesalan sepanjang hayat. Dan ia takkan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.

Lelaki berjaket itu paham bahwa dia sedang diburu waktu. Terlambat sedikit, Rindi akan kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya. Ia membayangkan, wajah wanita yang dicintainya harus menanggung penderitaan lain yang lebih menyakitkan..

Ya Tuhan....

Semoga masih diberi kesempatan untuk menolong Rindi.

Denis terus memacu kendaraannya, membelah jalan-jalan yang hampir membentuk deret satu-satu di beberapa titik yang dilalui. Beruntungnya jika berkendara dengan sepeda motor, kemacetan masih bisa ditembus.

Lepas dari kemacetan membuat lelaki berkendara vixion merah itu menaikan gas, membuat laju kendaraan bak perjalanan angin. Di kepalanya saat ini adalah menemukan cara agar bisa segera sampai ke hotel yang diceritakan Nunik.

Denis terpana, beberapa motor memarkirkannya di sisi jalan raya. Beberapa di antaranya terlihat tak tenang, sebagian sibuk menelepon dengan ponselnya masing-masing. Meski penasaran, tapi lelaki itu tidak menghentikan kendaraannya sebentar lalu bertanya pada salah seorang di sana.

Paling juga razia gabungan, pikirnya.
Dugaannya benar. Tak jauh dari tempat berkerumunnya kendaraan tadi, sejumlah petugas Polantas terlihat tengah menginterogasi pengendara yang sengaja diberhentikannya secara random.

Seorang personil Lantas meniup liprinya beberapa kali, dan menghadang perjalanan Denis. Dengan memasang muka kesal, Denis menuruti komando yang disampaikan lewat gerakan tangan.

"Selamat malam, Bapak! Bisa ditunjukan surat-suratnya?" Pinta lelaki berseragam khas Polri dengan rompi hijau menyala.

Denis bukan tidak memiliki kelengkapan sebagai syarat sah berkendara, SIM, STNK dan surat identitas penting lainnya selalu tak pernah luput dari dompetnya. Namun keadaan yang tidak tepat membuatnya gondok. Sedangkan malam ini ia sedang bertaruh waktu. Andai saja polisi itu tahu.

Lelaki itu meraba saku celana di bagian belakang. Matanya tiba-tiba terbelalak, sebab sesuatu yang dicarinya tidak ada. Denis meraba saku lainnya, ternyata tetap tidak ditemukan.

Astaga.

Dompetnya tertinggal di kamar.
Denis mengeraskan kepal tinjunya, melampiaskan kekesalan.

Dengan memasang wajah lesu, Denis meminta diberikan toleransi karena lupa membawa dompetnya. Ia berjanji, lain waktu tidak akan seteledor ini.

"Motor Bapak terpaksa kami tahan. Besok silahkan Bapak urus di kantor," tegas petugas itu.

"Saya mohon, motornya jangan ditahan, Pak. Ada keperluan penting yang harus segera saya selesaikan."

Petugas tetap tidak mau tahu, sebab tidak ada barang lain yang bisa ditahan. Tapi Denis terus saja memohon, melewati perdebatan panjang. Bahkan kali ini, petugas lain pun turut serta mencampuri. Akhirnya motor Denis tidak ditahan, dan ia tetap harus menyelesaikan perkara penilangan itu.

Denis kembali melirik jam di pergelangan tangannya. Lalu kembali menstarter kuda besinya, dan melanjutkan perjalanan.

Ya, Tuhan mudah-mudahan belum terlambat.

Batin Denis seketika gelisah. Sepanjang perjalanan tak henti dia memohon diberi kesempatan menolong. Menepis kemungkinan-kemungkinan buruk yang menghantui pikiran. Laju kendaraan lebih dipercepat, dengan harapan agar segera tiba.

Denis telah sampai di pintu lobi. Buru-buru dia berlari ke meja resepsionis. Namun semuanya terlambat. Apa yang ditakutkan benar-benar terjadi. Petugas resepsionis hotel mengatakan, penghuni yang dimaksud Denis telah chek out sejak sepuluh menit lalu.
Denis meremas rambutnya, mendesis penuh penyesalan. Tak sadar, hampir saja ia meninju sudut meja jika saja tak ditegur petugas.

Maafkan aku, Rin. Hati Denis lirih berucap.

Bersambung....

Seberkas Kasih Rindiani (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang